“Cepat, ini tempat kerja bukan taman ria tempat bersantai-santai! Halah…ngerjain kayak gitu aja gak becus. Gak nyampe sepuluh menit juga selesai!”
Mata Rosna terlihat hampir loncat. Dia bertolak pinggang. Wajahnya tampak sangat bengis. Hitam tanpa cahaya. Tampak benar kesombongannya. Sementara Arum tertunduk layu. Mungkin dia merasa takut dan juga muak mendengar setiap hardikan wanita bermulut kotor itu.
Semenjak diangkat jadi leader di line A sikap angkuh Rosna menjadi-jadi. Entah apa yang ingin ditunjukan dan dibangga-banggakannya, hingga kerap mencari-cari kesalahan karyawan lain. Terlebih apabila menejer yang warga negara asing turun, sudahlah penuh seisi ruangan dengan teriakan-teriakannya yang menusuk gendang telinga. Tentunya dengan diada-ada.
“Nih, lihat! Kerjaanmu gak bener. Baru jalan sebentar benang sudah putus. Kerja kayak gini kok pengen digaji. Kerja tuh sambil mikir, ngerti!”
Lagi-lagi Arum kena imbas kemarahan Rosna. Arum berusaha tak mengindahkan, dia tetap berusaha menyambung benang jahitnya yang terputus.
“Ya Ampun…ini jahitannya semakin menumpuk. Kerja kayak gini kok mau jadi karyawan pabrik. Benar-benar kurang ajar kamu, lihat teman-teman di depanmu gak ada kerjaan gara-gara bahan numpuk di sini. Hah, sialan punya karyawan kayak kamu!”
Begitu tersayatnya hati Arum atas cacian keji sang leader. Rasanya wajar jika terlalu banyak jahitan benang pun akan kerap putus. Jangankan benang putus, jarum patah hingga mesin rusak pun sangat mungkin terjadi. Terlebih ini pabrik konveksi, dalam satu jam bisa ratusan hingga ribuan baju yang dijahit. Sudah dapat dibayangkan seberapa capeknya mesin tersebut bekerja.
“Cepat, kerjamu kayak siput. Lelet!”
Arum mengangguk. Dia kembali ke mesin jahitnya. Dia berusaha tetap fokus walau ada rasa sakit yang tersisa.
Sudah dua hari ini dia menjadi sasaran empuk dari kemarahan Rosna. Padahal kesalahan yang dia buat bukanlah karena kesalahan fatal. Hanya sekedar putus benang, jahitan menumpuk dan hal-hal sepele lainnya. Padahal, Arum merasa bahwa dia sudah bekerja dengan sangat baik. Meski dalam perjalanan terkadang keteter karena trouble mesin jahit, tapi di akhir jam pulang semua terselesaikan dengan baik.
Kalau sedang dimarahi, rasanya ingin keluar dari pekerjaan itu. Apa yang dibayangkan tak sesuai kenyataan. Arum kurang beruntung, belum genap sebulan menjadi karyawan dia telah digabungkan bersama karyawan senior. Dia pun harus rela mendapat leader seperti Rosna yang terkenal kegalakannya.
“Mbak yang sabar ya. Dia memang begitu.” Kata Fida, karyawan lama yang kebetulan sangat peduli dengan Arum.
“Tapi kenapa leader yang lain tidak segalak dia?” Arum merasa heran, kenapa leader-leader yang lain terlihat bijaksana. Memarahi di saat anak buahnya salah saja. Mereka tidak pernah mencari-cari kesalahan apalagi mencari muka di depan atasan.
“Rosna tuh baru diangkat jadi leader, dia asalnya operator kayak kita. Dia sombong.” Jelas Mbak Fida sambil berbisik. Dia takut ada yang mendengarnya. Maklum, saat jam istirahat mereka akan duduk berjejer dengan banyak karyawan lainnya. Bahkan dengan mereka yang tidak dikenali.
Arum mengangguk, tak berani bertanya ini itu lagi tentang Rosna. Arum takut di kiri kanannya ada cicak putih yang meneruskannya ke telinga Rosna atas percakapannya dengan Fida.
Bel masuk telah berbunyi. Rosna kembali terlihat berputar-putar mengelilingi lane.
“Kamu malah minum, cepat bekerja!”
“Aku kan haus Mbak Ros. masak minum aja gak boleh.” Aprilia mencoba membela diri. Dia tidak rela jika hanya karena minum harus mendapat bentakkan dari leadernya itu.
“Melawan kamu ya?” Beraninya kamu!”
“Ya masak cuma minum saja dimarahi.”
“Owalah…anak ini! Baru kali ini ada karyawan yang berani menantangku. Lihat kerjaanmu, malah berleha-leha.”
“Aku tidak berleha-leha, aku cuma minum! Sekali lagi, aku cuma minum, faham! Kalau aku gak boleh minum, mbak pun gak boleh minum, kita semua puasa!”
Aprilia benar-benar melawan. Dia tidak terima dengan pengekangan leadernya.
“Kurang ajar kamu! Bukannya bekerja malah nantangin. Sinting!”
Seketika tangan Rosna merebut botol air mineral dari tangan Aprilia. Dan dalam hitungan detik dia telah membantingnya hingga pecah. Basahlah sudah lantai di sana, lelehan airnya melebar ke mana-mana.
“Ini akibatnya kalau kamu berani melawan.”
“Mbak Ros jangan seperti ini. Perusahaan saja menganjurkan kita untuk memperbanyak minum saat bekerja. Kita duduk 7 jam sehari, kalau sedikit minum kesehatan kita akan tergangu. Harusnya sebagai leader Mbak Ros tahu itu, bukannya malah membatasi dan marah-marah.” Jelas Aprilia. Barangkali dengan diingatkan tentang aturan perusahaan yang mengharuskan karyawannya untuk mengkonsumsi banyak air putih saat bekerja, Rosna tak lagi marah-marah.
Namun lain reaksi rupanya, Rosna malah semakin marah, “Sok tahu kamu! Diam saja gak usah banyak bacot. Sekarang kamu ambil pel dan bersihkan lantai yang basah ini!”
Aprilia tidak menuruti perintah leadernya itu. Dia merasa bahwa apa yang diperintahkan Rosna sudah melewati batas,
“Aku tidak mau. Yang membuat lantai ini basah kan Mbak Ros sendiri. Kenapa nggak Mbak aja yang bersihin? Lagi pula Mbak pun sudah memecahkan botol minum saya. Maaf saya tidak bisa.”
“Ya Ampuunnnn…kamu tuh manusia apa setan? Disuruh sama leadernya sampai melawan. Goblok kamu!”
“Jaga mulut Mbak! Saya kesini buat bekerja bukan buat diinjak-injak seperti ini!”
Aprilia bangkit dari tempat duduknya. Dia sudah muak melihat muka bengis Rosna.
Aprilia bangkit dan berbalik arah meninggalkan Rosna yang terus melotot dan bertolak pinggang.
“Mau kemana kamu, cepat bekerja!” Teriak Rosna.
Aprilia sudah tidak ingin memperdulikan lagi. Dia terus berjalan ke luar ruangan.
Merasa tak dihiraukan, Rosna kemudian mengejar Aprilia. Secepat mungkin dia meraih bahu Aprilia dan menariknya berputar kehadapannya.
“Bocah sialan, asal kamu tahu ya kelakuanmu ini akan aku laporkan ke atasan. Saya pastikan besok kamu sudah dipecat. Jangan coba-coba melawan Rosna kalau tidak ingin nasibmu sial. Ngerti?!” Telunjuk jari Rosna hampir menyentuh batang hidung Aprilia. Beberapa detik kemudian dia mendorong tubuh Aprilia hingga hampir terjatuh.
Rosna mengelus dada, dari sekian pabrik yang pernah dia singgahi sebagai tempat mencari nafkah, hanya di sini dia mendapatkan tekanan yang luar biasa.
Sementara Aprilia pergi meninggalkan pekerjaannya, Rosna tampaknya kebingungan karena jahitan menumpuk di belakang. Kepergian Aprilia rupanya telah membuat lane mati. Semua menganggur karena bahan belum di proses. Akhirnya Rosna terpaksa turun tangan.
Dengan sisa kemarahannya dia turun menjadi operator. Dengan mulut bersungut-sungut dia berusaha menjahit satu persatu material yang harusnya dikerjakan Aprilia.
“Kurang ajar tuh bocah, gara-gara dia aku harus turun tangan. Awas kalau ketemu nanti!”
Kemarahannya begitu menjadi apabila mengingat perlawanan-perlawanan yang diberikan Aprilia. Dan tanpa disadarinya, jari telunjuknya telah tertancap ke jarum jahit.
“Aduhhhh…tolong…tolong…aku kena jarum.”
Rosna meraung-raung. Sementara darah terlihat mengalir.
Namun sayang, semua karyawan hanya terdiam dan saling berpandangan..
Belum ada tanggapan.