Mereka mengadiliku dengan kalimat menghunjam. “Dasar anak durhaka! Tidakkah kau tahu kalau orang tua selalu mengharap kebaikan untuk anaknya?!”. Kalimat ini sangat menyayat hati. Sebab aku menyayangi ayah dan ibu sebagaimana Ibrahim mengasihi bapaknya meski menyembah berhala, dan keduanya membenciku sebagaimana Hamnah binti Sufyan membenci Sa’ad, anaknya, ketika memutuskan memeluk Islam.
Aku tidak tahu persis sejak kapan keduanya menyebarkan benih-benih amarah. Seingatku, kegusaran mereka bermula ketika suatu petang, salah seorang kerabat desa mendatangi rumah. Saat itu, aku masih kuliah di paruh tahun kedua, dan aku bisa menebak maksud kedatangan lelaki berbadan gempal itu. Benar saja. Dengan kalimat yang dirapi-rapikan, dengan kalimat yang sengaja ditata indah, lelaki itu menyerahkan tiga buah amplop putih, dan aku menolaknya.
Ibu tak suka. Aku tahu perubahan sorot matanya yang mendadak gusar. Seandainya yang bertamu bukan kerabat desa, aku tahu ibu bakal marah saat itu juga. Kerabat desa kembali merangkai kata. Katanya, itu ongkos ke lapangan. Tempat pemilihan. Aku sampaikan padanya –tanpa amplop tersebut– aku pasti memilih calon bupati sesuai kriteria. Lelaki itu bergeming. Ia bersikukuh menyerahkan amplop putih yang masing-masing berisi seratus ribu. Bahkan semisal kurang akan ditambah.
Karena memaksa dan takut dicap tak sopan, aku terima. Mimik muka ibu tetiba ceria. Begitu pula si kerabat desa. Ia tersenyum menyeringai sembari menggelengkan kepala beberapa kali. Namun, saat kerabat desa ini pamit pulang dan hendak bersalaman, aku sodorkan kembali amplop putih tadi. Aku sampaikan padanya –karena amplop menjadi milikku dan aku berhak menitipkan ke siapapun– agar disedekahkan kepada mereka-mereka yang fakir miskin sebagaimana amanat Pasal 34 UUD 1945 bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara negara.
Kau tahu apa yang terjadi? Kerabat tadi pergi tanpa mengucap salam, sementara ibu mencak-mencak tak karuan.
“Kau berlagak sok suci? Kau tak tahu siapa lelaki itu? Ia kerabat desa. Bisa-bisanya kau mempermainkan orang yang punya jabatan.”
Berhari-hari ibu bicara ala kadarnya. Sedangkan ayah, ia mengikuti sikap ibu yang menabuh genderang perang dingin. Namun, ayah benar-benar mengamuk ketika aku memutuskan berhenti kuliah. Peristiwa itu bermula saat aku mengkritik persoalan yang terjadi di dalam kampus. Praktik korupsi yang dilakukan saat proses pemberian beasiswa sampai praktik suap-menyuap demi nilai toefl sebagai syarat wisuda.
Rektor memanggilku. Lelaki bertubuh tegap dengan lingkaran hitam di dahinya itu marah besar. Ia tidak terima tulisanku yang dimuat di koran. Ia meminta bukti pertanggung-jawaban. Aku memilih mengundurkan diri dari perguruan tinggi sebab aku tahu arah perbincangannya.
Jika ibu mencak-mencak tak karuan ketika aku menolak amplop putih, maka ayah menendang kursi dan meja, bahkan aku ditampar menggunakan sandal kulit yang ia kenakan ketika tahu aku mengundurkan diri dari kampus. Tentu aku tak berdiam diri. Aku jelaskan baik-baik apa yang sebetulnya terjadi. Lagi pula, aku menulis sesuai fakta. Soal toefl, misalnya. Aku bisa menunjuk karyawan yang menerima suap mahasiswa, dan di mana rumahnya. Atau soal penempatan KKN. Aku sanggup menunjuk petugas yang bisa disuap demi pesanan pemilihan desa KKN yang tidak terpencil, dan bisa sekelompok bersama kekasih. Tetapi ayah tak suka. Ia menuduhku sok suci. Ia menuduhku tidak bisa memahami hidup.
Berbulan-bulan ayah tak menyapa. Sebagaimana anak ayam yang terlepas dari induknya, baik ayah maupun ibu sama-sama tak mempedulikan aktivitasku. Malah, ketika aku memutuskan budidaya ikan gurami, ayah mencibir. Katanya, aku akan sukses jika menjadi sarjana. Aku hanya bersabar. Moga-moga aku kuat menjalani pilihan ini.
***
Di tepi kolam yang berlumut dan tak lagi berisi ikan gurami, aku duduk termenung di bawah pohon mahoni. Setahun membuka usaha budidaya ikan, bukannya untung malah buntung. Seminggu sebelum masa panen, ikan-ikan tetiba menggelepar. Mati mengambang. Tak ada yang tersisa kecuali sedikit pakan. Jangan kau tanyakan bagaimana keadaanku. Sungguh aku merasa berada di dasar jurang yang tak lagi sanggup melangkah ke atas.
Kadang aku menyesal, mengapa dulu aku tidak memilih menandatangani surat perjanjian dengan rektor, kalau aku tak akan mengulangi tulisan berisi kritik terhadap kampus, dan aku akan memperoleh beasiswa sampai lulus. Kadang aku menyesal, mengapa aku berlagak sok suci. Berlagak sok idealis. Tetapi, entah malaikat mana yang mendengar kegundahanku ini, tiba-tiba bayangan Kiai Sanusi hadir menyapa. Guruku itu seakan memberi jawaban lewat peristiwa yang terjadi delapan tahun silam.
Kala itu, aku dipanggil Kiai Sanusi. Kau tahu, jika seorang santri diminta menghadap pimpinan pesantren, maka ada dua kemungkinan: ia melakukan kesalahan besar atau memang ada keperluan lain. Aku tahu, pemanggilan ini berkenaan dengan tulisanku di majalah Iqra’. Majalah bulanan yang seleksinya ketat sekali. Dalam tulisan itu, aku mempertanyakan eksistensi ijazah karena aku dengar desas-desus di luar, jika ijazah yang diterbitkan pondok tidak diterima di perguruan tinggi dalam negeri.
Berhadapan dengan Kiai Sanusi betul-betul menggetarkan jiwa. Selain pembawaan beliau yang sederhana, suaranya khas dan berwibawa. Aku kira, beliau akan mengusirku secara hina. Kalau itu terjadi, aku tidak bisa membayangkan bagaimana raut wajah ayah dan ibu yang sangat tidak setuju memasukkanku ke pesantren, tapi aku mengemis mati-matian jadi santri. Aku yakin, baik ayah maupun ibu, bakal berkacak-pinggang di depan Kiai dan mungkin aku dihina-hina.
“Apa kau tahu maksud pemanggilanmu, Ram?”
Dalam keadaan menunduk, aku mengangguk takzim.
“Sebetulnya tulisanmu bagus. Mengalir. Hanya satu kekurangannya.”
Aku mendongakkan kepala, memberanikan diri menatap Kiai Sanusi. Aku penasaran letak kekurangan tulisanku itu.
“Seandainya di paragraf terakhir kau ulas hakikat ilmu dan barokah, aku beri nilai sembilan untuk tulisanmu itu. Ah, Ram. Di zaman sekarang, mencari barokah itu sangat susah. Menjalankan kebenaran bak menggenggam bara api di telapak tangan. Semua bercampur baur dan sulit dibedakan, mana yang mencari ilmu semata-mata niat mengharap ridho Allah, dan mana yang mencari ilmu hanya demi kepentingan duniawi. Tentu aku tak melarangmu menjadi dokter, pengacara ataupun politikus. Apa pun profesimu nanti, carilah barokah. Menjadi dokter, carilah barokah. Menjadi pengacara, carilah barokah. Bagaimana caranya? Jika itu baik dan benar, teruskan. Jika tujuannya benar tetapi jalannya tidak baik, tinggalkan. Misalnya, niat cari rezeki demi memenuhi nafkah istri, tapi dengan jalan mencuri. Jangan. Apalagi tujuannya tidak baik dan ditempuh dengan jalan tidak benar. Jangan kau pilih.”
***
Di tepi kolam yang berlumut dan tak lagi berisi ikan gurami, aku kembali duduk termenung di bawah pohon mahoni. Semalam aku dipanggil ayah dan ibu di ruang tamu. Mereka mengadiliku dengan kalimat menghunjam. “Dasar anak durhaka! Tidakkah kau tahu kalau orang tua selalu mengharap kebaikan untuk anaknya?”. Kalimat ini sangat menyayat hati. Sebab aku menyayangi ayah dan ibu sebagaimana Ibrahim mengasihi bapaknya kendati menyembah berhala, dan keduanya membenciku sebagaimana Hamnah binti Sufyan membenci Sa’ad, anaknya, ketika memutuskan memeluk Islam.
Sungguh, jika bukan karena nasihat Kiai Sanusi, barangkali kegoyahanku makin goyah. Lemah dan tak memiliki gairah hidup. Bayangkan! Ayah bermaksud menjual sebidang tanah guna menyuap salah satu pejabat demi memperoleh pekerjaan untukku. Bukan aku berlagak sok putih bak malaikat di surga. Tetapi, aku tidak suka cara yang dilakukan ayah dan ibu.
“Kau betul-betul buta atau bagaimana, Ram? Mereka yang sarjana saja banyak yang luntang-lantung mencari pekerjaan, sementara dirimu yang punya peluang malah buang kesempatan. Butakah matamu itu, ha?”
Lain ibu, lain ayah yang berkata, “Jangan-jangan ini hasil didikan pesantren? Tak ingin mencari dunia dan ingin melarat saja lewat budidaya ikan!”
Aku yang kurang begitu suka nama pesantren dibawa-bawa, terpaksa menengadahkan kepala. Aku tatap kedua mata orang tuaku yang menyala-nyala.
“Seandainya budidaya ikan adalah hasil didikan pesantren, aku sampaikan kalau ini adalah pilihan yang akan aku perjuangkan. Sebab aku ingin mencari rezeki yang barokah. Aku ingin hidupku berkah. Lantas, aku tanyakan pada Ayah dan Ibu sekarang. Jika kelak ajal menyapa, baik Ayah maupun Ibu berada dalam gelap kubur, mana yang kalian butuhkan: doa seorang anak melalui fatihah dan yaasin yang akan menerangkan jalan menuju Allah, atau harta yang aku timbun sebanyak-banyaknya yang didapat dari hasil menyuap lalu aku taruh di makam kalian berdua?”
Ayah dan ibu tercengang. Keduanya terpaku mendengar kata-kataku. Aku tahu, keduanya tak menduga jika anaknya berkata begitu. Bahkan nyala mata mereka meredup seketika. Moga-moga, ini langkah awal Tuhan mengubah tabiat keduanya.
Keren bgt yaampunn