Hati gadis itu memang luas. Seluas Sahara. Benar. Orangtuanya memberi nama itu sangatlah cocok dengan kepribadiannya. Entah amalan apa yang kerap ditasbihkan oleh Dahlan dan Mae, sepasang suami istri asal Bobojong. Sebuah kampung sederhana yang bersembunyi di balik megahnya kota Bandung. Hingga pada satu ketika, Dahlan dan Mae dianugrahi gadis mungil nan cantik. Tepat ketika bulan bersinar terang Sahara terlahir ke dunia.
Bukan tanpa alasan nama ‘Sahara’ itu disematkan. Namun karena kesulitan hidup yang senantiasa melilit-membelit. Dahlan dan Mae seakan tak pernah bisa keluar dari lingkar keprihatinan, sekalipun berjuta cara diikhtiarkan. Entahlah. Apabila bukan seorang yang penyabar, barangkali keadaannya akan semakin muram. Mungkin saja terjadi salah jalan hanya untuk bertahan hidup. Bisa saja mereka menjadi pencuri, tukang ngutil atau bermain untung-untungan seperti bermain judi layaknya kawan-kawannya. Apalagi beberapa dari mereka tak pernah berputus asa merayu Dahlan dan Mae, “ayolah! Lihat peruntunganku hari ini. Modal lima puluh sekali untung lima juta.”
Tapi Dahlan dan Mae adalah manusia seteguh karang. Tuhan adalah Maha melihat. Keburukan dan kebaikan tak dapat disembunyikan. Sekalipun kita berada di lubang semut yang teramat rapat. Sekalipun helaian takdir terkoyak kemiskinan, bagi Mae dan Dahlan jalan lurus tetap pilihan. Rezeqi tak harus berupa lembaran uang. Kehadiran Sahara justru adalah harta yang tak ternilai.
Air mata Sahara berjalan perlahan. Tidak sampai terjatuh ke tanah. Tangan lembutnya telah terlebih dahulu menghadang perjalanan air mata itu. Segundukan tanah yang telah mengering dan penuh retak ini, tak boleh basah oleh air matanya. Sahara hadir ditempat ini bukan untuk mengadu tentang kedukaan, tapi untuk memanjatkan do’a. Berziarah kepada mereka yang telah mendahuluinya, hampir belasan tahun silam. Mereka yang menempanya menjadi manusia sekuat baja dan berhati seluas Sahara.
Di depan pusara Dahlan dan Mae, Sahara menguntai banyak do’a. Semoga kedua orangtuanya ditempatkan ditempat paling indah dan dimaafkan segala salahnya.
“Semoga bapak dan ibu berbahagia di sana dan aku pun akan berbahagia di rumah kita yang dulu. Aku kembali pulang, pak…bu…! Mas Adit telah mengembalikanku ke asalku.” Sampai di situ Sahara tak mampu meneruskan kata-katanya. Tenggorokannya terasa berat. Di matanya terbayang goresan-goresan luka yang dihadirkan keluarga suaminya beberapa waktu lalu.
“Apalah guna menjadi wanita, jika tidak pernah bisa melahirkan!” Momy Rita membentak.
Air mata Sahara tumpah. Dia terisak.
“Aku menikahkan anakku dengan kamu karena berharap akan segera mendapat cucu. Tapi setelah bertahun-tahun kamu tak mampu memberikan itu. Aku kecewa!” Suara Momy Rita semakin meninggi. Dan Sahara semakin takut.
“Jangan menangis! Percuma air matamu itu. Dokter sudah memvonismu mandul. Bukan salah Praditya, tapi kamu!” Telunjuk Momy Rita menepi di pangkal hidung Sahara.
“Maafkan aku, tapi itu hanya kata dokter. Aku yakin jika aku terus berusaha Tuhan akan merubah takdirku.” Dengan terisak Sahara membela diri.
“Percuma! Aku sudah kecewa. Lebih baik kamu kembali ke asalmu dulu, karena aku sudah menemukan wanita yang akan memberi keturunan buat Praditya.”
Seakan terkena sambaran petir di siang hari, hati Sahara terpecah-pecah seketika. Tak disangka, sebegitu kecewanya sang mertua padanya.
“Maafkan aku ma..”
“Ah…sudah! Aku sudah lelah bersabar menunggu keturunan dari kamu. Mungkin Tuhan benar, bahwa anakku tidak pantas memiliki keturunan dari gadis miskin seperti mu.” Semakin menggila ucapan Momy Rita. Dia lupa bahwa hidup hanyalah panggung pewayangan. Barangkali di kemudian hari dia yang akan bertukar nasib dengan Sahara. Dia pun tak sadar, bahwa kehidupan ini pun dikendalikan sang dalang yang tak lain Dia-lah penguasa seisi alam.
Mulut memang tak bertulang, namun begitulah Momy Rita. Tak kenal rasa takut apalagi rasa bersalah ketika menghina sang menantu yang sudah begitu baiknya.
“Kamu harus sadar posisi kamu! Sudah untung derajatmu kami angkat. Jika tidak, mungkin kamu sekarang masih berjibaku dengan kehidupanmu di tempat kotor itu. Kamu masih jadi pemulung!” Kembali telunjuk Momy Rita bermain-main di depan wajah Sahara. Bengis. Penuh kemurkaan.
“Kemasi barangmu dan pergi!”
Sahara tak berdaya untuk melawan. Siapalah dia? Jangankan kekuasaan, kata-kata pun terbungkam. Benar kata Momy Rita, bahwa selama ini sudah untung ada yang mengangkat derajatnya. Pada keluarga Momy Rita, Sahara tahu bagaimana rasanya tidur di kasur yang empuk. Bagaimana rasanya dinikahkan dengan pesta yang begitu mewah. Dan tahu rasanya makanan mahal ala-ala orang barat. Sekalipun di sisi lain, Sahara harus manut dengan apapun yang dikatakan Momy Rita. Percis hewan peliharaan.
Sahara berada di keluarga itu bukan tanpa perjuangan. Praditya begitu mencintainya dan terus berjuang agar Momy Rita merestui percintaannya. Momy Rita yang sudah kebelet pengen punya cucu akhirnya memberikan restu, dengan syarat bahwa Sahara harus segera hamil. Namun Tuhan berkata lain, hingga di tahun ke tiga pernikahan, cucu yang diidamkan tak jua hadir. Bahkan dokter memvonis Sahara mandul.
“Bukan salah anakku, kamu yang salah!” Tuding Momy Rita saat tahu bahwa Sahara mandul.
Ya. Mandul. Satu kata itu telah merubah semuanya. Termasuk merubah cinta kasih Praditya menjadi hambar. Bahkan ketika Sahara keluar dari rumah, Praditya yang dulu begitu hebatnya mempertahankan Sahara di hadapan Momy Rita kini seakan mati. Tidak ada pembelaan buat istrinya, kecuali hanya menatap kepergiannya dengan tanpa kata-kata. Dan bagi Sahara, sikap Praditya yang membiarkannya keluar dengan air mata, adalah hal yang tak dapat termaafkan.
Sahara menyeka kembali air matanya, yang untuk ke sekian kali. Badannya segera berbalik arah meninggalkan makam kedua orangtuanya. Pelan sekali langkahnya. Terasa berat. Rindu pada ibu bapaknya seakan semakin menggunung di dada. Ya, pada saat seperti inilah seorang anak akan begitu sangat merindui dua sosok manusia yang tak terhingga kasih sayangnya. Merekalah orangtua.
Pada bening mata Sahara, terbayanglah sesosok wanita luar biasa yang telah melahirkannya. Rupanya benar, bahwa kehadirannya sebagai seorang anak telah menjadikan ibunya manusia hebat sempurna. Ibunya bilang, bahwa melahirkan itu sakit luar biasa. Ada separuh jiwa yang dipertaruhkan. Perang sabil nyata jelas. Namun ketika tangis bayi terdengar, rasa sakit itu seketika lenyap. Kesakitan yang hebat itu seakan hanya mimpi sesaat. Sungguh bayi yang telah terlahir itu adalah obat di atas segala obat. Dan karena nikmat yang luar biasa menjadi seorang ibu, tidak ada kata trauma bagi seorang wanita sejati untuk kembali melahirkan anak ke dua, ke tiga dan seterusnya.
“Ya Tuhan…izinkan hamba merasakan apa yang ibuku rasakan.” Sahara memegangi perutnya. Tiba-tiba rasa keibuannya muncul. Terbayanglah bagaimana lucunya jika seorang bayi mungil berada di pangkuannya. Barangkali hari-harinya akan penuh tawa. Sahara pun tersenyum…membayangkan hal itu.
Sepoi angin menyapu lembut anak-anak rambut Sahara. Dia berdiri di bawah pohon ketapang, menunggui angkot. Lalu tak lama datang sepasang suami istri yang ikut berteduh bersamanya.
“Mau nunggu angkot juga?” Tanya lelaki yang terlihat setia memegangi tangan istrinya.
“Ya. Saya mau ke Bobojong.” Jelas Sahara dengan keramahannya. “Mau naik angkot juga ya?”
“Kita mau kontrol ke rumah sakit. Kebetulan istri saya sedang mengandung.” Jelas si lelaki dengan wajah penuh bahagia.
“Wah, selamat ya, Pak! Apa ini anak pertama?” Timbul rasa penasaran dalam hati Sahara mengingat usia sepasang suami istri ini tak lagi muda.
“Betul, ini anak pertama kami. Belasan tahun kami menunggu, akhirnya Tuhan kasih juga kami keturunan. Padahal dokter sudah memvonis bahwa istri saya tidak bisa memberikan keturunan. Kasarnya dokter bilang bahwa istri saya mandul. Walau demikian saya tidak pernah berputus asa. Mudah bagi Tuhan mengubah yang mustahil menjadi mungkin. Termasuk mengubah rahim istri saya yang kering menjadi subur.”
Sahara terdiam. Jelas sekali bahwa cerita lelaki tadi telah menguatkan dan menumbuhkan rasa percaya dirinya: bahwa suatu saat dia pun akan hamil.
“Saya sangat terharu mendengar cerita bapak. Ternyata semua butuh kesabaran. Semoga istri dan anak bapak sehat selalu.”
“Terima kasih.”
Angkot yang ditunggu Sahara pun datang. Angkot itu kemudian sabar merayap di tengah kemacetan hingga akhirnya mampu keluar dan menembus jalan tanpa hambatan. Dan begitulah Sahara, dia pun akan sabar merayap menapaki takdir yang tertulis tentunya dengan segala ikhtiar agar terlepas dari segala himpitan. Dan pada akhirnya dia ingin berjalan bebas di atas dunia yang penuh suka cita. Tentunya setelah ia temukan jodoh kembali dan rahimnya dapat mengandung benih cinta dari lelaki yang akan ditakdirkan untuknya kelak. Tapi, itu bukan Praditya. Bagi Sahara tidak ada cinta ke dua untuk lelaki sepertinya.
Belum ada tanggapan.