Orang-orang mengatakan bahwa saya telah diterkam harimau hutan lalu terjatuh ke sungai, sampai akhirnya salah seorang dari mereka menemukan saya terdampar ke bibir daratan. Namun, saya meragukan kebenarannya. Sebab selangkangan saya begitu perih, dan saya yakin telah diperkosa manusia—karena tidak mungkin harimau hutan mengincar bibir kemaluan perempuan seperti saya.
Melalui bahasa yang terbata-bata sekaligus mata yang berkaca-kaca, saya selalu berdoa pada alam agar ingatan saya kembali hadir. Sungguh, saya benar-benar tidak bisa menjawab ketika orang-orang menanyakan; nama, tempat tinggal dan kenangan. Aneh! Jangankan kenangan, mengingat wajah sendiri saja tak bisa, apalagi mengingat sekelumit peristiwa yang terjadi pada masa lalu.
Tetapi, bukan berarti saya tak tahu cara balas budi, sebab mereka telah sudi menunggui saya selama sepuluh tahun. Menurut cerita, selama itu saya hanya terlentang di atas dipan tanpa membuka kelopak mata, dan satu-satunya tanda kehidupan adalah naik-turunnya dada sebagai tempat olah udara. Tentu tak mudah memelihara harap selama itu. Apalagi yang ditunggu ternyata ruhnya tak berada di bumi juga tak di langit. Sialnya, ketika saya ditanya tentang apa yang saya lihat selama sepuluh tahun, saya tak bisa jawab. Saya tak mampu mengingat apa-apa.
Apakah saya bertemu iblis, malaikat atau arwah nenek moyang? Lagi-lagi saya menggelengkan kepala. Saya betul-betul lupa. Satu-satunya yang saya rasakan adalah rasa perih di kelamin, dan saya yakin itu bukan mimpi. Sebab sampai sekarang, kelamin saya masih menyimpan perih. Saya tahu, mata orang-orang itu berlinang air mata. Ada bahasa bening yang disampaikan melalui mata ketika mengetahui saya tak punya apa-apa meski sebatas nama.
Akhirnya, orang-orang yang terdiri dari seorang lelaki dan perempuan sepuh—agaknya, mereka ini adalah orang tua dari yang lain—tiga lelaki paruh baya yang badannya tegap dan berisi, dan lima perempuan paruh baya yang badannya tak kalah berisi, memutuskan memberi nama Rukmini pada saya. Perempuan berusia empat puluh tahun tanpa suami, tetapi memiliki seorang anak perempuan bernama Laksmi. Anak perempuan itulah yang menemukan saya terdampar di pinggir sungai, dan anak perempuan itu pula yang tak pernah meninggalkan saya selama sepuluh tahun terakhir. Sekarang, ia berada di ambang pintu, menatap saya nanar.
Saya bisa menangkap bahasa tulus pada kedua mata Laksmi. Ketika ia membantu saya beranjak dari pembaringan, lalu menaruh bantal sebagai tempat bersandar, atau ketika membantu saya mengompres selangkangan memakai air hangat demi mengurangi rasa perih, tak pernah Laksmi melakukan dengan gerak tubuh kasar. Sangat halus dan telaten. Sangat pelan seakan takut menyakitkan. Anehnya, selama itu pula Laksmi tak pernah bicara. Ia berbicara lewat bahasa mata. Begitu adegan kami berhari-hari.
Sampai akhirnya, perempuan sepuh itu mengajak saya bicara. Katanya, biar bagaimanapun, saya adalah Rukmini dan memiliki anak perempuan bernama Laksmi. Sebagai ibu, saya harus bersikap hangat. Terlepas apakah di kehidupan masa lalu memiliki anak atau tidak, nyatanya Laksmi yang telah menolong dan merawat saya selama sepuluh tahun.
Maka, saya berusaha menurut. Mula-mula saya merasa canggung ketika perempuan sepuh itu menyuruh Laksmi tidur di samping saya. Saya merasa tidak biasa. Tetapi perempuan sepuh itu meyakinkan, jika selama tak sadar diri, justru Laksmi selalu tidur di samping saya sembari berdoa pada Penguasa Alam agar diberi kesembuhan pada diri saya.
Mula-mula saya merasa sungkan, ketika Laksmi mendekap saya begitu erat. Semalaman saya berjaga dan tak bisa menutup kelopak mata. Saya tahu Laskmi melakukan itu dalam keadaan terlelap. Saya juga tertegun ketika Laksmi memanggil saya Ibu. Agak lama saya termangu, namun akhirnya saya sadar; saya adalah Rukmini; perempuan berusia empat puluh tahun tanpa suami, tetapi memiliki seorang anak perempuan bernama Laksmi.
Saya tidak menyangka, jika hidup Rukmini penuh macam cerita. Saban pagi saya harus pergi ke ladang, merawat sayur yang beragam. Tiap lima hari sekali, orang dari kampung kecamatan datang memborong terong, kacang panjang, labu dan semacamnya. Sebagian hasil penjualan saya tabung sebagai bekal masa depan. Apalagi saya punya anak perempuan berusia dua puluhan, dan tak lama lagi akan dipersunting lelaki. Kendati Laksmi berulang kali menolak terburu-buru, sebab ia ingin menghabiskan banyak waktu dengan sang ibu, saya tetap harus menabung.
Adalah peristiwa sebelas tahun lalu penyebabnya. Kala itu, Laksmi berusia sebelas ketika sang ibu mati terpeleset di sungai dan sampai sekarang tak ditemukan. Saban hari Laksmi menunggu. Saban pagi ia berada di tepi kali berharap ada keajaiban dari Tuhan. Tak jarang ia berbicara pada arus sungai. Tak jarang ia bicara pada ikan, sampai-sampai Laksmi dianggap tak waras. Ia ditertawakan banyak orang musabab tak mampu menerima rasa kehilangan. Barangkali Tuhan tak tega. Dia memberi keajaiban dengan mengirim tubuh saya yang lunglai tak berdaya.
Mendadak tubuh saya gemetar ketika perempuan sepuh itu menceritakan penemuan saya sekaligus perjalanan hidup Laksmi. Perempuan sepuh itu bahkan memeluk saya sembari menangis, katanya, ibu Laksmi adalah anaknya yang mati terseret arus. Saya ikut sedih ketika perempuan sepuh itu bersimpuh di kedua kaki saya. Ia mengucap beribu-ribu terima kasih sebab saya berkenan menjadi Rukmini bagi Laksmi. Perempuan sepuh itu sangat bahagia mendapati cucunya memiliki semangat hidup. Saya juga bahagia melihat Laksmi yang kembali ceria setelah sebelumnya hidup bagai mayat.
Namun, suasana berubah haru ketika tengkulak yang biasa mendatangi petani, tiba-tiba tak datang lebih dari tiga pekan lamanya. Bersama dua perempuan yang lain, kami sepakat mengangkut sayur dengan menyewa pikep Pardi, menuju kota kecamatan yang jaraknya empat puluh sembilan kilometer, dan itu harus melewati bukit, hutan serta jalanan curam nan berkelok tajam.
“Tak tahukah Ibu bagaimana perasaanku ketika menunggumu di tepi kali tiap hari? Tak tahukah Ibu bagaimana perasaanku saat dicemooh gila musabab menunggu sesuatu yang tak pasti? Tak tahukah Ibu bagaimana perasaanku ketika mendapatimu terdampar tepat di bawah kaki? Tak tahukah Ibu kalau aku akan merindukanmu?”
Seketika saya dekap Laksmi. Baru kali ini saya merasa berat padahal saya pergi barang sehari. Saya berjanji akan kembali. Saya janji. Bukankah saya adalah Rukmini. Seorang perempuan berusia empat puluh tahun tanpa suami, tetapi memiliki seorang anak perempuan bernama Laksmi?
Maka, dengan menanggung beratnya perpisahan, saya tetap pergi. Saya mencoba menepis raungan Laksmi. Terlebih, Wak Darman—lelaki sepuh itu—memberi pesan agar saya cepat-cepat pulang dan tak usah singgah ke suatu tempat.
Saya berangkat lepas azan Isya. Di bawah naungan terpal, kami halau udara dingin yang menggigilkan tulang. Di sepanjang jalan, kedua tetangga saya itu banyak menghabiskan waktu dengan tidur. Saya memilih menikmati apa-apa yang disajikan alam dengan mengingat Laksmi. Saya berjanji, sekembalinya nanti, saya akan mengasihi anak itu setulus mungkin. Setulus ia merawat saya selama sepuluh tahun terakhir. Saya tidak sanggup membayangkan, bagaimana jalan hidup yang dilalui Laksmi sepeninggal ibunya. Saya dihinggapi rasa bersalah sebab selama ini saya merasa canggung ketika berinteraksi.
Tetapi, keinginan saya untuk cepat pulang rasa-rasanya lebih lama dari perkiraan. Pikep yang dikomandoi Supri dan anak buahnya masih berhenti di sebuah perempatan, di mana sepanjang jalannya lampu-lampu menyala terang. Saya kira ban mobil bocor atau ada onderdil yang mesti diganti, ternyata Supri tersenyum-senyum ketika ditanya.
“Tubuh saya mesti dihangati, Mbak. Bukan mobilnya.”
Seketika selangkangan saya merasa perih. Entahlah. Ketika mendengar dan membayangkan adegan hubungan badan, kemaluan saya seperti terdapat banyak duri. Pedih bertubi-tubi. Tetapi saya memilih pasrah, sebab saya tak tahu berada di mana. Kendati Supri menyebut kota kecamatan tak jauh dari perempatan ini, saya ikut turun dari pikep. Mengikuti saran Supri yang meminta saya melihat pemandangan di sekitar perempatan daripada berada di atas kendaraan bersama dua perempuan yang terlelap.
Di sepanjang trotoar perempatan ini, banyak bangunan semi permanen berdiri. Kau tahu, ada banyak perempuan cantik duduk berjejer di depan bangunan. Mereka saling berlomba menarik minat lelaki. Saya tersenyum getir mengingat kelakuan Supri. Katanya, sebagian sopir yang mengemudikan kendaraan pada malam hari lebih sering mencari kehangatan dengan cara demikian. Saya tersenyum getir. Satu-satunya yang menarik minat saya hanya patung perempuan yang tengah duduk menopang dagu, berada di jantung perempatan sebagai tugu.
Bergegas saya berjalan ke arah sana. Meninggalkan Supri yang berjalan ke mana. Sungguh, saya merasa seperti ada yang menarik tubuh saya untuk mendekati patung itu. Kendati suara musik, dan cekikikan perempuan yang menggoda lelaki terdengar memuakkan, saya tak ambil pusing. Saya tetap berdiri di tengah-tengah pusat perempatan, yang terdapat lalu-lalang kendaraan. Saya terus mengamati lekuk tubuh patung ini. Ada semacam bahasa yang tidak bisa saya tafsirkan. Sampai akhirnya saya mendengar teriakan Supri di seberang kiri.
“Mbak. Mbak. Jangan pergi jauh-jauh, ya! Nanti saya dibunuh Wak Darman.”
Saya tertawa melihat Supri menggaet seorang perempuan muda. Cepat jua dia menemukan pelampiasan. Saya taksir usia perempuan itu dua puluh-an. Wajahnya cantik ketika tersenyum pada saya. Kami bersitatap begitu lama. Tak lama kemudian senyum perempuan itu berubah masam. Mendadak saya merasa pening. Kepala saya seperti dihantam sebongkah batu. Ingatan masa silam saya kembali hadir satu-satu.
Sebuah masa di mana saya diseret dan disekap ke dalam mobil. Lalu disiksa, diperkosa kemudian dibuang ke tepi hutan. Bahkan sebelum diterjunkan ke dasar sungai, selangkangan saya masih disodok berulang kali. Saya tak menangisi kepedihan atas apa yang dilakukan laki-laki itu. Saya hanya menangisi perpisahan saya dengan Laksmi, putri saya yang berusia sebelas tahun.
Saya tidak tahu apa yang akan terjadi ketika sepulang sekolah, ia tak menemukan ibunya di rumah. Saya tidak bisa membayangkan apa yang terjadi pada anak kecil tadi. Yang saya tahu, dulu saya pernah bercerita pada Laksmi, bahwa patung di tugu perempatan ini adalah simbol penantian. Entah seorang perempuan yang menunggu kekasihnya, atau seorang ibu yang menunggu anaknya dan sebaliknya, tugu itu adalah lambang kesetian pada waktu. Kini anak itu didekap Supri. Ia sedikit tergagap ketika diajak memasuki salah satu bilik, sementara bibir saya tercekat memanggil nama Laksmi dan Laksmi.
Sangat kerennnn