wanita-tidak-mau-jadi-boneka

Wanita Yang Jadi Boneka

“Kamu tampak cantik sekali dengan perhiasan ini. Pakailah gaun terindah yang telah aku belikan itu. Hari ini akan ada banyak tamu dari berbagai perusahaan yang hadir. Kamu harus tampak sempurna. Kamu memang wanita tercantik di dunia.” Puji Ardian seraya tersenyum melihat kecantikan istrinya yang sudah dirias oleh seorang penata rias profesional.

Anita, wanita yang menjadi istri Ardian hanya terdiam. Tak nampak gurat bahagia di wajah perempuan umur dua puluhan itu, sekalipun sang suami telah melemparkan puja-pujinya.

“Kok malah cemberut, Mbak! Sepertinya Pak Ardian sangat sayang sama Mbak Anita. Beruntung bisa mendapatkan jodoh sebaik dia. Selain dermawan, Pak Ardian pun sangat tampan dan kaya raya. Andai aku mendapatkan jodoh sesempurna Pak Ardian…” Si penata rias menghayal, dia menghadapkan wajahnya ke langit-langit rumah. 

“Jangan mau punya suami seperti Pak Ardian!” Celetuk Anita setengah berbisik, sebentar matanya melirik ke arah Ardian yang sibuk dengan hape-nya.

“Lah. kok bisa? Emang kenapa?” Penata rias itu penasaran.

“Pak Ardian itu jahat.”

“Masak sih Mbak. Tapi kelihatannya dia baik kok! Ga nyangka…”

“Haha…serius benar dengerinnya. Saya cuma bercanda….saya bilang begitu biar Pak Ardian gak ada yang godain.” Anita memegangi perutnya, dia tertawa terpingkal-pingkal.

Penata rias itu pun ikut tertawa..ternyata kliennya itu cuma mencandainya. 

Anita menghentikan tawanya. Sekali lagi dia melirik ke arah Ardian yang masih sibuk dengan gedget mewahnya. 

“Kamu memang pandai bersandiwara, Ardian! Demi kamu aku juga harus rela bersandiwara, bahkan di depan penata rias ini.” Bisik Anita di dalam hatinya.

Makan malam antar pengusaha di sebuah hotel mewah di Jakarta telah dimulai. Ardian turun dari mobil bersama Anita. Anita melingkarkan tangannya ke bagian lengan Ardian. Mereka tiba di tempat jamuan makan malam  sedikit lebih telat dari partner kerja yang lainnya. Tapi justru itulah yang membuat mereka menjadi pusat perhatian. Kedatangan tamu paling terakhir akan mendapatkan perhatian lebih banyak dari orang-orang yang telah datang lebih dulu. Anita merasa kikuk ketika dia sadar hampir seluruh orang yang ada di ruangan itu menatap ke arahnya. Apa dia tampak sangat jelek? Apa cara berjalannya salah? Atau mungkin ada make-up yang gak serasi dengan wajahnya? Banyak ketakutan yang membumbui perasaan Anita hingga membuatnya bergetar. Ardian merasakan kekakuan Anita. Dia berusaha menenangkan.

“Tenanglah. Jangan bikin malu aku.”

Anita mengangguk. Dengan segala upaya dia berusaha tenang. Dia harus percaya diri, bahwa dia tak kalah cantik dari para tamu wanita yang ada di sana.

“Wah wah…baru kali ini saya melihat Pak Ardian membawa serta Nyonya. Ternyata masih muda dan cantik. Anda memang beruntung. Maaf saat pernikahan kalian saya tidak datang. Kebetulan saya sedang ada di luar negari.” Tiba-tiba seseorang menghampiri Ardian. 

“Bisa aja Pak Wahab ini. Tapi terima kasih. Saya juga bersyukur bisa dipertemukan oleh Tuhan dengan wanita secantik Anita.” Timpal Ardian seraya melirik ke arah Anita. Anita tersenyum. Dia sedikit membungkukan kepalanya ke arah Pak Wahab tanda rasa hormat.

“Salam kenal Bu Anita. Saya Pak Wahab. Rekan bisnis Pak Ardian sejak lama. Dia ini pengusaha muda, usianya jauh lebih muda dari saya. Tapi sudah sangat sukses dengan banyak perusahaan di bawah naungannya.”

Anita tidak menimpali salam perkenalan Pak Wahab. Dia hanya melempar senyum ramah.

“Istri saya ini memang lugu. Jadi mohon maaf jika dia tak banyak bicara. Tapi justru karena keluguannya itu aku jatuh cinta.” Ucap Ardian dengan penuh keyakinan. Pujian Ardian untuk Anita disambut gelak tawa Pak Wahab.

“Bagus Pak Ardian. Anda memang suami yang sangat penyayang. Jangan lupa dijaga terus istrinya. Jangan sampai dia tersakiti.”

“Iya, Pak! Tentu saja saya akan menjaganya sampai akhir hayat saya nanti. Iya kan sayang?” Tanya Ardian seraya meraih pundak Anita. Anita tersenyum kecil, lalu wajahnya menunduk. Tiba-tiba timbul rasa muak terhadap Ardian, ingin rasanya dia membongkar segala topeng Ardian.

Pak Wahab pergi meninggalkan Anita dan Ardian.

“Bersikaplah hangat, jangan membuatku malu. Selalu jaga penampilanmu!” Ucap Ardian dengan wajah penuh ancaman.

“Apa aku pernah membuatmu malu, Ardian?”

“Sudahlah, aku akan menemui tamu yang lainnya. Kamu tunggu dulu di sini!” Ardian pun pergi menjauhi Anita.

Dari jauh Anita melihat Ardian bercakap-cakap dengan seseorang lewat ponselnya. Dia tampak sumringah dengan senyum yang terus mengembang. Anita tahu Ardian sedang menelepon wanita-wanita mainannya. Anita menarik nafas berat. Rasanya dia ingin berlari pergi. Ini adalah kesempatan dia lari dari Ardian. Tapi apa mungkin itu bisa dilakukan sebab Ardian punya banyak pengawal di mana-mana.

BACA JUGA: Wanita Penanti Senja

Anita duduk di kursi paling ujung. Terlihat banyak wanita cantik yang berseliweran dengan senyum yang terus ditebar. Mereka adalah istri para pengusaha. Ya, merekalah sebenar-benarnya istri.  Lalu dirinya, bukankah dia juga seorang istri dari pengusaha sukses bernama Ardian? Tidak. Anita bukan seorang istri bagi Ardian. Anita hanya burung dalam sangkar emas. Di depan orang, Anita akan berkalung berlian namun tatkala tidur akan berbantal lengan.

Fikiran Anita melayang ke masa silam, tepat lima tahun lalu. Anita yang baru berusia lima belas tahun harus ikhlas menerima ujian terbesar dalam hidupnya tatkala ibu bapaknya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Ibu bapaknya yang sedang berjualan di sebuah trotoar tiba-tiba diseruduk sebuah mobil yang lolos rem. Pak Hasan sang pemilik mobil tidak mengalami luka serius, namun balasan atas kecerobohannya dia harus mendekam di penjara untuk beberapa lama. Usai keluar dari bui, Pak Hasan yang sudah tua menunjukan rasa tanggung jawabnya dengan berniat menganggkat Anita sebagai anak angkatnya. Dia berjanji akan membiayai sekolah Anita bahkan Anita kelak lulus S3.  Namun tiba-tiba Pak Hasan yang tak lagi punya istri ini terkena serangan jantung. Dia harus dirawat intensif di sebuah rumah sakit. Mungkin Pak Hasan merasa bahwa ajalnya semakin dekat. Maka berwasiatlah dia kepada Ardian yang merupakan anak semata wayangnya agar mau mengurus Anita dan membiayai segala keperluan hidupnya. Lalu di akhir wasiatnya Pak Hasan berpesan agar kelak jika Anita telah dewasa Ardian harus mau menikahinya. Tujuannya satu, biar Anita tetap menjadi bagian dari keluarganya dan bisa hidup berkecukupan. Sebagai bukti rasa tanggung jawabnya Pak Hasan ingin Anita menikmati harta kekayaannya yang melimpah ruah sampai Anita tua bahkan mungkin sampai Anita mati.

Perjalanan hidup Pak Hasan pun usai, dia meninggal. Sepeninggal Ayahandanya, Ardian hidup bebas tanpa batas. Kelimpahan rezeki membuat dia hidup tanpa aturan. Ardian kerap membawa banyak wanita ke rumah dan mereka menginap di sana. Sang pembantu yang telah berpuluh tahun mengabdi kepada keluarganya kerap memperingatkan Ardian. Ardian yang dulu sangat sopan kini mulai berani membentak pembantu tersebut. Ujung-ujungnya pembantu tersebut keluar dari rumah Ardian. Maka tinggalah  Anita sendiri, gadis kecil yang baru kelas satu SMA.

Ardian yang bebas rupanya dihantui segala wasiat Ayahnya. Di hati terkecilnya dia takut kuwalat jika tak menjalankan wasiat itu. Maka setelah lulus SMA ketika Anita berusia delapan belas tahun Anita dinikahi secara resmi oleh Ardian. Ardian yang kaya raya menggelar pesta yang sangat mewah. Hampir semua rekan bisnis Almarhum Ayahnya dia undang. Pada pesta pernikahan itu Ardian sukses membuktikan kepada semua orang bahwa dia adalah anak yang taat terhadap wasiat ayahnya. Ardian banyak menuai pujian, terlebih di pesta pernikahan itu Ardian memperlakukan Anita layaknya seorang puteri. Ardian memberi Anita mahar perhiasan berlian seharga ratusan juta. Sebuah mahar yang membuat para wanita lain iri.

Usai pesta pernikahan, usai pula segala drama Ardian. Anita Sang Nyonya rumah tak pernah tahu apa itu rasanya malam pertama yang oleh semua orang dikatakan sangat indah. Ardian menarik kembali mahar berlian yang diberikannya. Anita tidak diperkenankan berada di kamar pengantin, dia hanya menempati seuah kamar kecil di bagian dapur bekas pembantu terdahulu.

Dua tahun berstatus sebagai istri Ardian sang pengusaha, dua tahun pula Anita menjadi boneka. Di dalam rumah Anita menjelma sebagai pembantu yang tak tentu gajinya, yang kerja siang malam di bawah tekanan Ardian yang temperamental. Namun di luar rumah Anita menjelma sebagai Si Nyonya yang serba mewah. Ardian kerap membawa Anita jalan-jalan menaiki mobil mewah. Hingga para tetangga memuji nasib baik Anita. Atas saran Ardian, Anita pun kerap mengadakan arisan dan kegiatan amal, sebuah kegiataan yang sengaja di skenario Ardian sebagai topeng kebusukannya.

BACA JUGA: Suamiku Selingkuh, Aku Akan Diam Saja

“Kalau kamu tidak mencintaiku biarkan aku pergi. Aku tidak mau menjadi bonekamu terus.” Ucap Anita pada suatu hari.

“Tidak mungkin. Jika kau pergi reputasiku sebagai anak yang taat terhadap wasiat ayahnya akan rusak.”

“Tapi kamu telah memperbudakku. Aku sudah tak sanggup lagi.”

“Jangan banyak omong dan jangan coba-coba kabur. Aku punya banyak orang suruhan di mana-mana.” Ardian mengancam.

Tiap hari Anita memutar otak bagaimana caranya melepaskan diri dari belenggu. Tapi sekali lagi, kekuasan uang Ardian berada di atas segala-galanya. Jika dia nekad, bukan tidak mungkin nyawanya yang terancam.

Anita memejamkan mata, bayang-bayang kengerian rumah tangganya mengganggu seluruh fikirannya. Ditengah-tengah makan malam ini, Anita menangis. Dia tak sanggup menahan rasa sedih yang menyelimuti segala asanya.

“Kenapa kamu menangis?” Tiba-tiba Ardian sudah berada di dekatnya.

“Apa kamu masih tidak mengerti juga kenapa aku menangis?”

“Aku tidak ingin membahas ini. Bersikaplah seperti biasa. Kita sedang berhadapan dengan para tamu istimewa.”

“Aku tidak peduli. Aku ingin hidup sewajarnya manusia bebas.” Anita pun pergi meninggalkan tempat makan malam itu. Ardian mengejar, tapi Anita menolak untuk kembali.

Kebulatan hati Anita untuk melepaskan diri dari belenggu Ardian tiba-tiba muncul begitu saja. Anita tak lagi takut berhadapan dengan orang-orang suruhan Ardian yang akan menjegal langkahnya. Anita berlari sekencang mungkin. Ardian pun tak kuasa mengejar. Sampai akhirnya Anita lenyap di antara padatnya lalu lintas kendaraan.

Ardian terjebak dalam kebingungan. Bagaimana kalau rekan bisnisnya tahu bahwa istrinya telah pergi? Bagaimana kalau pada akhirnya semua kedoknya terbongakar? Maka habis sudah riwayat kebaikannya sebagai suami yang begitu sayang pada istrinya.

“Kenapa Pak Ardian berdiri di luar sini. Tempat makan malam berada di dalam.” Tiba-tiba Pak Wahab datang dari seberang jalan.

“Oh..Pak Wahab. Kenapa anda juga ada di luar?” Ardian merasa heran melihat Pak Wahab berada di luar.

“ Saya ada perlu dengan sopir saya. Kebetulan dia menungu di warung kecil sana.”

“Kenapa tidak sopirnya saja yang menghampiri Pak Wahab?”

“Sopir saya pemalu, tidak terbiasa dengan suasana yang mewah. Lah..Pak Ardian sendiri mau kemana?”

“Euhhhhh….anu…saya cuma cari angin.”

“Owhhh…..Baiklah Pak Ardian, saya masuk dulu ke dalam. “

Pak Wahab pun pergi meninggalkan Ardian yang sedang terjebak dalam kebingungan yang luar biasa.

Dan di dalam ruangan dinner, Pak Wahab fokus membalas sebuah chat dari seseorang. Bunyi Chat-nya seperti ini:

“Terima kasih Pak Wahab, berkat pertolongan Bapak saya sekarang terbebas dari manusia jahat itu. Saya sekarang sudah berada di bis yang menuju daerah Garut. Di tempat kerabat saya itu, saya akan memulai hidup baru sebagai manusia bebas.”

“Sama-sama, Anita! Andai tadi saya tidak keluar menemui sopir mungkin saya tidak akan bisa menolongmu. Untungnya saat kamu kabur dan berlari keluar tadi kamu mau bercerita tentang masalahmu. Paling tidak saya tahu seperti apa Pak Ardian yang sesungguhnya. Ternyata dia bukan rekan bisnis yang baik. Hati-hati di jalan.” Chat-pun disudahi.

Pak Wahab menutup poselnya. Dia melihat Ardian berjalan lemas memasuki ruang dinner.

“Sepertinya Pak Ardian sedang tidak sehat?” Tanya Pak Wahab seraya menepuk bahu Ardian.

“Saya baik-baik saja, Pak!”

“Lah…Bu Anita kemana?”

“Dia dijemput sopir pulang duluan. Dia tak enak badan”

Pak Wahab mengangguk. Dalam hatinya dia berucap, “dasar pendusta!”

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan