perempuan-senja-di-tepi-pantai

RAFAEL

Aku menyebutnya Rafael, aku lupa tanggal dan bulan ketika pertama kali aku mengenalnya. Rafael duduk di Halte Bus yang sama setiap sore atau mungkin sampai malam, aku selalu melihat dia setiap kali pulang dari kampus. Mungkin Rafael dari Fakultas Sastra, aku menemukan puisi yang tercecer dari kertas yang dia tinggalkan di Halte Bus. “Margareta” Nama seorang gadis yang Ia tulis dalam puisinya. Aku tidak pernah menanyakan nama sebenarnya siapa, dan aku memang lebih suka memberi julukan pada orang-orang sesuai yang aku inginkan. Mungkin  karena ia selalu menulis tentang Margareta dalam setiap puisinya aku pikir aku pantas memberi nama Rafael untuknya. “Rafael sang pemuja Margareta”.

Rafael selalu mengenakan Syal dan topi cupluk warna hitam. Kaca mata dengan lensa tebal meningggalkan bekas pada hidungnya yang mancung. “Maaf, kemarin aku menemukan ini” Alis matanya yang tebal hampir saja menyatu ketika Ia mengerutkan dahinya, Udara sudah tak lagi terik saat itu, aku memberikan selembar kertas yang kupungut kemarin sore. “Kau menyukainya?” Angin mengubah letak syalnya, mataku tak lepas memandang bekas kaca mata pada hidungnya. “Iya” Jawabku singkat. “Kalau begitu ambil saja untukmu” Tangannya kembali menyodorkan kertas betulis  puisi padaku.

Semenjak hari itu aku jadi sering menemani Rafael duduk di Halte Bus. Aku selalu ingin menjadi orang pertama yang membaca puisi tentang Margareta. Rafael menulis puluhan puisi untuk Margareta, atau mungkin juga ratusan puisi, tatapan matanya selalu kosong ketika satu puisi tercipta untuk Margareta. Beruntung sekali Margareta ada seorang laki-laki yang selalu mencintainya hingga menuliskan ribuan puisi untuk mengabadikan kisah-kisahnya.

 

Margaretaku yang bergaun biru, aku menyimpan harap pada bening matamu. Pada setiap dekap yang kau berikan untukku. Hidup hanyalah masalah waktu, sering kali cinta tidak bisa menunggu.

“Di mana Margareta sekarang” Bising suara kenalpot mobil memaksaku mengeraskan volume suaraku. “Di Istananya” Raut wajahnya kembali sayu, meski seulas senyum tipis yang Dia sunggingkan padaku. “Lantas kenapa kau di sini?” Rafael  berbalik menatapku. “Kau pernah jatuh cinta?” Wajahku memerah, sebisa mungkin aku menyembunyikan rasa gugupku. “Pernah” Jawabku, meski aku tak berani menatap sorot matanya yang tajam ketika menatap wajahku, aku hanya menatap sudut bibirnya yang lengkung menunjukan barisan gigi putih rapih.  “Hey kenapa kau menertawakan aku?” Aku meninju lengangannya “Puisi ini untukmu saja anak kecil” Kemudia Rafael meninggalkanku termangu, “Aku sudah besar!” Teriakku padanya. Rafael membalikan punggungnya “Ya, kau lebih besar dari dua belas tahun lalu Margareta!” Teriaknya, kemudia melambaikan tangan ke arahku. Aku termangu.

****

Margareta adalah seorang putri yang hanya mampu Rafael pandangi,  seorang putri yang terkurung dalam istananya yang luas, tidak punya kebebasan bahkan untuk menentukan hidupnya sendiri. Kalau dipikir mirip denganku, tidak mempunyai banyak teman, dipaksa kuliah kedokteran, padahal aku sangat menyukai sastra. Puisi-puisi Rafael membawaku merenung, mungkin Dia benar, aku tidak pernah benar-benar jatuh cinta, atau mungkin lebih tepatnya aku membentengi diriku sendiri untuk tidak jatuh cinta.

Asap knalpot seperti lubang waktu yang membawaku pergi ke masa lalu, kepulan-kepulan hitam seperti sedang mementaskan sketsa-sketsa tentang kenangan yang diputar berurutan. Aku melihat seorang gadis kecil berdiri pada jendela kelas, matanya lurus menatap seorang anak laki-laki yang sedang duduk di taman dengan pensil dan buku gambar di tangannya, angin meniup syal yang selalu dikenakan anak itu, tak ada anak yang mau bermain dengannya. Mereka bilang anak itu punya penyakit yang sangat berbahaya, sehingga akan merenggut nyawanya, entah aku tidak tahu persis apa penyakit anak itu. Seorang teman pernah langsung menarik tanganku ketika aku sedang ingin berbicara padanya. Semenjak hari itu aku hanya berani memandanginya dari jendela kelas, sesekali dia akan menatapku dan aku berpura-pura tidak melihatnya. Anak laki-laki dengan topi cupluk hitam dan syal yang melilit pada lehernya. “Rafael!” Aku tersentak, apa mungkin anak itu adalah Rafael?. Dan kenapa Rafael memanggilku Margareta?, Margareta Putri dunia maya, Margareta Cinderela kuper yang terpenjara, Margareta ratu dari bintang-bintang di surga, Rafael memberikan ribuan julukan untuk Margareta. Kadang aku masih belum bisa membedakan batas dunia nyata dan keelokan kata-kata yang Dia goreskan pada kertas-kertas yang terkadang dia sendiri pun lupa untuk menyimpannya. Margareta? Nyatakah Ia?. Atau hanya tokoh fiksi buatannya saja?. Rafael? Apakah dia orang yang sama dengan bocah laki-laki yang dua belas tahun lalu pernah mencuri perhatianku dengan topi cupluk dan syalnya?. Yang setelah hari itu aku tidak pernah melihatnya lagi. Entahlah yang jelas aku mulai jenuh namun khawatir, karena sejak tadi aku tak melihat Rafael duduk di sini seperti hari-hari sebelumnya, akhirnya aku memutuskan untuk pulang.

****

Seorang gadis selalu menatapku dari balik jendela , dari sekian banyak siswa di sekolahku, hanya dia yang selalu tersenyum dan menyapaku meski semua anak di sekolah ini menghindariku. Mereka bilang aku punya penyakit yang berbahaya sehingga mereka tidak mau bermain denganku hanya gadis itu  yang selalu tersenyum bahkan berusaha untuk menyapaku. Semenjak itu aku menyebutnya Margareta karena gadis itu mempunyai hati selembut Bunda Maria. Aku tidak perduli siapa namanya bagiku dia adalah Margareta. Aku pindah sekolah, dan aku berjanji tidak akan mati sebelum menemuinya Margareta peri baik hati.

Margareta menatapku, sorot matanya masih sama seperti dua belas tahun lalu, mungkin dia sudah tidak mengenaliku lagi, namun dia tetap sama, masih menyukai puisi, karena itu aku menulis ribuan puisi untuknya. Namun aku tidak punya cukup waktu, aku tak mampu menggapainya. “Maafkan aku Margareta, karena aku mencintaimu dan aku tak mampu melakukan apa pun untukmu”. Aku pergi meninggalkan beribu puisi untuknya.

****

Ketika ombak tak lagi menyampaikan pesan pada karang

Ketika senja mengubah warna, merah kekuningan.

Kemudian hitam direnggut malam

:Pekat

Ada dingin yang kau selipkan

Terbesit Tanya,

: Masih bisakah kuhirup embun dari daun?

Sementara raga semakin renta

Tutup usia

 

Aku berharap tak ada embun yang keluar dari mataku. Aku menatap kertas putih yang diberikan Rafael padaku, tangannya begitu lemah, dia menatapku, matanya yang sayup perlahan menutup. Kau adalah orang yang sama yang dua belas tahun lalu pernah mengisi hatiku.

Mungkin kita memiliki hal yang sama entah itu luka atau pun cinta. Atau mungkin kita justru tidak dapat membedakan apa itu warna.  Hingga semua terlihat sama, bahkan kita tidak bisa menikmati warna jingga di pelupuk mata. Andai kau tahu betapa dada ini sesak menahan rindu, karena semua tentang mu kadung membuku di hatiku. Mencintaimu tak bisa dihitung dengan waktu, karena waktu adalah sama berulang setiap tahunnya. Namun cinta tidak akan lekang dengan hitungan, maka abadilah. Untuk engkau jiwa yang selalu ada, tak terikat dengan raga dengan apa pun kau menjelma.

, , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan