sihir-rumah-ibu

‘ Sihir ’ dari Agus Dermawan T

Oleh Budiawan Dwi Santoso

Membaca buku baru dari Agus Dermawan T berjudul Sihir Rumah Ibu: Menyidik Sosial Politik dengan Kacamata Budaya. Buku yang berisi tulisan-tulisan (baca: esai) pernah dimuat di pelbagai media massa ini menyuguhkan pelbagai permasalahan, terutama menyidik sosial politik dengan kacamata budaya.

Agus Dermawan T sebagai kolumnis, kritikus seni rupa, apalagi dikatakan pula oleh Yudhistira ANM Massardi sebagai penyair, dalam menyidik pelbagai masalah tersebut justru memberikan sesuatu hal yang berbeda sehingga dapat menimbulkan kejutan, ketertarikan, kesegaran, dan keunikan tersendiri di hadapan pembaca.

Hal ini bisa kita ketahui dalam esai berjudul Kengerian Sebagai Hiburan. Lewat ini, kita sudah bisa menyadari cara pandang Agus Dermawan T yang berbeda dari para penulis atau pengamat lainnya. Dimana, apabila mereka atau kita sendiri dalam menelisik pertanyaan mengapa kengerian menjadi hiburan, maka hanya dengan mencontohkan game atau pelbagai film horor berdarah-darah yang telah menjadi hiburan dan digandrungi banyak orang, sebenarnya sudah bisa menjadi penjelas terhadap hal itu, maka lain dengan Agus Dermawan T.

Ia justru menelisik lewat sebuah peristiwa (berita) menarik perhatiannya, yakni terjualnya sebuah lukisan The Scream yang dilelang Sotheby’s New York, pada medio Mei 2012 silam, dengan harga 119.922.500 dollar AS atau sekitar Rp 1,1 trilyun. Lukisan ciptaan Edvard Munch pada 1893, yang menggambarkan orang sedang menjerit dengan penuh kengerian di tengah jembatan, dengan hamparan langit merah kuning kelabu yang mencekam, dan selama 100 tahun dinobatkan sebagai simbol utama psikologi rasa takut manusia itu, baginya sudah menjadi penanda fenomena masyarakat yang menggandrungi kengerian dan ketakutan, di tengah kegelisahan ekonomi dan berita chaos politik di berbagai negara.

Bahkan, dengan membaca lanjut esai tersebut, kita akan dihentakkan dengan paparan lain, yang ditambahkan Agus Dermawan T, seperti ini: “Langit itu (langit dalam lukisan The Scream), menurut fisikawan Texas State University Prof. Donald Olson, adalah langit Norwegia yang terimbas debu letusan gunung Krakatau pada 1883. Debu kelam gunung yang menutupi sebagian langit Eropa selama tiga bulan tersebut menjadi kenangan menakutkan bagi Edvard Munch (pelukisnya), sampai akhirnya dilukiskan pada 10 tahun kemudian.”

Tentu, tak hanya itu saja. Esai-esai dalam buku ini juga mengulas tentang pelbagai hal, tetap berkaitan dengan sosial politik, yang tak banyak diketahui atau malahan terabaikan oleh kita. Misalnya, esai-esai yang mengulas pelbagai pertanyaan—sudah terhadirkan dalam buku ini, yakni: Benarkah Istana-istana Presiden Indonesia banyak hantunya? Benarkah nama para koruptor Indonesia justru memiliki makna yang hebat dan sangat mulia? Apa filsafat besar di balik penjungkiran meja di DPR? Lalu, apa alasan Si Peng An mengganti nama jadi Mat Slamet? Dan, mengapa Pilpres 2014 jauh lebih menarik apabila ditatap sebagai komedi?

Lebih lanjut, dari buku yang mengajak kita melihat kembali peristiwa aktual dan lampau ini, ada hal semakin menyadarkan kita, sekaligus tak bisa kita lepas dan pungkiri begitu saja. Yakni, Agus Dermawan T lebih menonjolkan pengetahuan seninya dalam masalah sosial-politik.

Dari sinilah, kita akan semakin mafum bahwa kehadiran seni di tengah-tengah masalah sosial politik, yang ditonjolkan penulis, justru menjadi bukti bahwa seni merupakan hal penting dalam kehidupan kita semua. Sebab, ia (seni), selain mampu menyajikan sebuah momen yang menyenangkan, menghibur, atau yang menawarkan kesempatan unik untuk melakukan refleksi; seni merupakan arena pergulatan batin, konflik-konflik sosial, dan persoalan-persoalan manusia yang lebih padat.

Seni yang dihadirkan oleh penulis dalam buku ini pun, mampu memberi penjelasan pada kita, bahwa ia merepresentasikan ekspresi, kreativitas, sekaligus ideologi seniman maupun pemimpin bangsa (penguasa). Ini seperti halnya, ketika penulis memaparkan karya seni yang dikoleksi enam presiden sejak 1945, yang terdapat dalam esai Rasa Seni Istana Enam Presiden. Dimana, dari esai ini juga, kita bahkan akan mengetahui perubahan seni karena pengaruh pergeseran kekuasaan.

Apalagi, ketika Yudhistira ANM Massardi mengutarakan bahwa dari kumpulan tulisan yang beragam dan luas ini membuktikan kekayaan wawasan dan ketajaman pengamatan penulis, maka, sebenarnya, kita juga akan menyadari, bahwa tak banyak pula dari kita yang mampu memiliki kapasitas pengetahuan dan kesadaran kolektif seperti Agus Dermawan T. Maka, jelas sudah, bahwa buku Sihir Rumah Ibu ini merupakan ajakan terhadap kita untuk kembali pada kesadaran kolektif. Dimana, kesadaran kolektif ini memang sangat dibutuhkan oleh kita semua, untuk memandang, menyidik, bahkan mengatasi pelbagai masalah yang carut marut dalam kehidupan masyarakat ini.

sihir-rumah-ibu-kumpulan-esaiJudul buku      : Sihir Rumah Ibu: Menyidik Sosial Politik dengan Kacamata Budaya

Penulis             : Agus Dermawan T

Penerbit           : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta

Cetakan           : I, Maret, 2015

Tebal               : x + 317 Halaman

, , , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan