Oleh Budiawan Dwi Santoso
Membaca buku puisi anyar dari Radhar Panca Dahana (RPD) berjudul Manusia Istana, bagi saya, selain memotret hingar-bingar perpolitikan Indonesia ini, juga mengajak kita (pembaca) untuk menyelami dunia politik itu sendiri. Saya sebagai pembaca pun, merasa dipantik kesadaran kolektif saya, bahwa lingkungan politik kita sudah kotor, mengalami krisis, dan penuh manipulasi.
Seperti, yang kita lihat lewat berita di pelbagai media; koran, majalah, televisi, sampai dengan media sosial; drama politik Indonesia adalah drama yang dipenuhi tekanan, gejolak, dan konflik. Mulai dari korupsi, kolusi, pertikaian yang dialami para wakil rakyat, dan akhirnya, memantik demonstrasi dari rakyatnya. Hal ini menandakan bahwa tingkah laku dan kebijakan wakil rakyat pada rakyatnya tak memberikan kesejahteraan apalagi ketentraman. Bahkan, ketidakhadiran maupun keterkantukan para wakil rakyat dalam sidang atau rapat di gedung DPR, sudah menjadi bukti bahwa mereka tidak bekerja dengan sungguh-sungguh.
Kenyataan itu, tergambarkan pada puisi RPD berjudul Parlemen Gerutu, yang saya nukilkan berikut ini: “dua-tiga ratus kursi mengeluh/ pagi terlalu kantuk/ kertaskertas terlampau mabuk; mimbar kosong/ suara bergema begitu purba/ meja jati transaksi/ seratus keputusan kita jual-beli; mata dan keringat tak lagi rakyat/ airnya kering menggurun/ diperas gaji, tunjangan, kantor, sofa/ blackberry, notebook, sekspri, wisata/ keluarga, ongkos kenakalan dan biaya kaus kampanye” (hal. 21).
Lebih lanjut, puisi-puisinya, yang tersisipi bahasa asing, kosakata yang teknologis, menunjukkan bahwa realitas kini memang dilingkupi pelbagai teknologi, dan globalisasi bahasa. Menariknya, meski puisi-puisi Radhar begitu kompleks dan terasa lepas, bukan berarti, secara irama, penggunaan kata, diksi, dan rima hanya juga berlepasan atau serampangan begitu saja. Bila kita simak setiap puisinya yang terkumpul dalam buku ini, masih nampak bahwa RPD tidak menghilangkan diksi dan aturan puisi, yang dikatakan Agus R. Sarjono, ‘syariat’. Hal ini menandakan bahwa RPD tidak melepas tradisi puisi, tradisi sastra.
*
Puisi-puisi dalam buku ini, juga menunjukkan pandangan si penyair (RPD) yang memiliki kesadaran dan empati terhadap penderitaan yang dialami rakyat. Ia mampu menyelami masalah-masalah sosial dan kemanusiaan, seperti yang diutarakan Ahmad Syafii Maarif; serta sadar akan timpangnya perpolitikan Indonesia, sehingga ia harus memberi pesan dan kritik lewat puisi politik.
Puisi-puisi politik, yang tentu saja mengkritik dunia perpolitikan sendiri, mengingatkan kita pada puisi-puisi dari beberapa penyair, seperti Rendra, Taufik Ismail, atau Wiji Thukul. Dimana, puisi-puisi mereka merupakan puisi sindiran satir tentang kesewenang-wenangan rezim Orde Baru, yang tentu saja, dapat mengakibatkan si penyairnya diasingkan, ditahan, dicekal, atau dihilangkan.
Dan, ketika mengingat hal itu, keberanian RPD menghadirkan buku puisi politik ini, justru menyadarkan dan memberi tanda bagi kita bahwa demokratisasi di Indonesia sekarang terbuka lebar. Hanya saja, membaca buku puisi ini, lagi-lagi kita disadarkan terhadap keadaan yang paradoks. Yakni, ketika masa Orde Baru telah jatuh, terganti masa reformasi, justru, Indonesia semakin kacau balau.
Ini tergambarkan dalam puisi Demonkrasi Pagi Ini yang saya nukilkan dalam bentuk parafrase berikut: “Keserakahan dan korupsi jadi urat nadi di negeri ini, kita adalah darahnya saudara-saudara! Keparat dan bajingan asing, komprador yang melulu bising mengisi kantor dan rekening, lalu kita, jadi nasabahnya, saudara!” Atau, dapat kita simak dalam nukilan puisi Reformati ini, yang secara tersirat memiliki makna atas kematian sebuah ‘reformasi’: “saksikan/ burungburung hinggap/ di ujungujung atap/ dan hidunghidung berasap/ membuatnya lenyap,/dan mulutmulut menganga/ bertapak katakata/ berotak butabuta.”
Adapun, RPD, yang kehidupannya berada di dekat ibukota, dan pernah bekerja sebagai jurnalis di beberapa media massa, lalu, pernah aktif di pelbagai kelompok teater, dan menulis esai, puisi, cerpen, naskah drama; bahkan, lingkungan pergaulannya tidak hanya dengan para sastrawan, budayawan, masyarakat biasa, tapi juga politikus, justru menjadikan RPD sebagai manusia yang memiliki wawasan luas sekaligus kesadaran kolektif. Kesadaran ini yang mampu membuatnya melihat realitas dengan cermat, tajam, peka, melingkupi pelbagai hal.
Dan, dari hal itu, maka tak mengejutkan apabila puisi-puisinya menyala-nyala, ekspresif, dan dipenuhi hiruk-pikuk dalam bahasa puisinya, sehingga begitu berisi dan bermakna. Seperti nukilan puisi Sejak Arya, Diri Jadi Daratan Jadi Karatan berikut: “maka tulislah sejarah/ dalam bahasa dan pustaka/ dalam hidup terjajah/ bangsabangsa benua/ sejak india, arab, cina/ armenia, yahudi, portugis/ hingga amerika;/ riwayat yang kalah/ setengah badan menyerah/ setengah lain melulu pasrah./ dua ribu tahun sudah/ ilmu, tata/ kelola, dan rekayasa/ jadi adab jadi kemajuan/ identitas, segala ukuran/ di tanah yang dilapis ilmu,/ buku, keju, peluru, dan salju/ hingga politik, ekonomi/ dan hukum yang besi/ hingga kuasa tak tahu diri/ bila daratan cuma/ jadi tumpuan bersama.”
Belum ada tanggapan.