Air matanya perlahan turun. Tak kuasa dibendung. Andai ini air mata adalah hujan, mungkin ceritanya akan berbeda. Sebenarnya Akbar tak ingin air mata ini, ia ingin hujan. Hujan yang datang dengan lebatnya, yang membangunkan rumput dan pohon yang hampir mati.
Hujan, itu yang dirindui. Tidak hanya akbar, tapi juga ribuan manusia di belahan negeri ini. Namun sebelum hujan tiba, hujan air mata telah lebih dulu tumpah. Dan air mata itu tumpah sejadi-jadinya kini, di hadapan tanah luas terbakar. Di sana ada istana indah milik Akbar, berlantai bambu beratap jerami. Istana itu kini tinggal bayangan. Hancur tanpa puing dilahap si jago merah pada malam buta saat Mak dan Abahnya tengah tertidur lelap, sedang Akbar tengah beradu nasib di kota. Dan Mak dan Abahnya pun menangis sejadi-jadinya, satu-satunya tempat berlindung kini tak lagi punya rupa. Tinggal butir-butir debu.
Lukisan segala kenangan di gubuk Mak dan Abahnya otomatis terputar kembali. Terbayang tentang Hudson, kambing kesayangan Akbar yang bulu-bulunya lebat dan bersih. Di sungai kecil di seberang gubuknya, dua hari sekali Akbar memandikannya. Kemudian menjemurnya di bawah sinar matahari. Waktu itu, sinar matahari begitu bersahabat, tak seganas kini. Si Hudson akan terlihat bertambah segar apabila telah berjemur. Beberapa menit Akbar akan mengajaknya berlari-lari, melatih ketahanan diri.
Beberapa bulan sebelum keberangkatan Akbar mengais rezeqi di kota, Si Hudson tak lagi dapat dimandikan. Bukan Akbar malas, tapi air sungai telah mengering. Sungai itu hanya bisa menyediakan air untuk keperluan mandi cuci warga, untuk binatang? Ah, kali ini Si Hudson harus rela menahan bau di badannya. Kasihan!
Hudson…! Lirih sekali suara Akbar. Rasa rindunya seakan menyiksa. Bagaimana tidak, yang dirindui telah tiada. Hudson mati terluka dengan banyak luka bakar. Kandangnya tersambar jilatan api yang sudah dua minggu ini melumat habis lereng gunung. Mak dan Abahnya yang telah renta tak mungkin menyelamatkan Si Hudson. Untuk membawa lari diri sendiri saja susah, apalagi menggendong serta hewan peliharaan. Ya sudah pasrah saja! Nasib Si Hudson memang tragis. Sudah tak dimandikan berbulan-bulan, mati pun mengenaskan.
Akbar menarik nafas. Bagitu dalam dan berat. Kebakaran hutan ini memang telah merenggut banyak kenangan. Tapi siapa yang patut dipersalahkan? Tentu ia adalah Sang Pembakar. Ya, Sang Pembakar telah membuat alam berpesta pora dengan warna merahnya yang menyala. Akbar geram, dadanya bergetar. Ingin rasanya dia menyeret Sang Pembakar ke tiang gantungan. biar dia merasakan bengisnya hukuman. Sang Pembakar telah merenggut istananya, Hudsonnya. Dan apabila tak beruntung, mungkin Mak dan Abahnya pun akan jadi korban. Akbar ingin meminta keadilan, tapi siapa ia? Akbar tak cukup punya kuasa, kata-katanya tanpa bisa. Paling dianggap angin lalu. Aduan tinggal aduan, Sang Penegak hukum dan Sang Pembakar bersalaman mesra di atas lembar-lembar uang.
“Biar Akbar buatkan Mak dan Abah rumah lagi. Mungkin habis gajian bulan ini. Akbar sudah menabung. Mak dan Abah bersabar saja dulu. Untuk sementara Mak dan Abah tinggal di rumah Bi Masriah saja. Dia sudah menawari tempat .”
Akbar berusaha menghibur Mak dan Abahnya yang terus murung.
“Mak takut kalau harus tinggal di lereng lagi. Mak sama Abah masih was-was.”
“Tapi kita tidak punya tempat lain…”
“Tapi Mak…Mak dan Abah takut api.”
Mak tanpa terisak. Rupanya nenek 70 tahun ini merasakan trauma. Barangkali di bola matanya hanya ada api yang menyala-nyala.
“Apabila hujan turun, apinya akan segera padam, Mak! Jangan takut.”
“Hah…Akbar! Masak Mak harus mati sia-sia seperti Si Hudson…!”
Mak berteriak. Emosinya bercampur dengan tangis. Dia hampir kehilangan kendali. Kondisi Si Hudson yang penuh luka panggang memang terus menghantui Mak. Mungkin Mak membayangkan jika yang terbakar itu adalah dirinya sendiri, maka sudah dapat dipastikan keadaannya tidak akan jauh berbeda. Mak bergidik ngeri! Kedua belah tangannya sontak diarahkan untuk menutup wajahnya. Dan air matanya terus tumpah.
“Mudah-mudahan hujan bisa segera turun. Halaman rumah kita akan hijau lagi. Mak akan kembali ke kebun memetik daun-daun segar. Mak dan Abah masih suka berkebun kan?”
Mak tidak menjawab. Dia hanya menggeleng kepala. Akbar pun kaget. Bagaimana bisa seorang manusia yang telah berpuluh-puluh tahun bergaul dengan alam, begitu mencintai kebun, sampai tidak pernah tahu bagaimana ramainya sebuah kota karena tak betah meninggalkan kebun berlama-lama, tiba-tiba kehilangan rasa cinta pada rutinitasnya.
Api itu memang telah mematrikan luka. Membumi hanguskan kenangan. Mak dan Abah terjebak pada rasa takut yang tak berkesudahan. Akbar pun merasa takut. Takut kalau rasa takut Mak dan Abahnya mengganggu kesehatannya. Mental yang tertekan akan berujung pada masalah daya tahan. Dan fikiran terakhir Akbar pun bermuara pada rasa takut kalau-kalau sakitnya Mak dan Abah akan membuat mereka meninggalkannya ke alam baka. Jika sudah begitu, habislah sudah apa-apa yang dimilikinya. Ah, Tidak! Fikiran buruk ini tidak boleh terus menguasainya. Akbar mengusap wajah, Astaghfirullah!
“Mak dan Abah tenang saja. Api akan segera padam. Jangan banyak fikiran, nanti Mak dan Abah sakit.”
Mak mengangguk. Sedang Abah hanya menunduk. Entah ia mendengar atau enggak perkataan semua perkataan Akbar.
Air mata Akbar tak usai, ketika ia tahu bahwa kemarin malam api telah menuntas habiskan kebun jati miliknya. Kebun jati yang hanya di isi enam sampai tujuh pohon saja, namun telah ia rawat sejak belasan tahun. Kebun jati yang menjadi satu-satunya celengan uang bagi keluarganya itu kini tinggal cerita. Akbar pun menangis dalam tangisan yang tertahan.
Akbar tak ingin merindukan apa-apa lagi: rumahnya, kebunnya atau Hudsonnya. Akbar hanya merindukan hujan, hujan yang menyenangkan. Hujan yang melukiskan pelangi di atas curug kecil, tempat di mana ia dulu bermain-main air bersama sahabat-sahabatnya. Dan curug kecil itu pun kini tinggal nama. Hanya menyisakan bebatuan dan sedikit sisa air yang tergenang.
Belum ada tanggapan.