Walaupun SGA juga pernah menulis cerpen sepak bola (matinya seorang pemain sepak bola) tetapi Sunlie Thomas Alexander-lah yang cerpennya saya sandingkan dengan dua cerpen dari Borges dan Mal Peet. Dimuat Media Indonesia tanggal 5 juli 2015, sepak bola menemukan bahasanya dalam cerpen ini.
Saya mula-mula membaca Esse Est Percipi dari Borges. Cerpen ini memuat ironi mengenai sepak bola yang menurut Borges telah dimanipulasi televisi, koran dan radio. Diceritakan, suatu hari saat mengunjungi seorang sahabat lama bernama Tulio Savastano yang merupakan presiden Klub Sepak Bola Abasto Junior (Argentina), Don Domecq begitu sapaan tokoh dalam cerita dikejutkan oleh kenyataan bahwa siaran sepak bola yang berlangsung selama ini tidaklah riil. Diberitahu kepadanya oleh si Tulio kalau pertandingan-pertandingan telah diatur, tim mana yang kalah-menang, lengkap dengan skornya. Tentu saja Don Domecq terguncang oleh hal semacam ini, oleh pembodohan siaran sepak bola. Bahkan sikap Tulio Savastano menyiratkan jika manipulasi pertandingan bola sudah lama terjadi, tidak ada yang mempermasalahkannya. Seolah-olah hanya Don Domecq seorang diri yang baru tahu. Kata Tulio; “…Stadion sudah lama digusur dan sudah diratakan. Sekarang ini semuanya dibikin di televisi dan radio. Kehebohan palsu para komentator… apakah kau sedikitpun tidak merasa curiga bahwa semua ini hanya rekaan? Tanggal 24 Juni 1937 adalah hari terakhir sepakbola dimainkan di Buenos Aires.…”
Cerpen Mal Peet lebih berenergi. Ceritanya adalah cerita orang-orang kampung saat gelaran Piala Dunia. Dia menggambarkan suasana menonton piala dunia; sebuah televisi di sebuah ruang tamu dan orang-orang berjubel bahkan dari jendela sementara tuan rumah memegang kendali. Konon di sebuah dusun di Brazil, Rochina, hidup seseorang bernama Segundo bersama istri dan seekor ayam jantan diberi nama Socrates. Orang memanggilnya paman Segundo, dan menganggap beliau gila; gila bola dan gila karena memang kurang waras. Pada piala dunia 2014, rumah lelaki ini menjadi tempat berkumpul tetangga dusunnya karena dia mempunyai televisi besar serta parabola bagus. Rochina dikatakan sebagai salah satu wilayah yang dikuasai geng narkoba, sehingga ketika Piala Dunia hendak dimulai (dan Brazil jadi tuan rumah) pemerintah berusaha meredam kekacauan yang bisa saja terjadi dengan menempatkan polisi di wilayah itu. Seperti di banyak tempat, penertiban wilayah oleh polisi sering melibatkan aspek kekerasan. Paman Segundo, meskipun gila telah menjadi penengah dan penghubung antara kartel narkoba dengan kepolisian, dan puji syukur dia belum tertembak juga. Salah satu kegilaan yang menurut penulis kegilaan terbaik dari paman Segundo yakni berhasil mengajari ayam jantannya untuk berkokok setiap kali Brazil main dan mencetak gol. Maka sampailah pada tragedi pertandingan pertama Brazil. Ketika gol pertama dan orang-orang berteriak girang masih terdengar suara kukuruyuk si ayam jantan di atas atap. Kemudian, saat gol kedua ayam itu tidak berkokok lagi. Ternyata dia telah tertembak ketika sedang merayakan gol pertama tadi. Paman Segundo bersedih untuk ayam jantannya. Mungkin disebabkan karena dia gila, di pertandingan berikut tatkala Brazil mencetak gol paman Segundo tiba-tiba naik ke atas atap sementara orang-orang mendengar suara kukuruyuk dari mulutnya. Singkat cerita, ulah paman Segundo kemudian ditiru oleh semua orang (untuk melawan dan mengejek polisi yang ‘main tembak saja’); setiap kali Brazil cetak gol kukuruyuk! Inggris cetak gol kukuruyuk! Brazil kebobolan pun kukuruyuk!. Mal Peet menamai judul cerpen tersebut sebagai ‘efek Socrates’.
Ketika saya percaya kalau tulisan-tulisan sederhana tetapi asyik (apalagi temanya sepak bola) hanya milik penulis luar, saya pun menemukannya. Judulnya; kenangan pada sebuah pertandingan. Nama Sunlie Thomas Alexander mirip nama orang Barat, tetapi di Bangka dia lahir. Satu tulisannya yang saya baca ini, ceritanya ringan. Tentang seorang pria yang pernah kalah dalam pertandingan penting di kampungnya sendiri setelah bersama timnya dia selalu menang. Yang lucu adalah kenyataan bahwa di kampungnya lapangan bolah miring ke gawang sebelah, yang artinya tim dengan daerah gawang lebih rendah sering kebanjiran bola dan pada biasanya tim sebelahnyalah yang menang. Tetapi hari itu, entah kenapa meski mendapat tempat yang menguntungkan timnya justru kalah. Menang di tempat lain lalu kalah di kampung sendiri adalah hal memalukan. Dan lebih memalukan lagi adalah gol kekalahan ‘dicetak sendiri’ oleh lelaki itu ke gawangnya. Cerpen ini kaya; antara getir dan geli juga. Juga ada ironi di sana, seperti pada cerpen Borges dan Mal Peet; kecil tapi menohok. Tanpa berusaha menyusupkan pesan moral, politik dan nilai-nilai, cerpen ini menemukan tempatnya.
Belum ada tanggapan.