Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas
Sebuah desa memang lekat dengan mitos. Orang desa menganggap mitos tidak sekadar sebagai hal yang musykil, tapi mitos di desa lekat dengan kearifan. “Jangan tebang pohon itu, ada penunggunya.” Kepercayaan ada penunggunya bukan hanya menandakan bahwa kita ini karib dengan makluk selain kita. Mereka yang ghaib memiliki hak pula untuk tinggal, untuk hidup. “Jangan duduk di depan pintu, nanti ndak ada yang mau”. Maksudnya jangan duduk di depan pintu rumah, nanti tamu juga tidak akan mau datang.
Di Jawa upacara-upacara menjadi bagian dari tradisi yang karib. Setiap ada bayi lahir misalnya, maka pasaran atau upacaranya begitu banyak. Ada tujuh hari, ada selapanan (dua puluh lima hari), ada macapatan. Orang Jawa juga memiliki keyakinan dan penghitungan yang rigit. Baik dalam menentukan nama bayi, menentukan masa tanam padi, menentukan tanggal kawin, dan lain-lain.
Kuntowijoyo memulai novel Mantra Pejinak Ular (2000) menyuguhkan mitos-mitos yang dialami dan menjadi keseharian hidup orang Jawa. Sebut saja saat mengawali kisahnya dengan tokoh Abu Kasan Sapari. Sapar diambil dari nama bulan Islam, “Sudah pasti anak itu lair tidak di bulan Sapar!”. “Memang tidak diambil dari bulan lahirnya. Tapi bulan jadinya.”
Abu Kasan tumbuh dengan kasih sayang kakek-neneknya yang luar biasa. Hampir tiap harinya disediakan daging untuk memenuhi kebutuhan gizinya. Ia juga mendapatkan perhatian penuh dari kakeknya. Kakek biasa memberi peringatan agar abu pulang saat bermain dengan mengetok lonceng di depan rumah kakek. Dikisahkan bahwa Abu mendapat didikan ketat dari kakek. Kakek seolah tahu bahwa cucunya akan jadi orang. Ia diantar kakeknya untuk nyantrik ke dalang Notocarito. Ketekunannya nyantrik itulah yang mengantarkannya menjadi dalang cilik yang punya nilai tertinggi dalam festival dalang sekabupaten Klaten saat kelas V SD. Keberuntungan ternyata berpihak pada Abu, lulus SMA ia melamar menjadi pegawai lokal di tingkat kecamatan. Ia ditempatkan di Bangdes (Pembangunan Desa).
Dengan latar desa dan sosok pegawai kecamatan Abu Kasan Sapari inilah, Kuntowijoyo tidak hanya menyibak mitos-mitos yang berkembang di masyarakat Jawa kala itu, namun Kunto juga menyibak bobrok dan borok birokrasi yang mencoba memperalat kesenian untuk kepentingan politik. Mantra Pejinak Ular yang dimiliki Abu Kasan Sapari yang berasal dari kakek-kakek yang memberinya mantra itu merupakan gambaran bahwa mitos di waktu itu masih melekat di masyarakat Jawa. Kasekten atau kesaktian yang dimiliki Abu kemudian menjadi buah bibir masyarakat desa di waktu itu. Di pinggir-pinggir jalan, di pasar, sampai dengan kumpulan ibu-ibu. Cerita Abu yang bisa menjinakkan ular terdengar di mana-mana. Masyarakat Jawa mengenali kesaktian sebagai bagian dari kharisma yang membuat orang menjadi dianggap linuwih. Sebagai pegawai kecamatan tingkat lokal, Abu tinggal dengan kesederhanaan, tapi penuh ide. Kehadirannya semula mendapatkan banyak puja-puji dan kepercayaan dari Pak Camat. Inisiasinya yang tertuang di program desa mendapatkan apresiasi dari masyarakat maupun atasannya (Pak Camat).
Di novel ini, Kuntowijoyo memahami betul bagaimana wayang dalam khazanah Jawa memainkan pesan-pesan kultural kepada pembaca. “Ia tahu dia tidak bisa mengharap semua orang seperti Abiyasa, bijak seperti Kresna, lurus seperti Bima, pemurah seperti Darmakusuma. Dunia penuh keserakahan Rahwana, kelicikan Sengkuni, punya watak candala (rendah) seperti Kurawa.”
Mengambil setting di lereng gunung lawu, kemuning, Kuntowijoyo menggambarkan pergeseran saat kekuasaan desa masih kental dengan kemakmuran dengan lahan dan sawah yang luas, hasil kebun melimpah, hingga birokrasi yang dekat dengan keraton. Ada pergeseran yang kentara antara tata ruang desa pemerintahan dan birokrasinya saat desa sudah berubah begitu modern.
Modernitas berjalan pelan-pelan dalam novel Mantra Pejinak Ular. Mulai dari wilayah desa yang semakin banyak tumbuh rumah-rumah yang menggeser kepercayaan masyarakat akan mitos ular, mitos tumbuhan dan mitos hantu dan jagad lelembut (makhluk halus).
Kritik yang menyentak di novel ini begitu terasa saat Abu Kasan Sapari sekaligus dalang disini ditangkap dengan tanpa alasan. Ia sebelumnya diancam agar berdiam diri tidak melakukan aktifitas mendalang oleh sekelompok oknum politik. Kasan nekat mendalang, ia pun mendapatkan resiko ditahan di penjara. Peristiwa ini mengingatkan saat Orde Baru yang gampang sekali menangkap dengan tuduhan yang tidak mudah dijelaskan secara nalar.
Dunia politik yang penuh dengan makelar politik dijelaskan apik di novel ini. Orde Baru hingga Orde Reformasi sekalipun sepertinya belum mampu sepenuhnya menghilangkan para makelar politik. Kedekatan oknum politik hingga aparat militer yang kongkalikong dengan para penguasa menjadi tradisi yang sebenarnya belum sepenuhnya hilang hingga saat ini.
Mantra Pejinak Ular juga memberikan gambaran bagaimana mitos perlahan ditinggalkan. Abu Kasan Sapari harus rela untuk pelan-pelan menggeser mitos dengan ular kesayangannya dengan Lastri perempuan calon pengantinnya. “ Percayalah saya. Mengelus-elus perempuan jauh lebih nikmat daripada mengelus-elus ular.” Ah, Eyang ini.” “Buang saja mantra itu, yang kau perlukan ialah ilmu, teknologi, dan doa, bukan mantra.”
Sebagai pengarang yang juga tokoh Muhamadiyah kala itu, Kunto dengan halus memasukkan religiusitas dan penolakan kepada takhayul. Abu Kasan Sapari di akhir cerita hendak membuang mantra pejinak ular yang dipunya itu. Namun ia kebingungan mencari orang yang akan diwarisi ilmu itu. Haji Syamsudin tokoh di novel itu pun menjawab dengan sedikit gertakan “Jangan percaya! Itu gombal, itu sampah. Kau orang beriman. Sekarang zaman modern bukan zaman mantra lagi.”
Kebahagiaan Abu Kasan Sapari dan Lastri calon istrinya nampak saat novel ini menutup kisahnya dengan rencana Abu memindahkan ularnya di bonbin Jurug. Mereka seolah mengucapkan selamat tinggal mitos selamat datang realitas. Layaknya dalang, Kunto telah mengakhiri lakon Abu Kasan Sapari dengan indah. Dunia politik di masa Orde Baru kala itu, tersibak borok dan bobroknya pun tumbang. Saat orang-orang sudah mulai mengenal modernitas, dan menyibak mitos. Tetapi ada yang masih menggantung di mata pembaca, masihkah lingkungan, keselarasan serta alam yang menjadi simbol dalam wayang dan simbol dalam hidup orang Jawa dijaga dan dilestarikan. Inilah pesan tersirat dari novel ini yang masih terngiang sampai kapanpun.
Belum ada tanggapan.