mata-hitam-ciri-khas-lukisan-jeihan

Si “Mata Hitam” Maestro Seni Rupa Indonesia

Riwayat seorang seniman seringkali erat dengan proses kehidupan yang getir. Di dalam kegetiran hidupnya itulah, seniman bisa mengubah keadaan dirinya. Saat ia berada di titik nadir, seniman bisa lebih bersikap lentur, narimo (menerima) sehingga ia bisa bangkit dan mengubah kehidupannya. Ia bisa berubah dari kehidupan yang pinggir, menjadi titik perhatian. Ia juga bisa mengolah dari kehidupan sekitarnya menjadi karya yang membuka mata kita.
Kita bakal menemui kisah serupa pada biografi Jeihan. Jeihan adalah salah satu maestro seni rupa Indonesia. Buku Jeihan, Maestro Ambang Nyata dan Maya (2017) yang ditulis oleh Mikke Susanto merupakan biografi yang menggambarkan kehidupan, pemikiran dan karya- karyanya.

Ia dianggap sebagai penerus pelukis-pelukis awal seni rupa Indonesia pasca Affandi, Basoeki Abdullah, S.Sudjojono, Hendra Gunawan, dan lain-lain. Karya-karyanya dianggap sebagai cerminan dunianya yang di ambang batas. Ia seperti hidup diantara manusia normal dan manusia “gila”. Kegilaannya tak hanya dipengaruhi oleh kreatifitas dan totalitasnya dalam berkarya, tapi juga dipengaruhi oleh riwayatnya yang getir di masa kecil. Di usia empat tahun, ia mengalami jatuh. Dan menyebabkan patahnya satu tulang leher. Karena peristiwa itu, ia divonis tidak boleh bersekolah dan otaknya harus diistirahatkan selama empat belas tahun (h.8).

Setelah usianya mencapai empat belas tahun, ia bergabung bersama Himpunan Belajar Surakarta (HBS). Disana ia mempelajari seni, dan berlatih melukis, ia pun ikut kerja paket untuk mengejar ketertinggalannya di bidang pendidikan. Di masa SMA, tepatnya SMA Margoyudan Solo, ia menyelenggarakan pameran pertamanya. Di masa itulah, timbul keinginannya untuk menjadi seniman profesional. Ia pun melanjutkan di ITB di tahun 1960-an namun tak selesai.

Dalam menciptakan lukisan-lukisan, puisi dan grafis, dan sejumlah patungnya dibuat dengan perasaan yang terkait dengan konsep ruh, peluh dan luh. Ruh adalah spirit atau sukma yang menggetarkan pikiran. Peluh sepadan dengan kerja keras, sungguh-sunggu dalam bekerja. Dan luh, air mata yang mengalir karena derasnya gelombang hidup yang menerpa (h.26). Jeihan tak meninggalkan kejawaan dalam berkarya. Ia menempatkan etos berkarya tanpa melepas ruh atau sisi spiritualitas.

Ada banyak karya-karya lukisan Jeihan, yang dibagi secara tematik oleh Mikke Susanto. Selain menulis tentang dirinya yang digambarkan sebagai sosok yang ringkih, rapuh. Ia juga menulis tema grafis simbolik, mistifikasi, para wali, tokoh-tokoh Indonesia, keramik, hingga para presiden.

Mata Hitam

mata-hitam-ciri-khas-lukisan-jeihan

Judul buku : Jeihan Maestro Ambang Nyata dan Maya
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun : 2017
Penulis : Mikke Susanto
Halaman : 237 Halaman
ISBN : 978-6024-243-357

Hampir lukisan Jeihan yang berwujud manusia menampilkan mata hitam. Mata hitam ini digambarkan sebagai semacam lubang hitam (Black Hole) yang membawa kita pada kedalaman, suatu gambaran tentang jiwa yang dalam. Disamping itu, mata hitam sendiri membawa ciri khas lukisan Indonesia yang ikut serta memberi warna pada seni lukis dunia. Jeihan sendiri selain dianggap sebagai si “mata hitam”, ia juga dianggap sebagai pelukis matahari (putih) yang menggambarkan asal usul cahaya semesta (h.92).

Yang menarik dari Jeihan, selain ia gemar melukis teman-temannya yang kebetulan juga seorang tokoh, ia juga melukis pengalaman spiritualnya terutama saat ia berhaji. Tokoh-tokoh yang pernah ia lukis diantaranya adalah Sutardji, juga Sapardi. Di kalangan seniman angkatan 1960-an hingga 70-an, ia cukup dikenal. Ia pun mengalami kejayaan saat berada di tahun-tahun ini. Sebagai seniman, ia juga ikut serta dalam eksperimen “puisi mbeling”.

Meski di usia yang tak lagi muda, ia masih terus berkarya dan melukis. Ia juga dikenal sebagai seniman yang tak mati ide. Ia terus bereksplorasi dan menunjukkan inovasi dalam karyanya. Patung-patungnya dianggap sebagai figur yang hidup dalam simpang kehidupan yang nyata dan yang maya, antara yang jelas dan tak jelas, antara kemustahilan dan keawajaran. Dalam sebuah perbincangan ia mengatakan bahwa konsep patungnya adalah konsep ambang, antara pra-modern dan ultra-modern. Antara masa lalu dan masa depan (h.194).

Karya-karya Jeihan telah ikut memberi sumbangsih penting dalam sejarah seni rupa Indonesia. Mengalami masa kecil di Solo dan menetap di Bandung, ia mengalami beragam tranformasi ide dan kreatifitas. Kisah hidupnya yang getir di masa kecil berhasil ia lampaui dan membawanya pada kehidupan yang mapan dan ternama. Meski begitu, ia tetap tampil sebagai seniman yang rendah hati, jauh dari penampilan seniman parlente. Ia tak kehilangan identitasnya.

Buku telah menyuguhkan kisah hidup Jeihan dari kecil, hingga ia tua seperti sekarang. Kita juga mendapati kisah pahit getir hidup pelukis ini hingga masa kejayaannya. Dilengkapi dengan contoh karya-karyanya kita bisa menikmati secara visual sebagian dari karya maestro seni rupa Indonesia.
Seni, pada akhirnya telah membawa kehidupan seseorang keluar dari lubang hitam kepada cahaya. Mata hitam seperti menjadi cerminan kegetiran, luka, kesepian, dan kesendirian Jeihan. Melalui mata hitam, ia justru menemukan identitas, menemukan jati diri, dan kembali kepada hidup yang maknawi.

BACA JUGA:


*) Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo, Kepala Sekolah SMK Citra Medika Sukoharjo

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan