Bicara

“Gi, Pulang!” suara khas ayah yang sering terdengar, setiap kali terlihatnya aku sedang asyik bergumul dengan remaja yang tinggal di sekitar perumahan. Padahal hanya bertegur sapa–tak lebih. Lagi pula aku kenal sebagian remaja yang bergerombol di depan gang ini dan mereka orang baik.

 “Agi!” gertak ayah yang masih menungguiku tak beranjak dari gerombolan. Tatapan tajamnya membuat remaja di sekeliling menatap heran. Apa yang membuat ayah selalu bersikap begitu? Padahal aku tak membuat masalah hingga perlu mendapat perlakuan demikian.

 “Bukannya langsung pulang malah nongkrong enggak jelas, mau jadi apa nanti kamu!” belum sempat melangkah masuk rumah, ayah masih saja melontarkan kemarahannya.  Ternyata dia menunggu dan baru masuk setelah ibu menyambut. Aku hanya bergeming tak ingin menambah kekesalannya. Sekalipun akan melawan, sudah jelas aku tidak akan menang.

“Gimana sekolahnya Bang? Maaf ya ibu tadi enggak bisa jemput,” tuturnya sembari menerima uluran tangan kananku.

 Benar, seharusnya ibu yang menjemput. Namun setelah hampir satu jam menunggu, ibu bilang dia masih menemani adik yang merintih sakit perut dan membawanya ke dokter. Lantas apakah perlu melampiaskan kekesalan pada ibu? Ah! Mana mungkin.

 “Iya enggak apa-apa Bu.” ungkapku yang entah mengapa selalu tenang setelah menatap wajahnya. “Dista bagaimana?”

 “Itu di kamar, biasalah masalah perempuan” aku hanya mengernyit tak paham. Wanita perkasa itu mengelus pundakku sambil terseyum, tandanya adik perempuanku baik-baik saja.

 Tak banyak yang kulakukan di rumah selain belajar untuk mengulang materi yang didapat dari sekolah. Ya mungkin terlihat aneh, anak laki-laki kelas sebelas lebih banyak menghabiskan diri di kamar daripada keluyuran. Itupun kupilih bukan tanpa sebab, ayah bilang jangan neko-neko dan ibu bersependapat.

 “Eh minta uang ceban dong,” aku yang saat itu sedang mengerjakan tugas sekolah hanya sepintas menatapnya datar. Terlampau hafal gelagatnya menjelang petang, dengan mencangking helm tiap sabtu malam.

 “Pelit amat sih lu jadi abang. Mana?” pintanya sembari bersandar di pintu.

 “Mau kemana Bi?” tanyaku sembari menyerahkan uang kertas berwarna merah keunguan. Tak perlu diminta tangannya gesit menerima. “Mau kemana?”

 “Biasalah. Makasih ya, entar gue balikin.” belum sempat menanggapi, dia sudah hilang. Seketika aku bingung, apalagi alasan yang bisa menjawab pertanyaan ayah nanti? Sudah jelas dia tak berpamitan pada ibu apalagi ayah. Adik yang satu ini selalu berhasil menempatkan abangnya pada hal rumit saja!

Benar, ayah langsung bertanya setelah mendapati Abi tidak ikut saat makan malam. Rona tajam yang selalu terpaut di wajah ayah membuatku tak bisa menjawab. Bukan hanya takut salah bicara, hari ini sudah satu kali menciptakan amarahnya dan bisa saja kali ini tidak selamat seperti dulu. Saat pertama kali Abi pergi entah ke mana.

 Ayah bukan hanya menceramahiku yang tak becus mengurus adik. Katanya sebagai kakak, harus lebih pengertian dan mencoba membujuk agar tidak kelayapan. Apa bisa membujuk adik kembar yang memiliki kepribadian berbeda itu? Mimik ayah semakin merah mendengar pembelaanku yang tak berarti. Sejak saat itu, makan malam tidak pernah bisa kunikmati.

 “Kenapa sih Bu, ayah selalu begitu?”

 Dista mulai buka suara setelah ayah memilih untuk istirahat di kamar. Ibu yang saat itu sedang membereskan meja makan cukup terkejut; gadis kecilnya yang selama ini diam mulai memberanikan diri menyuarakan isi kepala.

 “Mungkin ayah sedang khawatir, sayang. Bang Abi jarang ada di rumah ‘kan?”

 “Tapi kenapa ayah selalu menyalahi Bang Agi?”

 Sekonyong-konyong anak kelas tujuh itu menghujami ibu hingga tak berkutik. Aku yang belum beranjak sesentipun, sebenarnya ingin tahu pula jawaban yang akan dituturkannya. Namun tak setega itu; ibu tidak bersalah.

 Sebenarnya pertanyaan tentang perlakuan ayah sempat kutanyakan pada ibu, dia menjawab mungkin ayah sedang lelah setelah seharian mengajar. Aku pun tak memungkirinya sebab ayah memiliki tanggung jawab lebih dalam keluarga. Akan tetapi pernyataan ibu bukanlah jawaban. Bilapun berbicara soal lelah atau tidak, aku juga demikian. Namun nyatanya lelah ini bukan karena banyaknya aktivitas di sekolah. Akan tetapi lelah sebab selalu disalahkan ayah tanpa penjelasan.

 Keesokan harinya aku pergi ke toko buku di kota. Saking asyiknya, sampai lupa waktu dan baru pulang sore hari. Dalam perjalanan pulang aku mulai cemas sebab hari minggu, pasti anak-anak sekitar perumahan tengah berkumpul di depan gang seperti biasanya.

 Tepat membuka pintu gerbang, suara bising motor mulai mengusik. Syukur aku sampai di rumah sebelum balap liar itu dimulai. Namun perasaan lega berubah, karena balap motor itu terlihat sangat mengganggu ayah yang sedang membaca koran di beranda.

 “Ngapain sih mereka seperti punya banyak nyawa saja!” terdengar omelan ayah sembari masuk rumah. Aku tak berniat menanggapi dan melanjutkan membaca buku yang tadi kubeli di kamar.

 Saat menjelang makan malam, entah mengapa aku merasa ada yang janggal. Padahal semua baik-baik saja. Sekarang minggu malam, kurasa Abi tidak akan neko-neko sebab besok harus sekolah. Dista? Gadis kecil itu juga jarang keluar malam dan lebih sering duduk di depan komputer, lantas perasaan apa yang mengganggu kali ini? Apa karena suara bising di luar yang sedari tadi belum juga berhenti?

 “Mana Abi?” tanya ayah renyah.

 “Mungkin masih ada di kamar, yah” imbuh ibu sembari menyiapkan meja makan.

“Tumben mereka sudah berhenti?”sindir ayah kepada anak-anak balap liar di luar.

 “Bukannya enak yah, kita makannya jadi tenang?” balas Dista yang berhasil mencairkan suasana. Senyum ayah cukup mengembang begitu juga ibu, tapi tidak denganku. Sebab seketika ingat, tadi Abi sudah keluar dari kamarnya.

Tak lama kemudian terdengar beberapa orang mengetuk gerbang. Suasana riang kala itu berubah menjadi tanda tanya besar keluarga, mengapa dan ada apa gerangan? Akhirnya aku memutuskan keluar dan sungguh terkejut melihat Abi dipapah dengan beberapa luka di tubuhnya.

Seharusnya peristiwa ini bukan masalah besar, Abi tidak ikut balap liar seperti yang kukhawatirkan, dia kecelakaan saat akan berangkat bermain dengan temannya. Namun jangan ditanya reaksi ayah saat mengetahui hal itu. Setelah warga yang menolongnya pulang, ayah meminta untuk bicara.

 “Maksud peristiwa hari ini apa Gi?” ternyata ayah tidak berbasa-basi. Aku diam dan hanya menggeleng sembari duduk–gugup. “Kenapa tidak tahu, kamu abangnya” lanjut ayah dengan nada mulai meninggi. “Jawab!” aku tetap bergeming.

 “Yah, jangan keras sama anak-anak.” potong ibu dari kamar Abi sembari membawa kotak obat.

 “Mulai bisu ya?” lanjut ayah tak menghiraukan ibu.

 “Kenapa selalu Agi?” jawabku sedikit ragu. Aku yang awalnya menunduk takut memberanikan diri menatap mata ayah. “Apapun yang terjadi dengan Abi kenapa Agi yang selalu menanggunya, yah!” ucapku reflek sambil berdiri. “Apa Agi dilahirkan hanya untuk menjaga Abi? Agi juga anak ayah!” perkataanku kali ini berhasil menyulut amarahnya. Ayah langsung menarik kursi dan berdiri menatap tajam.

 “Kurang bersyukur kamu ya!” jawabnya sembari mengambil langkah dan beberapa detik terlihat tangannya sudah siap hinggap ke wajahku.

 “Dia bukan Rian, yah” sambung ibu sembari melindungiku. Ayah tergugu setelah mendengar pernyataan itu. “Dia bukan Rian” lanjutnya dengan suara sembab, sedangkan ayah langsung terduduk. Tak ada lagi perdebatan dan ibu membawaku ke kamar. Sebenarnya apa yang terjadi?

 Di dalam kamarku ibu hanya sesekali mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri  dan seolah tidak ada masalah besar. Apapun yang terjadi, ibu berupaya menyembunyikannya. Namun aku butuh penjelasan.

 “Abang ingat Bang Rian?” ungkap ibu setelah sedikit tenang. Sudah kucoba beberapa kali untuk mengingat nama itu, tapi tak sedikitpun yang terlintas dipikiran ini. Ibu yang mengerti kebingunganku, lalu  melanjutkan.

 “Bang Rian salah satu siswa terbaik ayah. Dia sangat dekat dengan ayah bahkan dulu sering berkunjung ke rumah. Sesekali Bang Rian juga bermalam sambil menemani kamu dan Abi. Namun anak seusia Rian saat itu memiliki banyak keingintahuan, ikut itulah yang sanalah, sampai disuatu titik Rian salah pergaulan dan mulai jarang berkunjung.

Tak lama ayah sering mendapatkan banyak laporan dan peringatan, bukan hanya dari sekolah bahkan dari satpol pp kota, perilaku Rian dan teman-temannya sangat meresahkan, tiap malam buat gaduh, kadang balap liar.Tentu saja ayah sering menasehati, tapi sudah telanjur bebal.

Hingga suatu ketika ayah mendapat kabar kalau Bang Rian meninggal karena kecelakaan tunggal saat balap liar. Ayah amat kehilangan siswa terbaiknya. Berawal dari peristiwa itu ayah mulai menyalahkan diri karena tidak bisa menjaga Rian. Sebagai orang tua, ayah merasa gagal. Itulah mengapa ayah bersikap begitu, Bang. Ayah bukannya tidak menyayangi Abang.”

Awalnya kukira ibu hanya memberikan spekulasi, tapi saat mencoba menilik kilas balik tentang ayah; aku mulai mengerti. Seperti halnya kata ibu, ayah tidak tahu cara mengutarakan perhatian dan kekhawatiran kepada anak-anaknya. Mungkin ada benarnya pernyataan itu, tapi aku sama sekali belum setuju. Bagaimana bisa perlakuan itu disebut sebagai bentuk kasih sayang?

 Nyatanya aku benar-benar tak memahami ayah. Kupikir dia hanya menyayangi Abi hingga perlu dipantau setiap saat. Apapun yang dilakukan Abi, kesalahan Abi, harus aku yang menanggungnya. Kalau tidak salah mengartikan pernyataan ibu dan perlakuannya selama ini merupakan bentuk percaya ayah padaku. Ternyata selama ini aku selalu salah mengartikan apapun tentang ayah. Seandainya dilakukan dengan cara yang berbeda, seandainya ayah mengungkapkannya–mungkin aku akan berupaya lebih memahaminya.

 “Ayah tidak tahu cara mengungkapkannya, Gi” bujuk ibu, tapi aku tetap tak mengindahkannya. Kulihat ibu khawatir karena tak ada satu pun respon dari pernyataannya.

“Gi?” tatap ibu sekali lagi, lalu aku memeluknya dengan erat. Lantas satu hal lagi yang baru kusadari bahwa kami hanya perlu bicara untuk saling memahami.

Seorang Pelacur dan Ibu Pengemis di Jalanan

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan