Orang gila terlanjur mendapatkan tempat pinggir dalam kehidupan kita. Keadaan mereka, hidup mereka cenderung tak mendapatkan tempat. Sehingga keberadaan mereka seperti dihapus dalam kehidupan orang normal. Jembatan, emperan toko, maupun di rumah-rumah kosong menjadi tempat tinggal mereka. Meski dianggap pinggir dan tak ada, keberadaan mereka terkadang membuat kita risih, jijik, bahkan membuat kita murka. Ada orang gila yang setiap pagi meminta-minta, ada orang gila yang telanjang bulat sembari cengar-cengir kesana-kemari, ada pula orang gila yang nerocos bercerita kesana-kemari tanpa kita tahu maknanya.
Rumah sakit jiwa terkadang menjadi pilihan terakhir bagi keluarga pasien yang tak mampu mengatasi polah tingkah mereka yang kelewat batas. Kelewat batas disini tentu berdasarkan kesepakatan orang-orang disekitar mereka. Bila orang terlanjur memberi label orang gila, maka orang tersebut beresiko untuk mendapatkan perawatan di rumah sakit jiwa. Kita pun tahu, rumah sakit memiliki keterbatasan untuk mengobati dan menampung orang gila. Tak heran, bila rumah sakit sudah angkat tangan, maka orang gila pun dibiarkan liar kemanapun mereka pergi.
Itulah sekilas gambaran bagaimana kehidupan orang gila yang akan kita dapati pula di novel karya Han Gagas bertajuk Orang-Orang Gila (2018). Sebelum dicap gila, biasanya orang memiliki sebab yang membuat orang tersebut dianggap gila. Biasanya, memang jarang terjadi orang dicap gila semenjak kecil. Seperti juga tokoh Astrid, semula normal. Ia kemudian mengidap sakit jiwa saat orangtuanya tertabrak kereta api. Tiga tahun lalu, orangtua Astrid mati tertabrak kereta api saat melintasi rel. Tepat di belakang rumahnya berjarak sekitar sepuluh meter adalah jalur kereta api jurusan Surabaya-Jakarta.
Kesedihan saat kehilangan orangtuanya membawanya menjadi anak yang pendiam dan pemurung. Mudah tertawa tapi seketika berubah menjadi kesedihan yang berlarut-larut. Saat sedih, ia bisa malas makan dan minum berhari-hari. Guncangan jiwanya semakin dahsyat saat ia diperkosa oleh bajingan di desanya. Hal inilah yang kemudian membuatnya gila. Kehidupan Astrid pun menjadi berubah saat ditemukan Tante Lisa. Tante Lisa adalah Germo yang memiliki komplek pelacuran di kota. Semenjak saat itu, Astrid jatuh ke lembah hitam yang tak pernah ia sadari sebelumnya.
Sementara itu, kita beranjak ke tokoh kedua yakni Marno. Marno adalah anak dari Martono seorang penggila buku. Ia dicap kiri lantaran keluar dari pekerjaannya sebagai juru ukur tanah. Keluar dari juru ukur tanah, ia pun menulis puisi dan ngamen puisi. Pekerjaan itu ia anggap lebih suci dari pada juru ukur tanah yang membuat jiwanya bimbang terus-menerus karena godaan uang sogokan. Martono beserta aktifis lainnya pun diculik, ia hilang semasa kejatuhan Soeharto.
Saat Martono hilang, tinggallah Surti sendiri bersama anaknya Marno. Marno kecil berwajah jelek, sementara Ibunya Surti masih nampak muda. Singkat cerita, ibunya pun diculik oleh orang tak dikenal yang hendak memperkosanya. Marno pun menangis dan teriak-teriak memanggil ibunya. Sejak saat itulah, Marno dicap sebagai gila. Ia pun berkelana kemana-mana naik bus kota mencari ibunya. Kehidupannya berakhir di ruang isolasi, dan penjara akibat tindakan kriminalnya membunuh orang yang menggangunya di jalanan kota.
Kehidupan Astrid yang penuh dengan kegelapan membawanya pada asmara saat ia bertemu dengan Baskoro, seorang seniman, seorang pelukis. Kisah asmara itulah yang membawa jiwa Astrid keluar dari dunia pelacuran. Ia tak ingin nasibnya berujung pada kematian yang mengerikan seperti temannya, Maya. Sampai akhirnya terbukalah jalan untuk melarikan diri. Ia pun melarikan diri sampai ke tempat yang jauh dan tak terlacak. Jiwanya menuntunnya untuk menggelandang. Saat menggelandang dan beristirahat di dekat makam itulah, ia bertemu Marno.
Sementara Marno, setelah menjalani kehidupan di ruang isolasi dan keluar karena dinilai perkembangan jiwanya makin membaik, ia masuk di penjara karena perbuatan kriminilnya. Setelah lepas dari penjara, ia menjalani kehidupan tak tentu dari rumah ke rumah sebagai pemulung. Ia sempat tinggal di suatu desa, dan dianggap membawa berkah. Karena dianggap memiliki keahlian menakwil mimpi, orang-orang menganggapnya sakti dan punya kekuatan. Kehidupan orang-orang desa pun berubah melihat tingkah Marno yang suka membersihkan lingkungan dan menanam pohon. Ia dianggap sebagai pelopor perubahan di desa yang ia tinggali. Meski tinggal di kolong jembatan, ia dipandang membuat perubahan. Marno pun diusir setelah dianggap sebagai ancaman sebuah PT besar yang akan membangun pabrik di pinggir sungai.
Marno pun akhirnya menemukan tempat sebuah makam. Ia pun membangun gubuk dan menyulapnya menjadi rumah kecil yang akan merubah kehidupannya menjadi normal kembali. Disini pula kelak ia akan bertemu Astrid. Keduanya akhirnya sadar dan ingin hidup menjadi manusia normal seperti kebanyakan orang. Sembari saling bercerita tentang masa lalunya, mereka pun menjalani kehidupan seperti layaknya keluarga baru. Mereka pun menikah dihadapan Kiai yang mau menikahkannya. Sampai suatu ketika kabar pembangunan proyek perumahan tiba. Mereka mengukur dan mulai memasang garis batas yang membuat kehidupan Marno dan Astrid terusik. Marno dan Astrid pun melawan sampai titik darah penghabisan. Kedua orang ini harus mengalami nasib tragis di akhir hidupnya.
Han Gagas berhasil meramu ketiga latar kompleks pelacuran, penjara dan rumah sakit jiwa menjadi cerita yang membuat kita trenyuh terhadap nasib orang gila. Kehidupan mereka, latar belakang, hingga riwayat mereka berhasil diolah oleh penulis menjadi cerita yang menyentuh. Penulis hendak melawan cerita dominan tentang orang gila. Kita seperti diajak menengok bahwa orang gila memiliki sejarah, riwayat dan latar belakang masing-masing yang mendasari mengapa mereka mengalami sakit di dalam jiwanya. Novel Orang-Orang Gila (2018) justru memberikan antitesis dan pandangan lain mengenai orang gila. Novel ini seperti membalik kesimpulan kita selama ini. Pada kenyataannya, dunia yang ditempati oleh Astrid maupun Marno itulah yang gila. Di saat orang-orang waras justru berbuat melebihi batas kewarasannya. Saat itulah, sebenarnya mereka (orang waras) lebih gila dari orang gila.
*) Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo, Pendidik di SMK Kesehatan Citra Medika Sukoharjo
BACA JUGA:
Belum ada tanggapan.