spontanitas-menulis-puisi-egi-sugianto

Spontanitas Menulis Puisi?

Puisi tak selalu harus ditulis dengan terburu. Ada kalanya, ide, tak selalu bisa langsung ditulis. Tetapi boleh jadi spontanitas adalah kekuatan. Kita bisa menelisik bagaimana Rumi menulis Matsnawi. Ada intensitas, kedalaman, kekuatan dan daya dobrak disana. Dari sana kita merasakan bahwa meski Matsnawi ditulis ibarat wahyu, tak bisa diulang, tapi ada pengendapan yang jauh sebelumnya telah menubuh di Jalaluddin Rumi.

Para penyair menanggung resiko dari ketergesaan ini dalam dua hal. Puisi atau sajaknya penuh spontanitas dan energi, atau sebaliknya, kata-kata yang spontanitas itu baru memotret yang luar dari sebuah realitas. Terlebih ketika kita memasuki puisi yang berbau religiusitas. Perkara atau tema ini tak melulu gampang ditulis. Ahmad Mustofa Bisri, boleh dibilang sebagai salah satu penyair yang sering mengurusi tema ini. Penyair yang lain adalah Abdul Hadi.W.M juga nampak dengan puisi-puisi bertema religi. Taufiq ismail juga termasuk yang berevolusi dari puisi-puisi yang dekat di sekelilingnya berubah menjadi tema religi.

Apa yang membedakan antara puisi dengan doa?. Dalam puisi, kita bisa berdoa dengan cara yang lebih dalam, lebih universal. Sehingga wajar kalau kita sering menemukan diksi seperti Tuhan, Penguasa, Kekasih, dengan kiasan yang umum dan lebih menyentuh. Sehingga puisi lebih nampak seperti suluk, tembang daripada doa yang kaku selepas shalat. Kita bisa menyimak puisi Emha di buku berjudul 99 untuk Tuhanku (2015) 36 : Tuhanku/ kukira telah tiba saatnya/ Kau musnahkan segenap setan/ sebab kami telah pandai/ menciptakan setan-setan/ di dalam diri kami/ tanpa bantuan para setan.Nampak sekali di puisi Emha, doa bisa mengandung protes, sebuah ungkapan dari ketidakterimaan dan kemarahan.

Kita bisa menengok puisi-puisi Egi Sugianto (Esug) di buku ini yang rata-rata berisi doa dan bernuansa religiositas. Disana kita bisa melihat ada keterbukaan, hampir-hampir klise. Diksi-diksi yang dimainkan penyair teramat terang dan gamblang. Doapun lebih mirip dengan berkata-kata biasa. Saat itulah, kemudian penyair terjebak menangkap yang nampak, bukan yang zahir. Menyibak pasir putih di atas hamparan pantai/ melukis masa depan/ semoga bermuara kesuksesan (Doa Pantai). Bisa saja kita menggantikannya misalnya dengan ungkapan yang lain yang lebih zahir.  Dalam debur dan kecipak tangan-Mu, aku mandi tanpa sabun/ dalam siraman cahayamu, aku tenggelam dalam tafakur.

Ada kecenderungan dalam setiap puisi di buku ini, penyair memang seperti tak melakukan refleksi lebih dalam. Ia seolah hanya menangkap yang nampak dan menuliskannya. Menulis puisi kemudian menjadi seperti menulis diary. Tiba-tiba sunyi!/ gunung-gunung tak mampu bernyanyi/ gurun bertasbih lirih/ langit cerah tanpa cela/ bumi seketika indah bercahaya (Nabi pun Belajar Agama). Dari sisi judul, hal ini sudah tak mengenakkan sama sekali. Apalagi ketika kita melihat bahwa yang dimaksud adalah peristiwa lahirnya wahyu pertama yang bisa kita baca dengan gamblang dan terang.

Pada puisi-puisi yang lain pun kita bisa menemukan contoh serupa. Bagaimana penyair lebih nampak sebagai seorang yang tergesa menulis puisi. Pagi ini kunyalakan niat untuk menjadi yang terbaik (Nyalakan Niat). Bersama malammu aku berzikir (Zikir malam). Dari contoh-contoh itu nampak sekali, Esug hanya memindahkan suasana dengan peristiwa semata. Hampir-hampir tak ada metafora yang memadai dalam puisinya.

Mungkin penyair bisa berdalih dengan alasan sederhana dan lain hal, tetapi sekali lagi, puisi bukan sekadar mengungkap, ada kedalaman dan perasaan yang mesti dipantulkan saat pembaca membaca puisi. Bila diawal pengantar penulis sudah menjelaskan bahwa akronim dari API adalah Alunan Puisi Ilahi, mestinya puisi-puisi ini lebih nampak seperti puisi Rumi, yang orang menyebutnya sebagai Kidung, atau Nyanyian.

Menulis puisi, bukan sebuah usaha yang mudah. Perlu ketekunan, keuletan dan kedisiplinan. Selain itu, untuk menulis puisi bertema religiositas yang baik, kita memerlukan membaca sebanyak-banyaknya para penyair dalam maupun luar negeri. Dengan begitu, penyair makin kaya dengan khazanah kata yang memadai, dan mampu menuliskan puisinya dengan baik.

Pada endorsment sampul misalnya Jamal D Rahman saya kira benar. Ia menyebut sebagian dari puisi Esug sebagai sebuah pergolakan diri, dan respon terhadap yang diluar dirinya (penyair). Dari sinilah kita berharap di tahun-tahun berikutnya, Esug lebih kaya akan diksi dan metafor yang baik dalam menuliskan puisi bertema religiositas.

Teramat sayang ketika tanah Madura yang penuh dengan keindahan alamnya tak bisa ditangkap dengan jeli oleh penyair dalam puisi-puisinya. Saya kira keadaan alam madura dan pergeserannya ke kota membawa diksi yang kaya dan lebih beragam. Inilah saya kira harapan yang mesti kita sampaikan kepada penyair Edi Sugianto.

Banyak penyair kita dari Madura tak menyia-nyiakan latar belakang kultural mereka dari desa, serta dari pesantren mampu menuliskan dengan baik tema religiositas. Saya rasa usia penyair yang masih muda masih menyimpan daya dobrak dan semangat dalam belajar puisi lebih jauh. Sebagai buku perdana, tentu saja buku ini bisa diperbaiki dengan puisi-puisi yang akan datang.

*) tuan rumah Pondok Filsafat Solo, kontributor bukuonlinestore.com

, , , , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan