Sudah lama sepeda itu teronggok di pojok dapur. Semenjak Bapak terkena serangan stroke, tak satupun yang berani mengendarai sepeda itu. Entah aku atau Bang Tarmo. Bukan apa-apa, takut sepeda yang dibeli pasca kemerdekaan itu terjatuh dan tergores. Bisa-bisa Bapak marah, lalu tekanan darah Bapak akan meninggi seperti beberapa waktu lalu.
Ah, sebenarnya Bapak tak membelinya. Sepeda tua itu pemberian dari salah seorang kenalannya. Konon, sepeda itu hasil merampas milik orang berkulit putih. Aku sendiri kurang yakin kalau sepeda itu hasil curian dari zaman kolonial. Sebab, almarhum Ibu pernah cerita kalau sepeda itu adalah hadiah dari temannya yang pernah ditolong semasa muda. Untuk kelanjutan ceritanya, tak sempat kutanyakan pada Ibu.
Barangkali, karena sepeda itu sudah menemani perjuangan Bapak-lah yang membuat sanak keluarga takut mengendarainya. Selama Bapak sehat, sepeda itu selalu dimandikan setiap pagi. Sedangkan setiap Kamis sore, dimandikan menggunakan air kembang. Katanya, keselamatan akan mengiringi sang pengendara selama berkendara kalau setiap malam Jum’at selalu dimandikan. Entah hanya sebatas mitos atau memang ada faedahnya, nyatanya, selama menaiki sepeda itu, Bapak hanya terjatuh sekali. Selebihnya, tak pernah mengalami kecelakaan.
Kalau bukan tawaran Pak Camat kemarin malam, tentu aku tak terlalu memikirkan sepeda CB itu. Bayangkan, sepeda yang tergolong berusia tua ini ditawar lima puluh juta. Jika kurang, akan ditambah lagi. Asal sepeda Bapak beralih tangan kepada pimpinan kecamatan. Aku tak tahu, sepeda tua itu akan diperuntukkan untuk apa. Sepengakuan Pak Camat, sepeda tersebut akan diberikan kepada anaknya yang kini terbaring lemah di rumah sakit. Rupanya, sang anak menyukai barang-barang antik. Termasuk sepeda Bapak salah satunya. Tentu Pak Camat berusaha semaksimal mungkin menuruti putra semata wayangnya. Apalagi, hanya sebuah sepeda yang tak seberapa harganya.
“Kau gila, Ris. Sudah tahu sepeda itu perjuangan Bapak, masih mau dijual?” Bang Tarmo, saudaraku satu-satunya bersikeras.
“Aku tak ada maksud menjualnya, Bang. Tapi lihatlah kondisi kita. Anak biniku butuh makan. Bapak butuh pengobatan. Tak bisa kita diam begini saja,” jawabku tak mau kalah.
“Kita masih bisa mencari uang, Ris. Masih bisa.”
“Uang darimana, Bang? Harga gabah menurun. Jagung turun. Petani sekarang tak seberuntung zaman dulu.”
Bang Tarmo terdiam. Mungkin, sedikit membenarkan ucapanku barusan.
“Andai kita kaya, Ris. Tentu kita tak perlu susah-susah begini,” ujarnya sebentar.
“Sudahlah, Bang. Kita tak punya jalan keluar selain menjual sepeda itu.”
Saudaraku satu-satunya itu kembali terdiam. Matanya menerawang ke atas lubang-lubang genteng yang menyisakan silau. Semenjak Bang Tarmo menikah, ia beralih ke rumah istrinya. Keadaannya tak jauh berbeda dengan keadaanku sekarang. Sama-sama melarat.
Jangan harapkan dari hasil panen. Selain hama yang tak kunjung hilang, harga yang ditawarkan kepada petani sangat menguras pikiran. Padahal kami-lah yang merawat padi berbulan-bulan. Tak kenal terik matahari bahkan hujan deras sekalipun, kami rawat padi-padi ini seakan anak sendiri. Belum lagi biaya para pekerja seperti pemanen gabah. Tak mungkin bisa dikerjakan sendiri tanpa mempekerjakan orang. Jika ditotal biaya perawatan dan ongkos buruh tani, masih untung balik modal.
Tentu, menjual sepeda Bapak apalagi dengan tawaran yang tinggi itu, bisa menutupi hutang yang sudah lama menganga. Meski sebenarnya aku tak tega. Sebab sepeda itu, satu-satunya barang yang amat disenangi Bapak. Satu-satunya benda yang selalu dirawat seakan anak sendiri.
***
Sudah tiga hari ini, Bapak tak mau makan. Tubuhnya yang kurus, kini terlihat kian ceking tak berisi. Sudah berkali-kali pula, cucu dan menantunya merayu untuk makan. Tetap saja Bapak tak mau membuka kedua bibirnya.
“Sepertinya Bapak marah, Bang,” ujarku membuka percakapan.
“Ya, begitulah.”
“Lalu?”
Bang Tarmo menoleh. “Aku merasa bersalah sudah menjualnya, Ris.”
“Kita benar-benar membutuhkan uang, Bang. Toh, kita tidak menghambur-hamburkan uangnya. Kita gunakan untuk Bapak juga.”
“Aku tak butuh uang itu, Bodoh!” tiba-tiba, Bapak yang tak bisa berbicara lancar, mengeluarkan suara lantang dari balik kamar. Aku dan Bang Tarmo segera masuk kamar. Anak-anak dan biniku kupersilahkan menunggu di luar. Biarkan ini menjadi perbincangan antara ayah dan kedua anaknya.
“Ambil saja uang itu. Ambil semua!” ucap ayah lagi. Matanya menyiratkan amarah. Sampai-sampai gemertak giginya terdengar.
“Bukan begitu, Pak,” jawab Bang Tarmo berupaya meredam emosi Bapak. “Tapi, kita juga butuh biaya untuk pengobatan, Bapak.”
“Dengar! Aku tak butuh obat. Aku hanya ingin kalian menghargai perjuanganku. Itu saja. Bertahun-tahun aku membiarkan kalian menjual tanah demi pengobatan Ibu kalian, tapi tak satupun tersirat aku akan menjual sepeda itu. Meskipun pada akhirnya ibumu meninggal. Puluhan tahun aku menggunakan sepeda itu menjual kayu bakar ke kota. Untuk apa? Untuk makan kalian. Tapi, apa sekarang?”
Bang Tarmo merunduk. Tak melihat wajah Bapak yang kian mengeluarkan amuk marah.
“Percuma kalian kusekolahkan sampai SMP, kalau tak bisa menghargai perjuangan orang tua.”
“Bukan begitu, Pak. Kami tidak ada maksud durhaka kepada Bapak atau Ibu. Tapi lihatlah dulu keadaan sekarang, Pak.”
“Begitu beruntungnya ibumu yang pergi dahulu. Dia tak melihat anaknya yang kurang ajar. Ternyata, hidup lama di dunia sepertiku ini amat menyiksa. Bukan bahagia.”
Bang Tarmo tak menyahut. Dia menunduk dengan raut muka lusuh.
“Kita bukan menjualnya, Pak. Kita meminjamkan sepeda itu untuk Pak Camat,” Bang Tarmo berpaling ke arahku. Alisnya mengkerut meminta penjelasan.
“Anak Pak Camat sakit keras, Pak. Dari dulu di menginginkan sepeda itu. Jadilah kami meminjamkannya sampai anaknya sembuh.”
Bapak menoleh. Matanya sedikit berbinar.
“Kau tak bohong?” tanyanya kemudian.
“Untuk apa saya berbohong kepada orang tua yang mengajarkan tentang perjuangan.”
Bapak tersenyum. Amarahnya menyusut turun. Berbanding terbalik dengan raut muka saudaraku yang tampak marah melihat rangkaian kebohonganku.
Biarkan saja Bang Tarmo marah. Yang terpenting Bapak tak lagi emosi. Urusan sepeda, aku bakal mencari alasan lain untuk ke depannya. Itu saja.
Tiba-tiba saja Bapak berdiri. Iya, Bapak bisa berdiri dan berjalan lancar.
“Itu sepedaku,” ujar Bapak semangat.
Aku menoleh ke arah Bang Tarmo. Kami berdua memasang telinga dalam-dalam. Iya, benar itu suara sepeda Bapak. Suara khas mesin tua. Berjalan mendekat ke arah rumah. Tidak. Sepeda itu kian mendekat ke arah samping kamar. Menuju dapur. Kami berlari menuju sumber suara. Sepeda tua itu datang sendiri. Entah siapa yang mengendarai. Tak ada orang selain keluarga Bapak. Sepeda itu kini teronggok di luar pintu. Tak bisa dihidupkan. Bapak mendekatnya pelan. Memeluknya mesra seolah lama tak bersua. Tiba-tiba saja Bapak menaiki sepeda tuanya dengan gagah. Segagah masa mudanya dulu. Mesin sepedanya juga tiba-tiba hidup sendiri. Seakan menyambut kedatangan Bapak. Sepeda itu berjalan. Membawa Bapak yang tersenyum menang.
Belum ada tanggapan.