Sopir paruh baya itu termangu menatap deretan mobil di depannya. Ia sama sekali tak menduga, jalan tol antar provinsi yang menghubungkan lintas Jawa bagian utara itu macet parah. Semua kendaraan hampir tidak bisa bergerak maju. Beberapa orang memilih turun. Duduk di tepi jalan. Beberapa lainnya bahkan memetik bunga yang tertanam di sepanjang jalan. Sopir itu kian menggerutu ketika dua penumpangnya terbangun, lalu memintanya mempercepat laju kemudi.
“Seandainya saya Tuan Aladin barangkali saya akan meminta bantuan jin Ifrid untuk memindahkan Nyonya. Sayangnya, saya tidak bisa berbuat apa-apa kecuali berdiam diri dalam mobil.”
Perempuan muda yang mengenakan jaket merah tua itu mengernyit. Ia memandang keadaan sekeliling. Tanpa peduli pendingin mobil, ia buka jendela dan betapa terkejutnya ia ketika melihat deretan mobil di sebelah kanan yang memanjang tanpa ujung. Ibu muda itu mendadak ingin mengumpat. Seandainya masih ada tiket kereta, barangkali perjalanannya telah tiba.
“Separah apakah kecelakaan di depan sana sampai-sampai macet sedemikian padat?”
Sopir taksi tak menggubris pertanyaan penumpangnya. Ia hanya menunjuk suara radio yang frekuensinya terdengar jelas. Ibu muda itu membuka kacamata dan menyimak siaran khusus itu. Kini, urat wajahnya mulai berkurang. Ia hanya menggelengkan kepala beberapa kali sebelum akhirnya menyandarkan diri ke jok belakang.
“Teroris itu apa, Mama?”
Ibu muda itu menoleh ke arah kanan, lantas mendekap putrinya yang baru berusia lima tahun. Sementara suara perempuan di radio itu terus memberitakan serangan teroris yang terjadi tak jauh dari jalan tol yang keduanya lewati.
“Burung hantu, Sayang,” kata ibu muda itu. “Burung hantu yang sedang marah.”
“Mengapa mereka marah, Mama?”
“Karena makanannya diculik. Seperti Kitty yang marah karena makanannya kamu sembunyikan.”
Anak kecil itu tertawa. Tadi pagi, ia berbuat usil merebut makanan kucing peliharaannya. Kitty yang sedang lapar, mengaung terus-menerus sampai-sampai ibunya menyuruh berhenti.
“Apakah polisi mendatangi orang yang sedang marah?”
Ibu muda meminta sopir mengganti saluran frekuensi. Ia tak mau putrinya mendengarkan berita yang belum waktunya didengar. Namun, sopir tak menggubris. “Anda bisa menutup telinganya dengan jaket yang Anda kenakan.”
Dalam keadaan macet sedemikian parah, kadang tiap orang tak mampu menahan amarah. Ibu muda itu mencoba memahami setoran yang dikejar si sopir. Seandainya tak ada macet, barangkali ia sudah sampai dan bisa mencari penumpang yang lain. Batin si ibu muda.
“Mama, sejak kapan polisi mendatangi orang yang suka marah?”
“Kalau marahnya mencelakakan orang lain, polisi akan datang mendamaikan.”
“Seperti Papa?”
“Ya, seperti Papa.”
“Tapi mengapa teroris marah setiap hari? Bukankah kemarin pagi mereka juga marah sampai-sampai Papa tak pulang?”
Ibu muda itu memindahkan putrinya ke sebelah kiri. Tak disangka, anaknya malah dadah-dadah ke arah penumpang mobil sedan di seberang. Lelaki muda yang menjadi penumpang di mobil tersebut ikut dadah-dadah. Bahkan sopir dan semua penumpang di dalam mobil ikut dadah-dadah. Semuanya tertawa. Sejenak ibu muda itu berhasil mengalihkan pikiran anaknya.
Pertanyaan anak kecil benar-benar sukar diterka. Jawabannya akan menempel di kepala dan jika salah ucapan akan berpengaruh terhadap sikap dan perbuatan. Itulah mengapa seorang ibu kadang gelagapan mendengar pertanyaan putrinya sendiri. Terlebih soal teroris. Ibu muda itu tidak memiliki perumpamaan selain sosok burung hantu. Kemarin pagi ia kelimpungan ketika menjemput putrinya yang menginap di rumah eyangnya. Serangan teroris tak jauh dari sana, yakni di sebuah gereja yang memiliki banyak jemaat. Saat di dalam mobil itulah, putrinya bertanya sosok teroris. Ia hanya tersenyum padahal hatinya ketar-ketir tak kunjung menemukan jawaban.
“Mama, apa aku boleh ke sana?”
Ibu muda memperhatikan beberapa perempuan yang memetik bunga. Ia pun mengangguk dan hendak membuka pintu, tapi sopir taxi buru-buru mencegat.
“Anda tidak boleh memetik bunga sembarangan, Nyonya! Tanaman itu bukan untuk kepuasan individu. Bunga itu untuk semua orang.”
Beberapa waktu yang lalu sebuah video viral di media sosial. Seorang perempuan turun dari mobil dan memetik bunga di jalan tol yang sedang macet total. Dan itu mengundang cacian dari banyak netizen.
“Kami hanya duduk di tepi jalan saja. Tidak akan merusak tanaman.”
“Silakan kalau itu kehendak Nyonya. Tapi, saya tidak menjamin keselamatan Anda jika terjadi sesuatu di luar kendaraan yang saya kemudikan.”
Akhirnya ibu muda itu mengalah. Ia meminta putrinya memandang arakan awan dari tepi jendela saja. Bahkan ia juga meminta putrinya dadah-dadah pada pesawat yang kebetulan melintas di atas. Terang itu mengundang tawa penumpang di mobil sedan. Sopir taxi merasa kurang nyaman. Ia mengeraskan volume radio sampai-sampai memekikkan telinga.
“Bisakah Anda mengurangi volumenya?”
Sopir tak dengar. Ibu muda itu mengeraskan suara. Sopir itu masih belum dengar atau sengaja pura-pura tak dengar. Ibu muda tak kehilangan akal. Ia tepuk pundak belakang, dan mengulangi permintaannya.
“Anda bisa menutup telinganya dengan jaket yang Anda kenakan, Nyonya!”
Ibu muda itu mengelus dada.
“Mama, lihat!” Putrinya menunjuk awan putih yang tiba-tiba, astaga! Merangkai diri seperti burung hantu.
“Itu teroris, Mama?”
Ibu muda itu tercekat. Sedetik kemudian ia bersyukur sang sopir mengecilkan volume radio.
“Kalau Papa bisa dihubungi, nanti aku tanya, makanan apa yang dicuri dari teroris sampai-sampai dia marah dan didatangi polisi.”
Arakan awan di langit itu tak segera terurai. Anak kecil itu masih menatapnya lekat-lekat.
“Mama, apakah teroris punya anak?”
“Bisa jadi.”
“Apakah mereka juga marah pada anaknya?”
“Belum tentu.”
“Bagaimana perasaan seorang ibu ketika memarahi anaknya, Mama?”
Ibu muda itu mendekap anaknya. “Mama tak akan marah padamu, Sayang.”
“Kalau Papa pulang, aku mau minta menemui teroris.”
Alamak. Ibu muda itu kembali mengelus dada.
“Mengapa kamu ingin bertemu, Sayang?” ucapnya khawatir.
“Aku akan membawakan makanan yang mereka curi. Agar mereka tak lagi marah-marah, dan Papa bisa pulang setelah tugasnya selesai. Bukankah Papa tidak pulang karena harus menenangkan teroris yang sedang marah?”
“Diam! Diaammmm!” tiba-tiba sopir itu menoleh ke belakang dan membentak dengan suara lantang.
“Tidakkah kau tahu kalau aku muak mendengar ocehan anakmu ini?” ucapnya sengit. Ibu muda itu mendekap putrinya yang gemetar ketakutan. “Suruh anakmu tutup mulut dan jangan bicara apa pun!”
“Dia hanya anak kecil. Mengapa Anda membentaknya?”
“Diam! Diaammmm! Aku tak menyuruhmu bicara.”
“Anda menyakiti anak saya.”
“Persetan dengan kalian!”
“Saya tahu mungkin Anda dikejar setoran. Mungkin Anda memiliki masalah keluarga yang belum menemukan jalan keluar. Tapi, setidaknya berusahalah tenang. Perjalanan saya ini bukan untuk senang-senang. Saya sedang berduka…”
“Diam! Diaammmm! Aku tak butuh alasan atau aku bunuh kalian!”
Tiba-tiba lelaki itu mengeluarkan sepucuk pistol dari balik baju yang dikenakan. Jemarinya gemetar ketika menyentuh pelatuk senjata yang kemudian mengarahkan pada ibu muda itu. Dahinya berkeringat mengingat apa yang terjadi kemarin pagi. Ketika anaknya menjadi burung hantu yang menabrakkan diri di sebuah gereja, dan sopir itu kini dikejar-kejar polisi.
Belum ada tanggapan.