mazhab-kiai-ujang-di-negeri-kanguru

Mazhabku, Mazhabmu, Mazhab Kita Semua

Jika sebagian muslim masa kini sibuk mengklaim surga dan neraka untuk orang lain, seakan-akan hidup hanya memiliki dua warna hitam dan putih, merasa pendapat dan mazhabnya paling benar sampai-sampai lupa jika perbedaan adalah rahmat Ilahi, maka buku ini adalah upaya untuk menangkis stigma buruk di atas.

Dikemas dalam bentuk kisah perjalanan Si Ujang yang menempuh pendidikan Pasca Sarjana di University of Queensland, Gus Nadir berhasil menyuguhkan problematika hukum Islam yang jarang ditemui di tanah air. Wajar apabila Ujang merujuk berbagai mazhab sebagai pemecah persoalan, karena di Australia, Ujang menjadi kelompok minoritas bukan mayoritas seperti saat berada di negeri ini.

Agaknya, selain menyajikan beragam pandangan ulama, baik dalam bidang fiqh maupun maupun ilmu ushul lainnya, Gus Nadir ingin mengajak pembaca untuk merenungi khazanah keilmuan yang begitu luas dengan kisah muslim minoritas Ujang. Mengingat sebagian besar penduduk di Indonesia beragama Islam dan mayoritas pula bermazhab Syafi’i, terkadang sisi ini melenakan.

Dalam hal wudhu, misalnya. Jika mazhab Syafi’i mewajibkan mengusap sebagian kepala, maka ulama mazhab Maliki dan Hanbali mewajibkan mengusap seluruh kepala sebagai bentuk kehati-hatian. Jika tidak bisa merangkul perbedaan dan menganggapnya sebagai rahmatan lil ‘alamien, maka hal ini akan menjadi bahan untuk mengafir-ngafirkan yang lain sebagaimana yang menjangkiti sebagian muslim dewasa ini.

kiai-ujang-di-negeri-kanguru

Judul: Kiai Ujang di Negeri Kanguru
Penulis: Nadirsyah Hosen
Penerbit: Noura Publishing
Tahun Terbit: Juli 2019
Cetakan: ke-2
Tebal Buku: 276
ISBN: 978-602-385-804-0

Jangankan berbeda dalam memilih mazhab, beda pilihan kontestasi politik saja cenderung dicaci dan dimaki. Saya kira, pergeseran stigma ini harus segera diatasi karena Islam sendiri meminta pemeluknya untuk berlaku luhur dalam berbudi dan mengutamakan toleransi. Lucu rasanya jika Nabi yang kita junjung tinggi memiliki sikap mengayomi dan saling menghargai perbedaan, tetapi kita, umatnya, malah hendak memecah persatuan atas nama perbedaan.

Lantas, adakah cara mengatasi pikiran buruk yang mudah mengafir-ngafirkan orang lain padahal seagama? Bisa dengan memberi nutrisi pada akal, salah satunya melalui buku setebal 276 halaman ini. Tak perlu risau atau keburu mengernyitkan dahi sebelum membaca, penulis berhasil menyampaikan perbandingan mazhab dengan bahasa yang tidak menyulitkan konsumen. Awalnya saya mengira bahasanya seperti banyak buku yang mengupas mazhab yang ditulis dengan bahasa baku nan kaku. Ternyata saya keliru, justru buku ini dikemas dalam bahasa ringan dan renyah.

Saya ambil contoh ketika Ujang berbelanja di supermarket dan ditegur kawannya karena daging yang dibeli Ujang tidak memiliki cap halal. Padahal yang dibeli adalah daging sapi dan ayam. Letak persoalannya adalah karena konsumen tidak pernah tahu agama apa tukang potong hewan tersebut. Maka, Ujang mencari referensi dan mengkaji status hukum memakan sembelihan non ahlul kitab.

“Di dalam Shahih Bukhari diriwayatkan, “Bahwasannya ada sekelompok orang yang berkata kepada Nabi Saw, ‘Sesungguhnya ada suatu kaum yang datang kepada kami dengan membawa daging, kami tidak tahu apakah disembelih atas nama Allah atau tidak.’ Maka beliau Nabi SAW. Menjawab, ‘Bacalah bismillah atasnya oleh kamu dan makanlah.” Jawaban Nabi itu ternyata sederhana.” (Hal. 77)

Penelusuran Ujang masih berlanjut dengan mengkaji kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibn Rusyd terkait wajib tidaknya seorang Muslim membaca basmalah saat menyembelih. Pertama, membaca basmalah saat menyembelih merupakan sebuah kewajiban mutlak. Kalau lupa atau sengaja tidak membaca basmalah, maka sembelihan itu tidak halal. Ini adalah sebuah riwayat pendapat dari Imam Malik dan sebuah riwayat pendapat dari Imam Ahmad.

Kedua, membaca basmalah itu wajib kalau dalam keadaan ingat, dan menjadi gugur kewajibannya kalau lupa membacanya. Dengan kata lain, kalau tidak membaca basmalah dengan sengaja, maka sembelihannya tidak halal, tetapi apabila tidak membacanya karena lupa, maka sembelihannya halal. Ini pendapat mazhab Hanafi, Maliki, dan satu riwayat dari Imam Ahmad. Ketiga, membaca basmalah hukumnya sunnah. Kalau tidak membaca basmalah karena lupa atau sengaja, maka hukum sembelihannya tetap halal. Ini adalah pendapat Syafi’i. (Hal. 78)

Barangkali terkesan berlebihan jika saya menyebut buku ini sebagai ilmu langit yang disampaikan dengan bahasa bumi, karena memang hampir seluruh isi buku disajikan dengan bahasa yang ringan dan jenaka. Bagi Anda, siapapun yang ingin menambah wawasan keilmuan terkait perbandingan mazhab dalam hukum Islam dengan bahasa yang nyaman dikonsumsi, tak ada salahnya menambah buku ini sebagai daftar bacaan. Niscaya tak hanya jawaban yang diperoleh, melainkan rasa haus dan haus meneguk ilmu akan terus bersemayam dan mengajak kita untuk senantiasa belajar.

Wallahu a’lam bisshowab

, , , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan