Dalam perjalanan sejarah umat manusia, hanya ada sedikit pledoi atau catatan pembelaan di pengadilan yang bersifat abadi dan layak dicetak menjadi sebuah buku. Salah satu pledoi abadi yang layak cetak dan bisa dijadikan koleksi bagi para aktivis serta pemikir adalah pledoi George Dimitrov di muka mengadilan Nazi Jerman di tahun 1933. Pledoi Dimitrov tersebut dicetak oleh penerbit Bintang Merah Djakarta sebagai dalih untuk membuktikan tentang “bagaimana tingginja moral dan kepercayaan “kaum Revolusioner” didalam mendjundjung tinggi nama partai dan membela program²nja” (Halaman 5). Lalu, penerbit Bintang Merah Djakarta memberi Pledoi Dimitrov tersebut dengan judul bombambatis: Menggugat Fasisme.
Pada awal-awal buku Menggugat Fasisme ini, kita langsung bisa menyaksikan dengan jelas bagaimana keperwiraan Dimitrov dalam membela partai dan ideologi yang ia yakini. Dimitrov tidak hanya sibuk membela diri sendiri dan lepas tangan dari tanggung jawab moralnya sebagai pemimpin partai sekaligus seorang revolusiner. Dimitrov dengan gagah menggugat prosesi pengadilan Nazi Jerman yang tidak adil dan bersifat curang. Dimitrov menggugat, menjelaskan dan menuntut, bukan hanya pada para hakim dan jaksa di pengadilan Jerman, tapi juga pada hadirin yang hadir dan pada dunia.
Dalam hal ini Dimitrov berseru “Saja membela diri saja, sebagai seorang komunis jang tertuduh. Saja membela kehormatan revolusioner komunis saja sendiri. Saja membela fikiran² saja, kejakinan² komunis saja. Saja membela tudjuan dan isi daripada hidup saja. Oleh karena itu tiap perkataan jang saja utjapkan dimuka pengadilan adalah, boleh dikatakan, darah daripada darah saja, daging daripada daging saja”. (Halaman 9)
Seruan menggelegar seperti itu, saya rasa hanya bisa keluar dari mulut-mulut seorang revolusioner. Seorang revolusioner memang akan selalu memiliki keyakinan yang kuat pada hadirnya hari depan yang lebih cerah. Mereka selalu bisa optimis untuk memenangkan perjuangan. Mereka memiliki visi hidup yang jelas dan tidak bisa digoyahkan oleh apapun. Mereka ibarat batu-batu karang yang mampu menahan gempuran masalah yang datang menghampiri.
Saya membayangkan wajah Dimitrov yang garang, akan sangat berbanding terbalik dengan wajah para politisi Indonesia saat ini ketika mereka dihadapkan di muka pengadilan. Wajah-wajah lesu dan hipokrit Nazarudin, Anas Uraningrum dan Andi Malarangeng merupakan cerminan dari kekosongan ideologi dan sifat-sifat mereka yang reaksioner. Tokoh-tokoh politik Indonesia tersebut bukanlah tokoh revolusioner yang akan mati-matian membela kehormatan partai dan kehormatan ideologinya. Yang ada, mereka malah mempermasalahkn partai dan mengganggap partai tempat mereka berkarir sebagai penghianat. Para politisi Indonesia yang ditangkap komisi Pemberantasan Korupi (KPK) dalam perkara korupsi, sering mengganggap diri mereka dikorbankan oleh partainya dan tokoh-tokoh elit di dalamnya. Mereka merasa dizalimi oleh partai sehingga putus pula tanggung jawab untuk membela partai dan ideologinya.
Hal ini, sangat berbeda dengan Dimitrov. Dimitrov tidak pernah merasa dikorbankan, dikhianati ataupun dizalimi. Dimitrov merasa pemenjaraan dan penangkapan yang dialaminya adalah sebuah konsekwensi logis dari cita-cita revolusioner yang ia miliki, sehingga saat terjadi pemenjaraan dan penangkapan, Dimitrov telah sangat siap. Kesiapan itu bisa kita saksikan pada pembelaannya yang tandas dibagian pertengahan buku Menggugat Fasisme. Dimitrov membela kaum komunis dari tuduhan pembakaran gedung Reichstag Jerman. Dimitrov dengan jelas juga mampu membalik semua argumentasi jaksa dan hakim pengadilan Nazi Jerman tentang pembakaran gedung Reichstag.
Dimitrov menunjukan bahwa kebakaran gedung Reichstag Jerman tidak mungkin dilakukan oleh seorang komunis yang sadar pada program-program partai dan situasi reaksi kanan yang sedang meninggi. Dimotrov menganggap tuduhan-tuduhan jaksa penuntut dan hakim pengadilan pada dirinya dan kaum komunis sebagai tuduhan paslu yang tidak masuk akal. Dimitrov juga menunjukan bahwa pembakaran gedung Reichstag adalah sebuah dalih untuk penangkapan besar-besaran kaum komunis dan kaum pekerja Jerman secara umum serta pemberlakuan undang-undang darurat yang mencabut semua hak-hak demokratis rakyat pekerja. Sebab, sejak peristiwa pembakaran gedung Reichstag tersebut, kaum pekerja dan kaum komunislah yang sangat dirugkan, baik secara politik, ekonomi maupun hukum.
Sejarah pun kemudian membenarkan uraian Dimitrov tersebut. Hitler dan orang-orang Nazi sendirilah yang sesungguhnya bertanggung jawab atas musibah kebakaran gedung Reichstag Jerman. Hitler dan Nazi adalah aktor yang bertanggung jawab atas musibah kebakaran tersebut dan mereka jugalah yang paling di untungkan dari kejadian itu. Untuk persoalan aktor serta tersangka pembakaran gedung Reichstag Jerman, Dimitrov punya penjelasannya sendiri. Dimitrov berkata: “Demikianlah pembakaran atas gedung Reichstag timbul dari persekutuan rahasia antara politik mata-gelap dan politik provokasi. Wakil sekutu dari politik mata gelap berada didalam sel pendjara. Wakil sekutu dari politik provokasi tetap bebas”. (halaman 28).
Selain itu, Dimitrov juga menjelaskan tentang adanya kaum buruh yang dijadikan alat oleh kaum Nazi untuk kepentingan-kepentingan provokasi mereka. Kaum buruh yang bisa dijadikan alat oleh Nazi adalah kaum buruh yang tidak terideologisasi dan tidak memiliki kesadaran kelas. Untuk hal ini dimitrov menjelaskan: “Siapakah Van Der Lubbe itu? Apakah dia seorang komunis? Se-kali² bukan! Apa dia seorang anarkis? Bukan! Dia adalah seorang buruh jang sudah terlepas dari klasnja, seorang proletar-kere (lompen-proletar), pengatjau, seorang machluk jang telah dipakai setjara salah, jang telah digunakan untuk menentang klas buruh”.
Dalam suasana tegang dan penuh provokasi, Dimitrov berusaha untuk tetap tenang dalam menjelaskan setiap argumentasi dan pembelaannya. Dimitrov adalah seorang revolusioner yang berkepala dingin. Dimitrov tetap yakin pada pendiriannya bahwa sekalipun ia dipenjara dan dipersalahkan oleh pengadilan Nazi Jerman, dunia dan sejarah akan membuktikan ke-tepat-an analisisnya dan ketidakbersalahan partainya.
Ia dengan jitu menyatakan realitas pengadilan Nazi Jerman dan juga keyakinanya pada keadilan. Dimitrov berseru: “Tidak bisa disangkal lagi bahwa suasana politik pada suatu ketika dan aliran² politik jang berkuasa selalu mempunjai pengaruh atas putusan² pengadilan”. Namun, bagi seorang revolisoner, ia akan tetap percaya bahwa “akan tiba saatnja dimana usul² ini akan didjalankan dengan adil. Mengenai pengusutan jang sempurna atas pembakaran gedung Reichstag dan ditemukannja pendjahat² jang sebenarnja, hal ini, sudah tentu, akan dilakukan oleh pengadilan rakjat dalam revolusi proletar jang akan datang”. (halaman 35).
Begitulah gambaran keyakinan seorang revolusioner dalam menghadapi gugatan pengadilan. Seorang revolusioner seperti Dimitrov tidak akan gentar pada gugatan palsu kaum reaksioner yang berusaha mencemarkan nama baik partainya. Ia juga tidak akan gentar dalam mengahapi tuduhan atas dirinya sendiri. Seorang revolusioner adalah seorang yang yakin pada kekuatan dirinya, kekuatan ideologinya, juga kekuatan massa rakyat yang selalu menjadi pendukungnya. Begitulah.
*Penulis adalah pecinta buku sastra, sejarah serta ilmu-ilmu sosial lainnya.
Politikus tidak terideologisasi
Politisi indonesia sak ini cen rak ndue ideologi.