nasehat-jalaludin-rumi

Bersahabat dengan Nasehat

Judul   : Fihi Ma Fihi

Penulis : Jalaluddin Rumi

Penerbit: FORUM Grup Relasi Inti Media

Tahun Terbit: 2016

Cetakan: viii

Tebal Buku: 530 Halaman

ISBN   : 978-602-310-003-3

 “Bagaimana bisa kamu menginginkan hanya ada satu agama? Agama tidak akan pernah menjadi satu kecuali di akhirat kelak, pada hari kiamat. Di dunia ini, ketunggalan agama adalah hal yang mustahil”

Inilah salah satu kutipan Maulana Rumi yang secara tidak sadar ditujukan kepada masyarakat Indonesia saat ini. Sebuah nasehat keras namun dikemas dengan bahasa ringan. Hal ini tidak terlepas dari kearifan beliau dalam mengolah bahasa kehidupan dari berbagai sudut pandang.

Rumi adalah seorang filsuf yang akan dikenang sepanjang zaman. Karya-karyanya telah diunggah ribuan manusia khususnya bagi mereka yang haus akan kebajikan. Membaca karya Rumi, seakan menemukan oase di tengah gurun yang gersang. Amat sejuk dan jauh dari hingar bingar saling membenci.

Fihi Ma Fihi adalah salah satu karya monumental Rumi selain Matsnawi. Di dalam buku ini, Anda akan disuguhi pelbagai nasehat yang dikemas dalam bahasa manusia. Kendati kebanyakan pembahasannya berbentuk prosa, namun percakapan Rumi dengan salah seorang lelaki yang memiliki kedudukan tinggi di birokrasi pemerintahan Seljuk Romawi, nampak mencerminkan kepribadian beliau yang kaya akan pengetahuan.

Sepertinya, tujuan pokok dari karangan Rumi ini yakni mengenalkan tarbiyah rohani pada manusia agar ia mengikuti apa yang dikehendaki Allah, Tuhan semesta dan jagat raya ini tercapai. (Hal. 19). Sebagaimana nasehatnya kepada manusia dalam mencapai suatu tujuan, Maulana menyatakan bahwa seseorang tidak bisa serta merta menjadi cendekiawan lantaran ia mengenakan jubah dan sorban. Esensi dari sifat kecendekiawanan yang ada dalam dirinyalah yang menjadikannya sebagai seorang cendekiawan. Entah ia mengenakan penutup kepala atau jubah, tidak akan merubah apapun. (Hal. 202).

Tentu, ucapan Maulana Rumi tak serta merta keluar tanpa memiliki maksud dan tujuan. Selama ini, manusia rentan ditipu dengan penampilan yang dikenakan seseorang. Bahkan, banyak orang yang sengaja dijadikan korban penipuan uang beranak. Seperti kasus Kiai Kanjeng di Probolinggo beberapa waktu lalu. Dengan memakai surban dan jubah ajaibnya, banyak orang tertipu lantaran melihat sang Kiai mengeluarkan uang secara terus menerus melalui jubah yang dikenakan. Jadilah mereka menyetorkan uang agar beranak.

Padahal, uang tak serta merta bertambah jika tak bekerja. Ia akan tetap seperti sedia kala bahkan justru akan berkurang saat Anda tak bekerja. Inilah salah satu bukti mengapa Maulana Rumi menyatakan nasehat tersebut. Agar manusia tak senantiasa memanipulasi diri untuk mencapai suau tujuan.

Oleh karenanya, buku setebal 530 halaman ini, tidak lagi berisi nasehat yang berat untuk dicerna. Selain bahasa yang digunakan terasa ringan, Rumi juga menyertakan perumpamaan-perumpamaan untuk memudahkan topik yang sedang dibahas. Sebagaimana anjurannya agar dalam nasehat-menasehati, kita harus menggunakan bahasa yang baik. Ia menyertakan perumpamaan dari seorang guru yang mengajari muridnya menulis. Ketika si anak menyelesaikan satu baris, ia menulis satu baris lagi dan menunjukkan hasilnya kepada gurunya. Di matanya, semua tulisan anak itu salah dan jelek, namun dengan bahasa yang ramah dan menyenangkan hati sang anak, ia berkata: “Bagus sekali. Tulisanmu sangat luar biasa. Selamat. Selamat. Tapi kenapa kamu tidak menulis huruf ini dengan baik. Ini seharusnya ditulis begini, dan huruf ini seharusnya juga begini.” (Hal. 298)

Lihat! Dengan bahasa yang nyaman didengar, chemistry antara sang guru dan muridnya akan didapat. Dengan nasehat yang santun, sang murid tadi akan belajar dari kesalahannya sehingga menjadi pribadi yang kuat. Sebab sang guru memuji anak itu sehingga hati si anak tidak pesimis apabila melakukan kesalahan.

Inilah nasehat-nasehat Maulana Rumi yang tidak menjemukan. Tidak heran jika beliau menjadi salah satu ahli sufi sekaligus penyair yang termahsyur sampai saat ini. Kendati beliau telah wafat pada tahun 1258 Masehi, karyanya akan tetap menjadi obat bagi mereka yang rindu akan Sang Pencipta. Bahkan, Abdurrahman Jami’ memuji Rumi sebagai penyair bijak terbesar di abad 7 Hijriah. “Ia bukan seorang Nabi, tetapi ia menerima kitab suci.” (Hal, 21)

Namun, sang Maulana tak mau terbuai dengan beragam pujian yang diberikan padanya. Baginya, sebagus dan secemerlang apapun buah pikiran, tidak akan lebih hebat dari buah pikiran sang Nabi. Jadi, jangan terlalu mengandalkan akal dan pikiran. Jadilah orang yang terus menerus mengemis dan takut di hadapan Allah SWT. Tujuanku hanya menyampaikan hal ini. (Hal. 33). Sungguh, sudah seharusnya segala apa yang kita lakukan agar senantiasa diniatkan untuk Allah semata. Bukan yang lain. Wallahu A’lam Bisshowab.

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan