Sayalah Tuan Kasrani!
Bila Anda berkunjung ke Negeri Kapur, niscaya Anda akan mendengar nama saya didengungkan ke seluruh penjuru kampung. Sebagai seorang pendongeng renta, saya merasa hidup kembali bergairah ketika mengenang masa muda. Saya tidak menyangka kalau usia tua adalah siksaan bagi seorang manusia. Dulu, saya mengira usia tua sebagai masa menuai. Sebab saban pekan saya mendatangi Negeri Kapur, membawa sebuah lonceng kecil, dan ketika saya membunyikan lonceng tadi, para perempuan dan lelaki, tak tua, tak muda, berbondong-bondong mendatangi pohon ketapang, tempat saya bersiap-siap menyampaikan dongeng.
Bagi penduduk Negeri Kapur, kehadiran saya tak ubahnya tanah liat yang subur. Sebab sepanjang mata memandang, tanah-tanah di Negeri Kapur berwarna putih seperti putih kapur. Mata pencaharian mereka dari menggali kapur. Tiga hari sekali, puluhan truk berjejer mengantre untuk mengangkut tumpukan kapur menuju kota kecamatan yang jaraknya puluhan kilometer. Penduduk Negeri Kapur tak pernah keluar dari wilayah perbatasan. Sebab mereka telah diselimuti kesejahteraan, dan tidak kekurangan apa pun. Kalaupun ada yang keluar dari wilayah, hanya mereka-mereka yang menambah profesi sebagai pedagang. Mereka mendatangi Negeri Air yang jaraknya lebih singkat menuju kota kecamatan- demi membeli beras dan segala macam pangan.
Kebahagiaan penduduk Negeri Kapur bertambah dengan kehadiran saya yang tiap petang memberi dongeng anyar. Pikiran mereka seakan terbuka dengan cerita-cerita yang saya suguhkan. O, jangan khawatir! Saya selalu menyelipkan pesan moral di setiap dongeng, dan mereka menerapkan pesan moral tadi, sehingga kian harmonis dan bahagialah hidup mereka. Saya bahagia. Sungguh bahagia. Seakan-akan tiada kebahagiaan lain yang bisa menggantikan kebahagiaan saya manakala berhasil menyampaikan pesan moral pada mereka.
Sayalah Tuan Kasrani!
Pendongeng renta yang sekarang didatangi Malaikat Kematian. Saya katakan padanya untuk menunggu barang satu sampai dua menit sebab saya ingin menyampaikan dongeng terakhir. Malaikat mengangguk setuju. Sekarang dia ada di ruang tamu. Menyeruput kopi dan memelinting rokok sendiri. Maka, dengarkan baik-baik. Ini adalah dongeng yang belum pernah saya sampaikan kepada siapa pun, termasuk pada anak dan istri sendiri:
−
Di pinggir hutan lebat. Sangat lebat. Seakan tiada yang lebih lebat dari rimbunnya pohon yang ada, seorang lelaki membawa sebilah celurit besar yang dikalungkan ke belakang badan. Ia menelusuri jalan dengan mata awas. Bukan takut diterkam singa yang barangkali mengintai dari tengah hutan, atau diawasi buaya yang sembunyi di balik riuhnya sungai, melainkan menelusuri jejak kaki manusia. Ia terpaksa berkeliling sampai tepi hutan karena pohon kopi dan sayur yang ia tanam, rusak diterjang binatang.
Lelaki itu begitu geram. Ini bukan kejadian pertama, melainkan yang kelima kalinya dalam sebulan. Mula-mula ia menyangka binatang. Lama-lama ia tersadar kalau binatang tak kekurangan pangan di dalam hutan. Kini, ia mengikuti jejak kaki manusia yang ia dapati setelah mengamati bekas pijakan di lahan yang ia miliki. Padahal itu lahan warisan ayahnya yang akan dijaga sampai mati.
Dulu, ketika masih berusia lima belas tahun dan adiknya yang dua belas tahun, ia selalu diajak sang ayah mengelola lahan yang penuh gambut. Sang ayah mengajari kedua putranya menanam kopi dan sayur. Jika sayur ditujukan menghidupi rumah tangga dalam jangka dekat, lain kopi yang diinginkan untuk masa depan. Diajarilah pula keduanya mengenal musim dan tanaman apa yang cocok ditanam kala kemarau.
Sebagai anak seorang petani, adik-kakak itu senang mendapati hitam-legam pada tubuhnya sebab bagi mereka, sang ayah adalah pahlawan tanpa gelar. Maka, tidak heran jika mereka saling berlomba menanam. Merawat dan saling membusungkan dada manakala tanaman yang mereka tanam lebih tinggi dari yang lain.
Mula-mula dianggap sebagai sikap kanak-kanak. Lama-lama keduanya memasang tampang persiteruan yang menjelma masalah pribadi. Hingga pada suatu pagi, ketika ilalang setinggi bayangan matahari, keduanya berselisih paham. Celurit yang biasanya dipakai sang kakak tak kunjung ditemukan. Ia menuduh adiknya menyembunyikan. Sang adik tidak diterima dituduh begitu saja. Keduanya bergelut. Sang kakak tak mau kalah. Direbutlah celurit dari genggaman sang adik, ditebaslah pundak adiknya itu manakala hendak mencari perlindungan ketika sang kakak mengejar-ngejar.
Sang ibu begitu marah. Sangat marah. Ia menyalahkan lelakinya karena tidak menghiraukan perasaannya yang melihat persiteruan kedua putera mereka. Ibu itu memilih meninggalkan rumah seraya membawa anak bungsunya yang terluka. Sementara kakaknya, dialah lelaki yang sedang mengikuti jejak kaki di tepi hutan sekarang ini.
Ketika lelaki itu mencoba memasuki dalamnya hutan, sebagaimana jejak kaki yang menuju arah pohon trembesi yang besar, tiba-tiba ia dihadapkan pada seorang lelaki yang wajahnya penuh bulu-bulu kasar. Sangat kasar. Seakan tiada yang lebih kasar dari bulu lelaki di depannya. Maka, demi memudahkan penyampaian cerita, saya akan menyebut lelaki yang menelusuri jejak kaki sebagai lelaki pertama, sedangkan lelaki yang memiliki rambut dan bulu lebat nan kasar itu sebagai lelaki kedua.
Keduanya saling bertatap dan saling menggenggam celurit. Lelaki pertama yang amarahnya kadung sampai ubun-ubun, ia sangat yakin jika lelaki di depannya yang dicari-cari. Seketika ia bergerak maju hendak menebas lelaki kedua. Pun lelaki kedua yang tiba-tiba diserang berusaha menangkis serangan. Tetapi alam berkata lain. Pohon trembesi yang semula tidak condong ke bumi dan batangnya tidak rapuh, tiba-tiba roboh dan menimpa mereka..
Keduanya sama-sama terbaring di atas tanah. Lelaki pertama mengerang kesakitan musabab salah satu batang trembesi mengenai salah satu kaki. Sementara lelaki kedua lebih parah. Batang trembesi yang besar menimpa kedua kakinya sampai pangkal paha atas, sehingga ia tak hanya mengerang melainkan meraung-raung memohon pertolongan.
“Teriak saja sampai esok malam. Kau akan mati pelan-pelan,” kata lelaki pertama mengolok-olok.
Lelaki kedua tak menghiraukan ucapan lelaki di sampingnya. Ia memanggil-manggil, barangkali ada orang yang sedang berburu di dalam hutan.
“Teruslah memanggil. Kalaupun ada orang di sekitar, kau tetap mati. Itulah hukuman bagi pencuri sepertimu.”
“Diamlah, Bedebah!” lelaki kedua bersusah payah mengumpulkan tenaga demi membalas ucapan pahit lelaki pertama. Namun, lelaki pertama tak terima disebut bedebah. Tiba-tiba ia merasa memiliki kekuatan. Tangannya merogoh celurit yang terjatuh tak jauh dari tempatnya terlentang. Lalu ia mengayunkan celurit itu beberapa kali pada dada lelaki kedua. Lelaki kedua kian tak berdaya. Ia pun mati mengenaskan.
Lelaki pertama tersenyum dan ia berhenti tersenyum manakala empat orang yang sedang berburu melihatnya terbaring. Betapa terkejutnya pemburu itu. Mereka cepat-cepat menyingkirkan batang pohon yang menimpa kedua lelaki di hadapannya.
“Bawalah lelaki itu terlebih dulu. Barangkali ada keluarganya yang menunggu,” kata lelaki pertama pada pemburu.
“Dia sudah mati, Tuan. Baiknya kami menolong yang masih hidup.”
“Kau benar. Harusnya aku yang dibawa terlebih dulu karena sesuai protokol kesehatan, orang yang masih bernyawa harus didahului daripada mereka yang telah merenggang nyawa. Tetapi, tidakkah kau lihat, aku masih sehat dan patah tulang di kaki kanan saja? Sedangkan dia? Lihatlah! Kedua kakinya patah bahkan batang trembesi menembus tulang rusuknya. Dia harus cepat-cepat dikuburkan.”
Keempat pemburu saling memandang sebelum akhirnya mengangguk ragu.
“Kau berhati mulia, Tuan. Tunggulah kami sampai membawa pertolongan.”
Lelaki pertama tersenyum. Namun, senyumnya mendadak masam manakala lelaki kedua diangkat dari pembaringan dan hendak ditandu, di saat itulah ia melihat bekas goresan celurit di bagian pundak belakang. Lelaki pertama itu gemigil. Bayangan akan perbuatannya sewaktu remaja kembali hadir.
_
Sayalah Tuan Kasrani!
Pendongeng renta yang sedang didatangi Malaikat Kematian. Dan saya adalah lelaki pertama dalam dongeng yang saya rahasiakan.
Belum ada tanggapan.