Betapa senangnya tamasya bersama buku. Dengannya kita bisa berselancar dan menjelajahi aneka warna pemikiran orang. Begitu pula saat kita membaca buku yang ditulis oleh Mochtar Lubis bertajuk Bangsa Indonesia (1978). Konon kata penerbitnya, buku ini erat kaitannya dengan buku bertajuk Manusia Indonesia yang ditulis oleh penulis sebelumnya.
Sebelum membaca lebih jauh, bolehlah kita tengok kisah tentang Mochtar Lubis. Ia adalah pemikir ampuh, sastrawan, sekaligus wartawan kritis. Sejak Zaman Jepang ikut mendirikan kantor berita ANTARA. Kemudian mendirikan Harian Indonesia Raya yang dilarang terbit. Di masa Soekarno dijebloskan ke penjara selama sembilan tahun, dan baru dibebaskan tahun 1966. Pemikirannya ia tuangkan dalam buku Catatan Subversif (1980). Ia juga dikenal sebagai salah satu dari pendiri Majalah Horison.
Buku ini kubaca sambil menimang-nimang puteri perempuanku, Azka. Kelak aku pun berpengharapan bahwa putriku suka membaca. Mochtar di buku ini semula menarik jauh ingatan pembaca pada sejarah kita di masa silam. Ada kalimat anjuran yang saya rasa penting kita kutipkan di sini : “marilah kita bersama-sama belajar dari sejarah bangsa kita, untuk berusaha menyambung-nyambung pandangan sejarah yang terputus-putus, dan mencari di dalam latar sejarah masa lampau bangsa kita, darimana kita, siapa kita, akan kemana kita di masa depan, mengapa kita berada dalam keadaan kita hari ini, dan dengan mengetahuinya mungkin kita akan mendapat inspirasi, bagaimana kita dapat memperbaiki diri kita masing-masing dan masyarakat kita untuk dapat melangkah ke masa depan” (h.5).
Semula buku ini memang hanya naskah pidato yang disampaikan pada tanggal 30 Januari 1978 di Gedung Kebangkitan Nasional. Begitulah pidato-pidato di masa lampau, selain cukup panjang, pidato di masa itu penting. Maka tak heran, pidato-pidato pun diterbitkan karena pentingnya isi dan kandungannya.
Bila menilik apa yang ditulis oleh Mochtar Lubis di buku ini, nampaklah Mochtar Lubis sebagai pengamat, pembaca yang handal. Mula-mula ia menguraikan bagaimana kebiasaan nenek moyang kita yang menjadi tradisi sampai sekarang. Misalnya dalam hal pertanian. Simaklah kutipan berikut : “Sampai hari ini di negeri kita masih ada dua juta rakyat di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan pulai-pulai lain yang mencari nafkah mereka dengan teknologi bercocok tanam yang sudah dimulai sejak 10.000 tahun sebelum Nabi Isa, dan telah merusak berjuta-juta hektar hutan selama ini”(h.9).
Pembacaan Mochtar Lubis tak salah, sampai sekarang pun, hutan-hutan kita memang ditebangi dan digunakan sebagai lahan untuk pertanian. Maka bisa dilihat bahwa pertanian, sebenarnya merupakan salah satu ciri khas masyarakat kita sampai hari ini. Sayang, penebangan kita membuka lahan pertanian di era sekarang lebih nampak pada pengrusakan hutan tanpa pertimbangan yang matang.
Ada pandangan Mochtar Lubis tentang manusia Indonesia di masa lampau. Ciri ini menonjol dalam karakter manusia Indonesia di masa lalu. Salah satu cirinya adalah mereka mengenali mitos-mitos “dunia atas”, “dunia tengah” dan “dunia bawah”. Kepercayaan ini ada di orang Batak di Sumatera Utara ke orang Dayak di Kalimantan, sampai ke orang Atoni di pulau Timor(h.11).
Sifat-sifat yang menyeimbangkan antara dunia mikro kosmos dan makro kosmos inilah yang dianggap oleh penulis ikut memberikan pengaruh bagi kuatnya bangsa kita sampai kemana-mana.
Orang-orang Indonesia juga memiliki sifat feodalisme. Sifat inilah kelak yang dikritik habis oleh Pramoedya Ananta Toer. Menurut Mochtar Lubis, hal ini merupakan potensi yang cukup bagus. Saat dikaitkan dengan konsep kekuasaan. Kita cukup banyak memiliki variasi konsep kekuasaan dengan berkembangnya feodalisme di seluruh negeri ini.
Di masa lalu, kita juga unggul dalam hal kelautan. Para pelaut kita begitu handal menaklukkan ombak dan bajak laut. Hingga perdagangan kita terkenal sampai ke Tiongkok. Kekayaan alam kita juga memikat bangsa luar semenjak dulu. Komoditi seperti rempah-rempah, kapur barus, bahan obat-obatan, jenis-jenis kayu yang mahal-mahal seperti kayu gaharu yang wangi (h.17).
Itulah gambaran mengenai kebesaran manusia indonesia di masa lampau. Sehingga ketika Belanda dengan VOC-nya datang, imbangan dari fihak Indonesia terhadap mereka cukup besar.
Salah satu yang menarik di buku ini adalah penulis juga mengungkap bahwa Indonesia dijajah 350 tahun oleh Belanda hanya mitos palsu. Penjajahan Belanda berakhir di tahun 1942. Sedangkan kerajaan Aceh baru dikalahkan Belanda baru 1913. Maka Aceh, paling lama dijajah Belanda selama 29 atau 30 tahun (h.21).
Buku ini dengan demikian ikut memantik seperti anjuran penulis di muka untuk belajar sejarah bangsa. Apa pentingnya?. Penulis menguraikan hal ini di bab akhir saat menjelaskan fungsi dari kita membaca masa lalu adalah untuk melangkaah saat ini. Di bagian akhir buku ini, penulis menjelaskan banyak hal mengenai gambaran tentang Indonesia di masa kini.
Kita bisa menyimak bagaimana penulis menguraikan sejarah atau cara protes yang sebenarnya menyejarah dari masa lampau. Di jawa misalnya, tradisi protes sangat kuat. Rakyat hendak mengadukan nasib mereka datang di alun-alun di depan kraton, mengikat kepala dengan kain putih sebagia tanda mereka datang membawa pengaduan untuk raja. Cara protes seperti ini dinamakan “pepe” (menjemur diri di bawah matahari). Tradisi (protes) inilah yang kemudian berlanjut ketika Belanda datang. Hingga muncullah aturan “Politiestraf-reglement voor Inlanders” tahun 1872 untuk membikin setiap protes massa dapat dihukum (h.26).
Mochtar Lubis juga mengkritik saat Soekarno menanggapi para pengkritiknya. Menurutnya jawaban Soekarno terhadap para oposisi dan para pengkritiknya tidaklah lebih maju dan lebih beradab dari apa yang dilakukan di zaman kuna kita oleh tuan-tuan feodal Indonesia terhadap keluh kesah rakyat mereka. Membaca kalimat ini kita jadi ingat memori saat Mochtar Lubis dipenjara selama sembilan tahun. Barangkali karena itulah, ia melihat bahwa rasanya hukuman yang tak manusiawi tak boleh dilakukan oleh pemerintah. Meski kita tahu, pemerintah tetap mengulang kesalahan yang sama dengan membunuh dengan membabi buta orang yang dituduh PKI di tahun 65.
Ada kutipan menarik yang ditulis dari Emil Salim mengenai cerminan Indonesia di masa itu, yang saya kira relevan dengan keadaan kita saat ini. “…. besarnya negara ini dan banyaknya disparitas sosial dan ekonomi, ditambah lagi dengan kesulitan-kesulitan komunikasi , membikin pemecahan masalah-masalah jadi sulit. Bertambah besar birokrasi kami berkembang, bertambah mahal pula biayanya, dan bertambah pelik pula seluruh keadaan. Kami harus bertanya pada diri kami sendiri, betapa besar bantuan asing yang dapat dihirup, dan bagaimana kami dapat mengaitkannya pada lapisan rakyat miskin yang tidak terdidik dalam sektor ekonomi yang tidak memakai uang”(h.41).
Buku tipis ini sedikit banyak memberi uraian bagaimana bangsa ini mesti berubah dan menentukan langkah di masa-masa mendatang. Saya kira suara Mochtar Lubis ini masihlah sesuai bila diterapkan di masa kini. Kita membutuhkan orang yang berintegritas untuk bangsa ini agar menjadi lebih baik. Beberapa persoalan yang penting juga diungkap selain masalah pangan, pekerjaan, hingga perkembangan bangsa kita dengan dunia juga disinggung di sini.
Buku ini lebih banyak menjelaskan dan menjabarkan mengenai sejarah dan potensi manusia indonesia di masa lalu, serta membaca gejala masa kini, agar bisa mengatasi masalah-masalah kita kedepan.
*) tuan rumah Pondok Filsafat Solo, Saudagar Buku
Belum ada tanggapan.