I/
Pada petang yang sehasta lebih rendah daripada kematian, dua lelaki dan seorang perempuan merendam kalut. Ketiganya menguburkan diri di dekat lincak sembari berucap doa. Berharap ruh yang hendak terlepas dari si empu tubuh tak tersangkut di antara langit dan bumi.
“Usah risau begitu. Kau dapat berjumpa di alam mimpi. Bukankah, aku memberimu puja-puji penghubung orang mati?”
Sa’di, anak kedua Juk Tuah menyahut dengan air mata jatuh satu-satu.
“Lalu kau, Musri. Tak usah iri sebab bukan dirimu yang menerima ilmu itu. Bukankah, sudah kuwariskan padamu tanah yang kutempati?” katanya sambil melirik kandungan Misni, istri Musri.
Musri juga tak menyahut. Matanya tertuju pada paras Juk Tuah yang tetiba membiru. Seakan-akan terendam di cekungan salju. Sementara lidah dan bibir bergerak-gerak. Berupaya menyebut asma Lah Ta’ala sebagai bekal ke alam sana. Meski terbata-bata, Juk Tuah terus mematuhi titah bebuyut agar tak berhenti menyebut sebelum ruh benar-benar terpisah. Sedangkan ketiganya pasrah melihat kedua bola mata lelaki itu meletup-letup hendak keluar.
Juk Tuah bukan sembarang tetua. Selain memiliki ilmu penghubung antara bumi dan alam kubur, ludahnya pun tak kalah manjur. Tak ayal, ia selalu berludah di kerreng, anyaman bambu yang digunakan sebagai tempat sampah. Sebab barang siapa tak sengaja menginjak air liurnya, bisa-bisa sakit perut mendadak dan kalau tak cepat menemui Juk Tuah, bisa-bisa kematian datang lebih dekat.
Pernah di zaman Koloni, ia membuat banyak azimat berisi doa-doa selamat. Ditaruh dalam kalung yang terbuat dari kulit kepompong, lalu dibagikan pada banyak pejuang. Inilah salah satu musabab mengapa pejuang zaman lampau berani mati meski bermodal ujung parang. Sebab jimat yang tak dipercayai orang barat itu adalah pelindung nyata. Tak mati meski ditembak berkali-kali. Maka, tak heran, Juk Tuah amat tersohor sekaligus ditakuti.
Ah, barangkali aku terkesan menyampaikan cerita tak masuk akal. Mustahil diterima nalar. Tetapi, baiklah. Mari kusampaikan kisah ini sampai hilir. Kalau pada akhirnya aku tetap menyuguhkan kalimat-kalimat dangkal, mudah-mudahan bertemulah lafal ingatan.
“Cepat antar Uwak menuju alam baka. Tak kuat aku melihatnya begitu.”
“Ilmuku tak seberapa. Belum mampu menanggung akibatnya.”
“Kau yang diwarisi ilmu itu, Sa’di!” Musri memegang kerah baju adiknya. “Sampai detik ini pun aku tak mengerti, mengapa engkau yang dipilih mewarisi. Bukannya aku!”
Sa’di tak jawab. Jika menelan liur Juk Tuah –syarat agar uwaknya cepat mati- kelak ia akan mati merana seperti keadaan uwaknya sekarang.
“Sa’di! Kau tak dengar perintahku?!”
“Aku tak mau dijaga seekor ular. Biarlah Uwak meninggal bersama azimatnya.”
“Sudah kuduga kau tak becus jadi penerus!” tangan Musri hendak menampar namun dihalang Misni.
“Uwak hendak mati dan engkau bertengkar begini? Hantarkan Uwak dengan puja-puji, Kak. Jangan emosi.”
Sejenak Musri menatap istrinya. Tetiba siul gagak terdengar. Segerombol gagak mengitari pekarangan kian menambah kerunyaman. Suami istri itu saling meratap. Tak berani melihat Juk Tuah yang tubuhnya terguncang-guncang. Bahkan bunyi reot lincak ikut lantang. Dan berhenti setelah sekelompok gagak itu pergi.
II/
Lihatlah Ehar yang tengah duduk manis di pinggir dapur, memandangi ilalang yang kian meninggi bersemayam di jalan. Nafsu mana yang tak tertawan bila sebentar lagi menggenggam banyak uang. Dua puluh dua sapi tak akan cukup dipuji. Gumamnya dalam hati.
Sebetulnya, ada banyak mimpi yang ingin ia tuntaskan setelah ini. Membangun rumah yang tak beratap jerami, tak berbilik bambu, dan tak berlantai tanah adalah salah satunya. Selanjutnya, membangun kamar mandi agar kelak saat sang bini melahirkan, tak perlu bolak-balik ke sumber mencuci pakaian. Ah, ya. Cukup ini dulu. Sisanya, ia menuntaskan mimpi-mimpi lain setelah masa kelahiran.
“Keluar kau, Bajingan! Bisa-bisanya kau bahagia sedang alam sana berduka.”
Teriakan Sa’di membuyarkan lamunan. Padahal Ehar sedang membayangkan hidup bergelimang uang.
“Apa kau tak punya akal sampai-sampai bukit ini hendak dijual?” Sa’di yang tengah menggenggam parang menciutkan nyali ponakannya.
“Tenang dulu, Lek. Jangan marah-marah.”
“Kau menyuruhku tenang-tenang sedangkan tanah bebuyut diserahkan pada mereka? Tulikah engkau saat uwakmu memberi wasiat agar tak menjual tanah ini?”
“Aku butuh uang, Lek. Tak lihatkah Lek Sa’di kalau istriku tengah mengandung sembilan bulan?”
“Kalau soal persalinan, aku siap menanggung asal kau tak menyentuh bukit leluhur.”
“Persetan dengan leluhur. Aku mau hidup bahagia. Aku mau membangun rumah. Aku tak mau anak-biniku kedinginan. Silakan Lek Sa’di mencak-mencak sampai malam. Bukit ini tetap kujual.”
“Kurang ajar!” Sa’di mencengkeram kerah baju ponakannya. Persis yang dilakukan Musri tiga puluh tahun silam. “Lantas apa yang kau lakukan pada makam Juk Tuah, ha? Jangan katakan kau hendak memindahnya ke pinggir sungai? Dia Mbahmu, Har! Uwakku!”
Kalau bukan Hermawan datang melerai, barangkali parang di ujung tangan Sa’di kini beraroma darah. Hermawan pun mengajak Sa’di ke bawah pohon trembesi. Di sana, keduanya bercakap-cakap serius. Mulanya mimik muka Sa’di merah padam. Lalu perlahan-lahan berubah datar. Tak lama kemudian pergi meninggalkan ponakannya yang bersandar di tiang penyanggah dapur, setelah menerima amplop putih dari Hermawan yang tinggal di utara pasar Lombhung.
III/
Kiranya apa yang membuat mereka sepakat menggali bukit Juk Tuah? Petuah yang sangat dihormati? Lagipula, bagaimana bisa pasir bukit yang tercampur tanah dan material organik seperti akar dan dedaun pohon dikata berkualitas tinggi? Apalagi ketika truk mengantri, mereka membasahi pasir agar terlihat menghitam lalu dikata pasir sungai pada penjual. Laku mana yang pantas disebutnya beradab padahal mereka menipu? Sungguh, batin Asan bergemuruh. Lahir banyak riuh.
“Hei, Asan. Kau benar-benar tak mau pindah ke bukit? Apa yang hendak kau harapkan dari kali? Menggali pasir bukit lebih baik daripada pasir sungai yang sehari belum tentu dapat uang.”
“Memangnya, binimu mau dikasih beberapa ribu?”
Orang-orang yang berada di warung terkekeh. Asan tetap berjalan meninggalkan mereka-mereka yang menertawainya. Ia menduga, pembangunan villa ini dalangnya. Siapa lagi kalau bukan Hermawan yang bersikukuh membeli sawah-sawah, bukit Juk Tuah demi ambisi membangun hunian. Jadilah para penggali pasir sungai beralih ke bukit. Meski harga pasir bukit lebih murah, tetapi mereka memperoleh komisi dari Hermawan. Tinggalah Asan seorang diri. Padahal mencapai satu truk pasir butuh berhari-hari.
Asan yang terus dibayang-bayangi pergelutan batin, tak sadar telah sampai di tepi sungai. Sesaat ia menahan nafas. Ditatapnya aliran air sampai hilir. Baru kemudian menyelam usai melepas pakaian. Dalam hitungan sepuluh galian, tetiba ia mendengar dentuman keras diselingi teriakan. Ia menoleh ke arah utara. Dan astaga. Ujung bukit Juk Tuah yang mulanya terlihat dari pinggir sungai kini tak ada. Asap justru membumbung dari sana. Ai, itu bukan asap berapi. Itu debu dan tanah dari longsor yang terjadi. Semua yang tengah mandi bergegas berdiri. Berlari menuju muasal suara mengerikan. Sekejap Asan memandang nanar. Tatapannya gamang.
“Itulah akibat kalian melawan Juk Tuah. Mati tertimbun tanah,” Asan tak ikut berlari. Malah berkacak pinggang. Entah berapa orang menjadi korban. Asan menduga, seluruh lelaki yang tengah mengopi tadi turut mati. Sebab setelah mengolok-oloki, mereka beringsut keluar ke arah bukit.
Lalu, mengapa mesti ia ke sana jika hanya demi kata duka. Lebih baik terus menggali, biarlah yang mati tetap mati. Ia hanya perlu membersihkan badan setelah jenazah ditemukan. Mengambil kopyah hitam turut menyembahyangkan. Maka, diteruskanlah Asan mengeruk pasir sungai. Terus menggali tiada henti dan terhenti saat aliran sungai terasa membesar. Makin deras dan dilihatnya segelombang air berwarna coklat penuh lumpur menerjang. Asan berusaha menyelamatkan diri tetapi gelombang terlalu besar. Ia terombang-ambing memohon pertolongan. Tetapi tak satupun yang menolong sampai akhirnya ia tenggelam bersama kisah ini. Bersama itu pula ia mati sebagai pengeruk bumi.
*)tanah sangkolan = tanah warisan (Bahasa Madura)
Belum ada tanggapan.