Membaca buku bisa menolong kita dari ketidaktahuan. Sewaktu belanja di toko buku online, saya bersyukur menemukan buku Peladjaran Sastera Indonesia (1957) karya Usman Effendi. Melihat judulnya saja saya berpengharapan bisa memiliki pengetahuan yang cukup tentang sastra. Buku boleh dibilang tipis, tapi isinya cukup memberikan gambaran mengenai sastra Indonesia.
Usman memberikan penjelasan tentang keterkaitan antara sastra Indonesia dengan melayu. Di masa lalu, bahasa melayu menjadi bahasa yang populer. Sampai akhirnya bahasa melayu menjadi tonggak lahirnya bahasa Indonesia. Setelah sumpah pemuda 1928, bahasa melayu berubah menjadi bahasa Indonesia yang memiliki karakteristik dan perkembangan yang bisa kita telisik sampai sekarang.
Periodisasi sastra Indonesia memang belum baku. Begitu pula di tahun 50-an, Usman membagi dalam enam zaman. Pertama, zaman kegelapan jang berakhir kira2 1000 tahun jang lalu, mulai ada dituliskan sastera Melaju pada batu2 (…… sampai ± tahun 9000 M). Kedua, zaman permulaan jang berachir dengan masuknja pengaruh Arab (900 M sampai 1500 M). Ketiga, zaman melaju ( 1500 M sampai 1900 M). Keempat, zaman Angkatan Lama (1900 M sampai 1928 M). Kelima, zaman Pudjangga Baru (1928 M sampai 1945 M). Keenam, zaman Angkatan Moderen atau Angkatan ’45 ( 1945 sampai sekarang).
Apa itu sastra?. sastra menurut Usman Effendi “sastera ialah seni bahasa”. Seni ialah segala sesuatu jang ditjiptakan oleh manusia jang dapat menimbulkan rasa kebagusan dan perasaan lain2 jang berhubungan dengan itu dalam lubuk hati pendengar, pelihat dan pembatja2nja. Sedangkan bahasa adalah semata2 alat manusia untuk mengeluarkan buah pikirannja, perasaanja, dan hasratnja dalam bentuk bunji, isjarat, dan tanda (gambaran) dengan aturan2 tertentu.
Pada buku ini, selain kita bisa menemukan pengertian sastra, kita juga bakal mendapati pengertian irama, prosa, sadjak, puisi, bidal, pantun, maupun sjair. Dari buku ini, kita bakal lebih jelas mengerti dan memahami setiap dari pengertian karya sastra yang beraneka ragam itu.
Ada beberapa hal menarik yang bisa kita temukan saat membaca buku ini. Diantaranya mengenai sejarah atau asal-usul sastra Indonesia. Usman memberi catatan penting tentang asal-usul sastra Indonesia dengan kalimat berikut “Kesusasteraan Melaju jang pada dewasa ini dipandang sebagai pelopor kesusasteraan Indonesia sangat sukar menjelidikinja, karena tidak ada sesuatu pusat jang masih menjelenggarakan dan memeliharanja. Jang hanja ada ialah keradjaan2 ketjil jang kebudajaan dan kesusasteraannja hanja meliputi sebagian ketjil sadja dari kebudajaan kesusasteran Melaju sebagai sebelum keruntuhan pusat keradjaan.” (h.13).
Salah satu tradisi yang populer dalam kesusasteran Melayu kita adalah dongeng. Dongeng telah mengakar dan dikisahkan turun-temurun. Selain memiliki kekayaan kultural bertema lokalitas, dongeng juga mengajarkan nilai-nilai dan pelajaran tersendiri bagi kita. Usman menulis di tahun 1872 ada buku yang memuat kehidupan kantjil. Tahun 1892 terbit buku Kantjil bernama “Seloka Dharma” oleh Pn.Sasraningrat. Di tahun 1885 terbit buku Pelanduk Djenaka karangan Klinkert. Terakhir di tahun 1872 di Surakarta keluar buku karya Tuan Winter menerbitkan buku terjemahan bahasa jawa buku Kantjil ke dalam bahasa Indonesia. “Menurut penjelidikan sardjana, dongeng di Kambodja itu berasal dari Indonesia. Djadi teranglah, bahwa bangsa Indonesia kuno dari dahulu kala telah mempunjai dongeng2 itu, mula2 hanja sebagai dongeng2 jang pendek sadja, kemudian berkembang dan tersusun sehingga mendjadi teritera2 jang pandjang akan tetapi di Djawa dan di tanah Melaju susunannja tidak sama.”
Hal lain yang bisa kita petik dari buku ini adalah perihal puisi angkatan “Pudjangga Baru”. Bolehlah kita simak penuturan penulis perihal angkatan Pudjangga Baru. “ Dalam tahun 1850 meninggallah Abdullah bin Abdulkadir Munsji. Boleh dikatakan dengan matinja pudjangga lama ini pudarlah bintang kesusasteraan Melaju. Lenjaplah zaman Abdullah, timbullah zaman baru jang dilahirkan oleh abad XX, jang mendatangkan perubahan besar dalam sedjarah kesusasteraan Indonesia, sebagai akibat pengaruh Barat. Melaju jang aman tenteram, jang sangat berpegang pada hubungan2lama, digantikan oleh semangat Indonesia jang hendak melepaskan diri dari segala kungkungan.
Zaman “Pudjangga Baru” ditandai oleh perdebatan sengit antara tokoh-tokoh sastra pada masa itu yang dikenal sebagai polemic kebudayaan. Ada kecenderungan atau wacana yang hadir di kalangan pemikir maupun sastrawan di masa itu untuk menginjak atau berkiblat pada hal modern. Sehingga karya sastra ikut serta berubah corak dan isinya yang mulai keluar dari kungkungan. Dari sisi prosa, kita mengenal karya-karya Siti Nurbaya (Marah Rusli), Salah Asuhan (A.Muis) Tak Putus Dirundung Malang (STA), Belenggu (Armijn Pane) dan Asmara Djaja (Adi Negoro).
Sastra adalah hasil karya manusia yang menggunakan medium bahasa. Melalui sastra, kita tak hanya diajak untuk mengerti konteks dan riwayat zaman di masa itu. Tapi kita juga diajak untuk menilik dan terus peka terhadap dunia yang ada di sekitar kita. Membaca karya sastra bisa menambah kekayaan batin kita. Selain itu juga bisa memberikan penghiburan dan memperkaya sudut pandang dan khazanah kita.
Penulis adalah Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo
Belum ada tanggapan.