Namanya Adira. Umurnya kini menginjak 4 tahun. Dia seorang anak yang ceria dan super aktif. Bahkan mungkin terlalu aktif untuk ukuran anak perempuan. Dia suka berlari mengejar setiap binatang yang terlihat oleh mata mungilnya. Entah di dalam rumah, di luar rumah atau di taman. Seperti saat ini, ketika berada di taman dia sedang berlari ke sana kemari untuk mengejar kupu-kupu yang menurut dia sangat cantik dan indah.
“Ayah, kupu-kupu ini sangat indah, Adira mau memilikinya. Bantu Adira menangkpanya Ayah.” Celoteh Adira meminta bantuanku untuk menangkap kupu-kupu yang dia inginkan. Dengan berat hati, terpaksa aku mengangkat kakiku untuk mengejar kupu-kupu yang Adira inginkan. Aku agak enggan untuk menangkap kupu-kupu itu. Aku kejar kupu-kupu yang Adira inginkan. Dia juga berlari kecil dengan kaki mungilnya di sampingku. Kupu-kupu itu tidak bisa ditangkap. Syukurlah. Aku juga tidak ingin menangkap kupu-kupu yang cantik itu. Aku hanya sekedar menunjukkan rasa kasihku pada anakku dengan membantunya.
Setelah kupu-kupu yang tadi diinginkan Adira pergi. Adira kini mengalihkan perhatiannya pada burung yang sedang hinggap di atas pohon tak jauh dari kami duduk. Aku berharap kali ini dia tidak memintaku untuk menangkap burung itu. Akan sangat sulit bagiku untuk mengabulkan permintaannya.
Adira memperhatikan burung itu dengan begitu seksama. Sambil berdiri mungil di dekat pohon, kepalanya terangkat ke atas menatap burung itu. Menatap dalam-dalam burung itu. Aku penasaran apa yang sedang dia pikirkan ketika melihat burung itu. Tiba-tiba burung itu terbang dari pohon itu. Terbang tinggi menjauh dari kami berdua.
Adira berlari menghampiriku. Langsung saja kurangkul malaikat kecilku ini. Kudekap dia dalam-dalam seperti mendekap harta yang paling berharga dalam hidup. Memang dia merupakan harta paling berharga dalam hidupku saat ini. Setelah kehilangan dirimu, yang kumiliki hanya Adira saja. Dia ini teman dan sahabat dan semangat hidupku saat ini. Meskipun tanpa dirimu lagi, tetapi aku masih kuat menjalani hidup karena anak kita, Adira.
“Ayah, mengapa burung bisa terbang?” Pertanyaan wajar yang biasa ditanyakan oleh anak-anak ketika mereka melihat hal baru.
“Burung bisa terbang karena mereka memiliki sayap.” Jawabku.
“Lalu kenapa kita tidak bisa terbang? Kalau aku punya sayap, aku ingin terbang ke tempat ibu berada.” Entah dari mana pikiran itu muncul ke dalam benak anak kecil seumuran Adira. Rasanya mendengar dia berkata demikian, aku kembali mengingatmu sayang. Mata ini mulai memerah. Seperti aku ingin menangis. Air mata ini memang tidak bisa tertahan lagi. Pipiku basah.
“Ayah menangis? Kenapa?” Celoteh Adira ketika dia melihat aku mengusap mataku. “Tidak sayang. Ayah tidak menangis. Ayah hanya teringat ibumu.” Jawanbku pelan.
“Ibu sudah pergi selamanya kan ayah. Adira tidak akan bertemu ibu lagi. Seperti kata ayah. Adira juga rindu pada ibu. Kalau Adira punya sayap, Adira mau terbang ke surga biar bisa bertemu ibu.” Kata Adira dengan agak bersemangat.
Sebenarnya aku juga ingin sekali bertemu denganmu. Sudah empat tahun lamanya engkau pergi meninggalkan kami berdua. Aku ingin engkau ada di sampingku, melihat perkembangan buah hati kita. Buah hati kita yang kini sudah lincah dan ceria berlari ke sana kemari mengejar apa yang dia lihat. Tingkah dia begitu lucu dan menakjubkan. Aku yakin dirimu juga akan bahagia dan gembira bila melihat buah hati kita dapat berlari ke sana kemari mengejar apa yang dia lihat.
Bidadari kita kini sudah berumur empat tahun. Dia sudah tumbuh besar. Dia sudah bisa bertanya banyak hal. Aku sendiri sampai bingung mau menjawab apa bila dia bertanya hal yang menurutkku tidak bisa dipikirkan oleh anak-anak seumur dia. Aku sangat menyayangi dia sama seperti aku menyayangi dirimu. Aku sudah merelakan dirimu. Aku sudah ikhlas melepas dirimu. Hanya saja hati ini kadang-kadang rindu padamu. Apakagi ketika aku melihat kedua bolah mata anak kita. Matanya sangat mirip denganmu. Ketika aku memeluknya, rasanya sama seperti aku memelukmu. Ingin kuluapkan segala rasa rindu dan rasa sayangku ini padamu saat ini, ketika anak kita mengatakan ingin sekali bertemu denganmu. Aku juga sangat ingin bertemu denganmu. Ada banyak kisah hidup yang mau kubagikan kepadamu. Terkhususnya perjuanganku untuk tetap bisa hidup tanpa dirimu sayang. Aku sangat rindu padamu.
Hari sudah hampir gelap. Lampu di taman sudah mulai menyala tanda bahwa aku dan Adira harus segera pulang. Iya, pulang kembali ke rumah kami, melepaskan segala rindu kami berdua padamu di taman ini. Biarlah angin malam yang membawa pergi rindu kami berdua ini sampai di telingamu sayang.
Setelah sampai di rumah, Adira ternyata langsung beranjak ke kamarnya dan tertidur pulas. Mungkin dia kelelahan karena dari tadi sore ketika bermain di taman dia berlari ke sana ke mari. Dia pasti sangat capek dan lelah makanya langsung tertidur. Tinggallah aku sendiri yang masih belum bisa terlelap. Aku masih memikirkan dirimu.
Tiba-tiba, aku teringat sebuah surat kecil yang tersimpan lama di dalam lemari. Surat kecil yang engkau tinggalkan dan wasiatkan untuk tidak aku baca kalau umur Adira belum empat tahun. Sekarang pikirku sudah tepat waktunya untuk membaca surat kecil itu karena Adira sudah berumur empat tahun. Kulangkahkan kakiku ke lemari tempat surat itu disimpan, kubuka dan kuambil surat itu untuk dibaca.
“Romi suamiku yang paling kucintai seumur hidupku. Aku sangat berterimakasih kepada Tuhan karena telah mempertemukan aku dengan lelaki seperti dirimu. Aku sangat beruntung memiliki cinta dan mencintaimu. Mencintaimu adalah keputusan yang tidak pernah aku sesali dalam hidupku ini. Aku sangat bersyukur hidup berdampingan dengan dirimu meksipun hanya berapa saat saja. Waktu bersamamu adalah waktu-waktu terbaik yang pernah kumiliki. Ingin rasanya diri ini terus hidup berdampingan dan menemani dirimu. Aku ingin sekali berada di sampingmu, menemani dan membesarkan anak kita Adira yang kini pasti sudah tumbuh menjadi gadis kecil yang lincah dan ceria. Aku ingin sekali menyaksikan dirinya berlari ke sana ke mari dengan kaki kecilnya.
Maafkan aku sayang yang saat ini tidak ada lagi di dekatmu. Rahasia terdalam yang kusimpan rapat darimu adalah rahasia kelam cara hidupku sebelum aku bertemu dirimu. Sebelum aku bertemu denganmu, aku hidup dalam gaya hidup amburadul. Berteman dengan anak-anak punk, memakai narkoba, seks bebas dan hidup sesuka hati layaknya anak muda yang sedang mencari jati diri. Namun semua itu berubah ketika aku mengenal dirimu. Aku seperti tersadar dan berubah seketika. Cara dan perhatianmu mengubah diriku yang saat itu sudah salah jalan. Sayang, aku mengidap penyakit AIDS ketika aku sedang mengandung anak kita Adira. Aku takut mengatakan hal ini padamu. Aku takut engkau akan meninggalkanku. Apalagi aku juga takut kalau saja anak kita bisa saja terjangkit penyakit ini. Untung ada obat yang bisa mencegah hal itu terjadi. Sayangnya memang nyawaku tidak bisa tertolong karena penyakit itu sudah menggerogoti tubuhku. Untungnya aku masih bisa melahirkan anak kita meskipun hal yang buruk terjadi. Namun cerita itu aku simpan rapat-rapat dan kutulis pada surat kecil ini yang engkau baca saat ini. Maaf karena kisah itu baru engkau ketahui setelah empat tahun. Tetapi semua itu hanya karena aku takut kehilangan dirimu. Maafkan aku sayang. Semoga engkau tetap mencintaku dan mencintai anak kita. Rawatlah dia agar tidak menjadi seperti diriku yang sudah salah berjalan ketika beranjak muda. Maafkan aku sayang. Aku mencintamu dari bahasa yang paling sederhana sampai pada kata yang tidak akan pernah ditemukan lagi dalam bahasa.”
Kututup surat kecil itu. Air mati mulai menetes. Sekali lagi aku menangis mengenang dirimu sayang. Mengapa tidak dari awal aku mengetahui kisah itu. Aku tidak pernah menyesal mencintaimu. Mencintaimu adalah keputusan terbaikku. Aku akan selalu mencintai dan merawat Adira seperti aku mencintaimu. Selamat tinggal sayang, aku akan selalu mencintaimu.
Belum ada tanggapan.