Sejarah islam di Indonesia tak selalu berhubungan dengan tema-tema besar. Islam indonesia justru bergerak dari yang kecil dan remeh. Kita bisa menilik sejarah Islam Indonesia dari pinggir. Pelacakan melalui koran, berita keseharian, majalah, buku-buku dapat merekam bagaimana perkembangan Islam di Indonesia.
Perkembangan Islam Indonesia pun bisa ditilik dari peran dan kiprah para pendakwah dan ulama. Kita bisa menyebut sekian tokoh dan nama berpengaruh bagi Islam Indonesia seperti : Gus Mus, Gus Dur, Soekarno, Natsir, Junus Jahja, Abdul Gaffar, Taufiq Ismail, Saifuddin Zuhri, Snock Horgounje, Misbach, dan tokoh-tokoh lainnya. Tokoh-tokoh itu memenuhi lembaran dakwah islam di Indonesia. Mereka ikut serta membentuk wacana maupun wajah Islam Indonesia.
Tema Islam Indonesia sering jarang ditulis. Para pendakwah dan juga Ustadz lebih sering berceramah. Bandung Mawardi merasa perlu menulis esai-esai bertema religiositas. Majalah, koran, dan buku-buku bertema Islam berdiam di rumah adalah panggilan untuk menuliskan tema itu. Tulisan-tulisan selama dua tahun (2018-2020) pun menjumpa pembaca diberi judul wagu Terbit dan Telat; Esai-Esai Religiositas (2020).
Pilihan tema-tema kecil membawa kita pada masa lalu dan peristiwa. Peristiwa Islamic Book Fair di Jakarta Convention Center 18-22 April 2018 pun disoroti. Kita bisa menyimak seruan penulis yang memberi kritik pada acara itu. Setiap tahun Islamic Book Fair diadakan tanpa memastikan menguak (lagi) sejarah penerbitan buku Islam dari masa lalu. Ajakan melongok ke penerbit dan buku Islam di masa lalu barangkali terdengar asing di era sekarang. Pada penerbit dan buku islam di masa lalu itulah bertengger sejarah dan cerita para tokoh, intelektual dan juga persepsi umat islam di masa itu.
Dari peristiwa Islamic Book Fair, kita beranjak ke tokoh Islam Daoed Joesoef. Penyebutan tokoh islam mungkin jarang dilekatkan kepada mantan menteri pendidikan ini. Para mahasiswa dan juga aktifis lebih menyebut Daoed Joesoef sebagai tokoh perintis NKK/BKK. Daoed Joesoef adalah pelajar islam yang tekun. Daoed Joesoef masih bocah diajari membaca kitab suci oleh bapak dan emak. Tahun-tahun berlalu, si bocah itu berhasil khatam Al-quran dan berani berpidato di muka umum meski taraf kampung. Undangan demi undangan menjadi pembicara dipenuhi dengan mendapat honor berupa uang. Daoed Joesoef ingat protes emak. Dakwah tak pantas diberi imbalan uang. Emak pun menyarankan hasil uang itu digunakan untuk membeli buku. Kau sekarang sudah duduk di kelas tiga. Sudah bisa membaca buku-buku berhuruf latin yang mengungkapkan berbagai ilmu duniawi disamping buku-buku berhuruf Jawi yang membahas soal-soal keagamaan, yang kau tekuni selama di madrasah, kata Emak. Daoed Joesoef pun dikenal sebagai intelektual mumpuni hingga akhir hayatnya. Ia lebih sering berdakwah melalui tulisan dan buku ketimbang berceramah seperti dulu.
Dari Daoed Joesoef kita beralih ke Abdul Gaffar Ismail. Ia adalah ayahanda dari Taufiq Ismail. Ia memang ulama terkenal, cenderung mendapat sebutan Kiai. Ia mendapat julukan macan mimbar. Ia mengagumi Muchtar Luthfi dan Soekarno. Bandung Mawardi berhasil menuliskan kisah singkat antara Soekarno dengan Abdul Gaffar. Dulu, Abdul Gaffar sering menemui Soekarno di Bandung. Soekarno pernah berkata : Dik Gaffar, ajari aku Islam, nanti Dik Gaffar aku ajari Marxisme. Abdul Gaffar turut serta mempengaruhi jalan panjang spiritualisme islam di indonesia melalui muridnya Tarmizi Taher dan Munawwir Sjadzali yang kelak menjadi menteri agama di Indonesia.
Dari tokoh kita beranjak ke peristiwa. Peristiwa-peristiwa religiositas di Indonesia sering berlalu tanpa kesan. Orang sering beribadah tanpa meninggalkan ingatan yang mendalam akan peristiwa itu. Beberapa peristiwa keagamaan besar menjadi sorotan Bandung Mawardi yang dikemas ke dalam esai-esai pendek. Peristiwa ramadan, haji, mudik, puasa, lebaran, hingga piknik.
Esai-esai bertema religiositas, -agak berbeda dengan esai keseharian, dihadirkan untuk memberi sindiran, kemarahan, sanggahan dan pandangan lain atas peristiwa keagamaan yang ganjil. Kemarahan, kekesalan bisa kita rasakan saat membaca esai Lebaran di Hotel. Kita diajak geram saat mengandaikan lebaran yang identik dengan silaturahmi berubah ke hotel. Hotel-hotel pun menawarkan promo menarik di hari lebaran. Lebaran pun berubah menjadi peristiwa makan bersama di Hotel. Terlebih di masa pandemi korona seperti saat ini, hotel pun menawarkan diskon habis-habisan agar terhindar dari kebangkrutan.
Dalam esai Mudik ke Buku kita diajak untuk mengingat peristiwa mudik dengan jalan lain. Mudik tak hanya perilaku ragawi badaniah yang berpindah dari kota ke kampung. Mudik adalah peristiwa berarti bagi Dawam Raharjo. Dawam Raharjo mudik ke rumah neneknya di Klaten. Waktu mudik dihabiskan untuk mengerami buku sehingga pengetahuannya bertambah luas. Pembaca diajak untuk mengartikan peristiwa mudik tak melulu makan-makan dan minum-minum. Di saat anjuran untuk tidak mudik dari pemerintah mulai diserukan karena wabah korona, pembaca boleh saja nekat mudik ke buku.
Buku Terbit dan Telat(2020) turut serta merekam dan memotret Islam Indonesia dari pinggir. Bersumber dari buku lawas, peristiwa di koran-koran, kita bisa menyimak bagaimana perkembangan Islam Indonesia melalui peranan para tokoh, ulama, maupun intelektual Islam di masa lalu. Pada buku ini, pembaca juga bakal menemukan beragam peristiwa kecil bertema religiositas yang dihadirkan untuk direnungkan dan ditanggapi tanpa harus dengan kening berkerut dan serius.
Belum ada tanggapan.