tikus-tikus-kantor

Monumen Tikus dalam Benak Orang-Orang

Mendadak kota ini diserbu tikus. Binatang busuk yang menyembul dari lorong gelap, belepotan air comberan dari segala kotoran. Benar-benar memualkan. Mula-mula hanya seekor. Lama-lama ia mengundang ayah-ibu, saudara, kawan, dan tetangga-tetangganya. Tikus-tikus pun menyerang kota seperti zombie-zombie bangkit dari kubur.

            Bahkan, kucing dan anjing yang jumlahnya tak kalah banyak, lari tunggang-langgang manakala mendapati tikus itu berkeliaran. Agaknya, binatang ini disusupi leluhur tikus purba. Sungguh, ini bukan khayalan semata. Tubuh si tikus jauh lebih besar dari tikus-tikus sawah –yang kadang sengaja dijadikan bahan tambahan daging bakso- maupun tikus rumahan. Mulutnya lebih monyong ke depan. Bulu-bulunya? Duh, hitam pekat, tebal nan gimbal.

            Kali pertama kulihat, binatang ini mendengus-dengus tong sampah. Bola matanya meliuk-liuk ganas. Kuku-kuku jemarinya besar dan tajam.

            “Jangan coba-coba kau usir binatang ini, kecuali kau mau memelihara.”

            “Mengapa tak boleh?” kataku pada lelaki paruh baya yang menunggui si tikus memasuki kandang kawat.

            “Sebab kau yang akan mati.”

            Mati? Apakah bulu-bulu tikus ini mengandung racun sampai-sampai orang yang tak menginginkan keberadaannya bakal mati? Apakah makhluk ini dirasuki iblis jahanam?

            Aku makin penasaran mengapa orang-orang senang tak kepalang membawa sangkar kecil sebagai tempat tinggal si tikus. Tak kaya tak tua, mereka menenteng sangkar, mencari binatang busuk itu, lalu dipelihara di rumah. Tubuh tikus yang dulunya mengeluarkan aroma busuk, kata mereka, justru kini mengeluarkan aroma harum. Wewangi bunga dari surga. Ai, hebat nian mereka ini. Sudah tahu aroma surga, dan mengatakan tikus-tikus itu adalah malaikat yang menjelma tikus-tikus busuk untuk menguji kita agar tak cepat menghina dari luar.

            Alamakjang! Makin gila aku dibuatnya. Apalagi saat aku menjenguk lelaki kurus. Matanya cekung utangnya berjibun. Semenjak menolong tikus-tikus agar tak berkeliaran di comberan, hidupnya selalu beruntung. Tubuhnya menggempal lemak dan daging. Utangnya? Duh, lunas dengan rekening ikut berjibun.

            “Apa salahnya kau berbaik hati pada mereka? Aku buktinya. Sukses luar dalam.”

            Aku menggeleng pelan. Tapi, aku mendengar ia berdesis pelan. “Kau tak suka bau atau bulunya? Percayalah, lambat-lambat kau terbiasa juga.”

            Tidak. Tidak. Berani sekali lelaki itu menyelundupkan seekor tikus ke dalam rumah. Rupa-rupanya, istriku tahu dan membiarkannya. Katanya, aku tak perlu was-was. Hampir seluruh penduduk di kota ini memelihara. Jadi, aku tak perlu takut, gelisah atau cemas. O, aku harus melawan. Tak mungkin tikus ini berdiam diri bahkan berlama-lama di sini. Maka, disaksikan malaikat dan setan yang berseteru dalam hati, aku bakar tikus itu ke dalam tungku api. Istriku mencak-mencak. Mengataiku suami durhaka.

            “Kau hendak sok suci? Tidakkah kau lihat, saudara dan tetangga kita kaya-raya dan kau tetap miskin jua? Butakah matamu, ha?”

            “Aku tak buta. Aku juga tak tuli. Biarlah mereka memeram tikus di rumahnya. Aku tak mau.”

            “Kau mau mewarisi kemiskinan pada Arsan? Tak tahukah kau kalau semua orang tua berlomba-lomba membeli tanah, menabung sebanyak mungkin demi masa depan anaknya, dan kau malah menabung kemelaratan? Kau hendak memberinya kesusahan, begitu?”

            Gila. Hampir saja aku berbuat kasar tetapi aku ingat pesan ayah, se-marah apapun kondisinya, aku tak boleh memukul istri. Biarlah dia menangis tersedu-sedu di kamar. Biarlah dia menjerit-jerit tak karuan. Biar aku yang menenangkan Arsan yang ikut sesegukan mendapati perdebatan ini.

            “Kau tahu mengapa bapakmu ini tak mau memelihara tikus itu?”

            Arsan menggeleng. Sembari melihat orang-orang yang berlalu-lalang memamerkan barang-barang baru, kukatakan padanya dengan nada sungguh-sungguh.

            “Sebab binatang itu pencuri. Mengambil uang orang lain untuk dinikmati sendiri. Andai pun kita tetap miskin tapi tak korupsi, kau tetap anakku dan aku ayahmu. Biarlah mereka memelihara tikus-tikus itu. Kita tak perlu mencaci. Cukup kita jaga diri dan jangan ikut-ikutan korupsi. Dalam hal apapun, sesusah apapun, sebutuh apapun. Jangan sampai kau menyuap, jangan sampai kau mencuri.”

            “Tapi aku dicaci. Dianggap sok suci.”

            “Jangan sedih. Selain Bapak, ada Tuhan di sisimu.”

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan