kitab-cerita-anak

Kritik Literasi Anak : Harapan dan Pesismisme

Negara sering mendengung-dengungkan jikalau literasi kita penuh masalah. Kritik itu ditanggapi tidak hanya dengan pidato dan juga khotbah di forum kenegaraan. Pemerintah telah bekerja nyata membuat program gerakan literasi sekolah (GLS) yang merupakan turunan dari Gerakan Literasi Nasional. Sekolah-sekolah di ajak untuk berliterasi bersama. Guru dan siswanya diminta untuk bergiat membaca walau hanya lima belas menit sebelum dan sesudah pulang sekolah. Presiden Jokowi pun tidak ketinggalan, ia pernah membeli buku-buku di Mall untuk misi literasi. Ini dilakukan agar masyarakat kita tidak hanya berkesan diberi hadiah sepeda, tapi juga menerima buku bacaan dari Presiden, terutama anak-anak kita. Upaya terus dilakukan untuk mengatasi krisis literasi di negeri kita. Akan tetapi hasilnya pun belum kunjung berubah. Kita menempati rangking yang jauh lebih buruk nomor lima paling bawah di tahun 2019 berdasarkan versi PISA.

kitab-cerita-anak

Judul Buku : Kitab Cerita: Esai-esai Anak dan Pustaka
Penulis : Setyaningsih
Penerbit : Bilik Literasi
Halaman : 82 Halaman
ISBN : 978-623-7258-43-8

Jika kita telisik, pada kenyataannya kita masih memiliki beragam masalah literasi, salah satunya adalah literasi anak. Persoalan literasi anak memang cenderung dianggap pinggir dan tak terlalu menarik. Setyaningsih melalui buku Kitab Cerita (2019) menghimpun sederet masalah dalam literasi anak. Salah satu yang masih menjadi problem umum dalam literasi anak adalah persoalan mendongeng. Ibu-ibu milenial dinilai sudah kehilangan metode, cara, dan karisma mendongeng dihadapan anak-anak kita. Teknologi ternyata lebih dipercaya oleh ibu-ibu kita di era sekarang. “Ndak usah repot-repot mendongeng, kan ada hape. Tinggal nyalain youtube, anak sudah tidur pulas sendiri.” Setyaningsih seperti berkhotbah tentang idealisme masa lalu tentang ibu yang mendongeng. Ia mengandaikan yang ideal itu dengan mengatakan : “Kelisanan harus dibangkitkan berbarengan dengan keberaksaraan. Penerbitan buku-buku diiringi kefasihan mulut manusia membunyi karena anak-anak menerima bahasa dari mendengar sebelum bisa membaca (h.11).

Setya belum sepenuhnya memberi keterangan dan penjelasan mengenai pengaruh hadirnya teknologi yang memungkinkan dongeng-dongeng itu berubah menjadi arsip digital yang begitu mudah diakses. Orangtua bisa fokus bergosip atau mengistirahatkan badan namun anak masih bisa ditemani ponsel pintar yang bisa mendongeng. Apalagi untuk anak muslim kekinian, mereka sudah akrab dengan boneka yang bisa menyanyi, mendongeng dan mengaji. Cerita nabi pun jadi asupan bagi anak-anak kita. Ibu-ibu merasa lebih praktis dan lebih tepat di tengah kesibukan mereka menjadi wanita karir. Mereka tidak merasa khawatir lagi anak-anak mereka tak lagi mengenali cerita nabi-nabinya. Peran ibu mendongeng pun digantikan dengan boneka pintar.

Selain aspek mendongeng, Setya juga menyoroti perihal belum tersedianya ruang bagi kampanye bacaan anak di koran-koran atau majalah. Resensi atau ulasan buku anak, jarang memasuki rubrik resensi untuk umum, kecuali di halaman khusus anak. Padahal, rubrik ini bisa menjadi propaganda bagi orangtua dalam memilihkan buku bacaan harian (h. 23). Kebiasaan orangtua seperti yang digambarkan oleh Setya adalah kebiasaan orangtua masa lalu. Orangtua di masa sekarang lebih sering langsung ke toko buku untuk mencari bacaan untuk anak mereka. Terlebih anak-anak kita sekarang ini, mereka bisa memperoleh rekomendasi bacaan anak dari teman sebaya mereka, dari teman chatting mereka, atau dari guru mereka. Amat jarang rekomendasi bacaan anak dari orangtua kecuali bapak atau ibunya memiliki koleksi bacaan anak yang lengkap. Fenomena ini tentu bisa dihitung jari, mengingat amat jarang bapak atau ibu yang memikirkan rumah mereka dipenuhi buku anak-anak.

Pesimis

Gagasan-gagasan kecil di buku Kitab Cerita (2019) adalah gagasan pesimis mengenai nasib literasi anak. Gagasan itu tercermin dalam esai berjudul (Politik) Ilustrasi Bacaan Anak. Pada esai ini, nampak sekali ada semacam pesimisme saat melihat para ilustrator buku bacaan anak di tanah air. Kita bisa menyimak rasa pesimisme itu dari kalimat berikut : “Kita semacam diserbu, tidak lagi oleh illustrator Eropa atau Amerika, tapi terutama Jepang dan Korea yang cukup menawan. Goresan mereka sama sekali tidak asal. Mereka sanggup menghadirkan cerita-cerita bernilai edukasi seharian yang mudah diterima khalayak Indonesia tanpa meninggalkan identitas sosial dan geografis. Dua negara Asia Timur ini, jelas akan membentuk selera baru penikmat bacaan anak.”

Barangkali rasa pesimisme itu bisa dibantah oleh Direktorat Kementrian dan Kebudayaan yang rutin menggelar tidak hanya sayembara penulisan buku anak, tapi juga para ilustratornya ikut serta diundang dan diapresiasi. Kemunculan para ilusrator muda ini tentu memberi secercah harapan bagi lahirnya ilustrator buku cerita untuk anak-anak kita. Di Indonesia sendiri, bukan soal ilustrator buku anak yang minim, tapi apreasiasi dan rasa inferior yang lebih dominan sehingga keputusan untuk beranggapan ilustrator kita lebih jelek dibanding dengan para ilustrator luar yang menjadi masalah.

Rasa pesimisme itu juga hadir pada esai bertajuk Negara dan Bacaan Anak. Meski penulis pernah diundang dan menjadi penulis buku cerita anak untuk Kemendikbud, tapi penulis merasa belum sepenuhnya persoalan literasi anak di Indonesia selesai. Ia menganggap kampanye negara kurang optimal. Ini ditunjukkan saat buku-buku cerita anak dari negara lebih banyak berakhir di toko buku bekas ketimbang mampir di tangan anak-anak.

Banyak perubahan dan pola literasi anak yang sudah jauh bergerak dari masa lalu. Teknologi dan juga internet ikut pula mempengaruhi bagaimana literasi anak berubah. Para pegiat literasi anak dan pemerhati buku (cerita) anak tak melulu harus pesimis. Ada baiknya kita perlu mengubah strategi agar literasi anak bisa semakin mendekati para orangtua dan anak mereka. Hadirnya teknologi tidak selalu hadir sebagai kambing hitam masalah literasi anak, tapi juga sebagai alternatif yang memungkinkan literasi anak bergerak dan tumbuh.

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan