Oleh Budiawan Dwi Santoso
Fugui, pernah hidup bergelimang harta berasal dari leluhurnya. Tapi, ia mulai menghabiskannya dengan bermain judi, bercinta dengan pelacur, sehingga, ia dan keluarganya hidup menderita.
Ayahnya, sebelum mati karena jatuh dari tangki tahi, pernah berkata pada Fugui, “Dulu kala nenek moyang keluarga Xu cuma pelihara seekor ayam, ayamnya besar jadi angsa, angsanya besar jadi kambing, kambing dipiara terus sampai besar jadi sapi. Beginilah keluarga Xu hingga menjadi kaya,” lalu berhenti sebentar, dan melanjutkan lagi, “Sampai ke tanganku, sapi keluarga Xu jadi kambing, kambing jadi angsa. Sampai ke tanganmu (Fugui), angsa jadi ayam, sekarang ayam pun sudah tidak lagi.”
Penyesalan datang terlambat, ketika hal itu terjadi.
Fugui pun menebusnya dengan tak bermain judi dan pelacur serta mulai memerhatikan keluarganya, terutama ibu, istri, dan anaknya. Hal ini, salah satunya, ia buktikan ketika ibu Fugui sakit, dan ia harus menuju ke kota untuk mencari tabib. Tapi, sampai di sana, malah terjadi peristiwa salah paham, mengakibatkan ia bertengkar dengan jongos petinggi kecamatan, dan malahan bertemu dengan Tentara Nasionalis. Pertemuan ini pun membuat Fugui terpaksa untuk menjadi Tentara Nasionalis, meski pada nantinya, tidak lagi.
Sekilas kisah To Live garapan Yu Hua ini, membuat kita semakin tahu, bahwa perjalanan hidup Fugui penuh tragedi dan ironi. Seperti, telah dipaparkan dalam novel ini, Fugui harus bertahan hidup di tengah kekejaman perang saudara, absurditas Revolusi Kebudayaan, hingga bencana kelaparan melanda China akibat kekeliruan kebijakan Mao. Dimana, kisah tragis kehidupan seorang Fugui merangkum kengerian perjalanan sejarah negeri China di tengah ingar-bingar revolusi komunis.
Membaca novel ini, selain memantik imajinasi sejarah-sosial-politik-budaya pada masa itu, kita turut mencecap dan merasakan perjuangan hidup setiap tokoh, terutama Fugui bersama keluarganya.
Seperti, dalam perjalanan sekaligus perjuangan hidupnya, ia mau tak mau harus terus ‘menelan pil pahit’. Sebab, setelah ia jatuh miskin karena ulahnya sendiri, ia harus menyaksikan kematian ayah, ibu, istri (Jiazhen), anak (Fengxia dan Youqing), menantu (Erxi: suami Fengxia), dan cucunya sendiri, yakni Kugen (memiliki arti: Akar Pahit—sebuah nama pemberian dari neneknya (Jiazhen)), karena keluarganya terus-menerus hidup dalam penderitaan.
Lebih lanjut, kematian mereka begitu menyesakkan dada Fugui. Sebab, setiap dari keluarganya, merupakan sosok giat bekerja, pengertian, patuh dan menghormati orang tua—meskipun, anaknya yang bernama Youqing, agak bandel. Dimana, hal ini bisa kita ketahui, salah satunya lewat kehidupan Youqing. Ia seorang bocah yang turut menanggung beban keluarga dengan bekerja begitu berat, mengurus makanan dua ekor kambing, menghabiskan waktunya ke sekolah, sampai dia mesti lari cepat-cepat, siangnya pulang sekolah juga harus cepat-cepat potong rumput, lalu lari-lari lagi balik sekolah (hal. 94), serta membantu dalam urusan memupuk sawah dengan tahi kambing.
Dan, setelah berdiri Komune Rakyat pada tahun 1958, segalanya berubah lagi. Hasil pangan, piaraan, dan beberapa peralatan rumah tangga harus diserahkan pada Komune Rakyat, meskipun pada nantinya, hasilnya dinikmati bersama-sama. Bahkan, Fugui memberikan pengakuan, begini: “Tanah kami yang lima mu (1 mu sekitar 0, 0667 hektar) itu harus diserahkan pada Komune, yang tersisa buat kami, hanya sepetak tanah di depan gubuk. Kepala dusun sekarang tidak lagi dipanggil Kepala Dusun, tapi Ketua Regu. Setiap pagi Ketua Regu berdiri di gerbang dusun, di bawah pohon ulmus dia menyempritkan peluit. Seperti jadi tentara semua laki-laki dan perempuan satu dusun wajib berkumpul di gerbang dusun, memanggul peralatan masing-masing.”
Tentu, novel Yu Hua tak berhenti di situ. Hanya saja, kita akan tahu bahwa ketika membaca novel ini, kita semakin percaya dan tak heran lagi, kenapa novel ini menjadi karya fenomenal dan sempat dilarang beredar di China, karena topik revolusi kebudayaan dan kritikan terhadap kebijakan yang diambil rezim pada saat itu masih merupakan isu sensitif di China, bahkan hingga hari ini. Apalagi, Yu Hua menyuguhkan kegetiran dalam negeri dan orang-orangnya terlalu jujur, dan pada akhirnya, To Live menjadi novel best seller dan masuk sebagai salah satu karya sastra kontemporer paling berpengaruh di China.
Lebih dari itu, kita diajak untuk menyimak Fugui-Fugui lain di luar China. Entah sadar atau tak disadari, kita semua mungkin melihat dan merasakan Fugui-Fugui di sekeliling kita, bahkan memungkinkan menemukan Fugui dalam diri kita sendiri. Maka inilah, kenapa ketika membaca To Live, kita akan menemukan dan memahami hakiki yang dilakukan manusia dalam kehidupan, sesungguhnya adalah—meminjam perkataan Yu Hua, “demi hidup itu sendiri, dan manusia bukan hidup demi hal-hal lain di luar hidup.”
Belum ada tanggapan.