Seorang Pelacur dan Ibu Pengemis di Jalanan

Aku begitu takjub memandang peristiwa yang terjadi di depanku. Mataku terpana menyaksikan iblis beruban putih menampar pipi malaikat berwajah sendu. Bibirnya yang hitam legam menjulurkan lidahnya yang bercabang. Sementara malaikat yang aku anggap makhluk paling sabar ternyata roboh jua imannya. Matanya menyala. Tangan kirinya menuding-nuding mata iblis yang bulat nan juling itu.

“Tidak bisakah mulutmu itu puasa sehari saja? Kau itu lelaki, Karman! Harusnya kau cari rezeki. Bukan malah menghabiskan uangku buat judi.”

Ketika si malaikat berkata begitu, aku kira si iblis tua akan berkacak pinggang. Atau setidak-tidaknya menambah jumlah tamparan. Tetapi aku salah dugaan. Ia tak menghiraukan amukan malaikat, justru ia duduk di tepi jendela yang tak pantas disebut jendela layaknya di rumah-rumah yang aku lihat di sepanjang jalan.

Aku tak tahu. Apakah keduanya memang ditakdirkan selalu mengeluarkan amuk perang setiap saat, layaknya Majapahit dan Sunda yang tak bisa bersama. Ataukah pertengkaran adalah cara keduanya menyatukan tabiat yang berbeda?

Yang bisa aku pastikan, bapak selalu menyusu pada ibu terutama soal uang. Pernah suatu malam, bapak datang dengan aroma mulut yang memuakkan. Aku yang tengah lelap tiba-tiba terbangun karena ia mengendus-ngendus pipi, sementara ibu yang terlelap di sampingku tetiba terbangun mendengar suaraku yang ketakutan. Ibu kemudian merangkul tubuhku dan menyuruh bapak tidur di luar.

Pada bapak, aku pernah berbuat usil sekali. Kau tahu apa yang aku lakukan? Pagi itu aku sengaja melumuri ayam jagonya dengan tahiku sendiri. Bapak mencak-mencak tak karuan. Ia mengeluarkan sumpah-serapah dan aku tertawa berguling-guling dari balik jendela kamar ketika bapak memandikan ayam jagonya dengan mulut mual-mual.

Kekacauan yang dihasilkan bapak tak berhenti di sini saja. Lelaki itu kerap mengutang di warung Miryah, dan pemilik warung itu akan menagih pada ibu serupa anjing mendengus daging. Tak akan melepas incaran sebelum keinginan tercapai. Ibu mengelus dada ribuan kali. Dan ia akan memaksaku memelas seribu kali.

Di perempatan lampu merah inilah, tempatku menemani ibu bekerja setiap hari. Menengadahkan tangan pada pengendara. Memasang tampang sedih yang luar biasa. Ingin sekali aku bertanya pada ibu tentang apa saja. Hanya saja, mulutku tak diperkenankan padahal aku ingin sekali mengeluarkan kalimat, “Ibu, mengapa tangan pengemudi yang memberi kita rezeki selalu memilih-milih lembar uang yang hendak diberi? Tidakkah ia memilih lembar berwarna merah bergambar pahlawan bukan uang logam seribuan?”

Aku tidak pernah tahu, apakah ibu berlaku begitu sejak aku berada di dalam kandungan atau tidak. Atau mungkin, ia memang begitu sejak masih kecil saat seusiaku? Aku tak pernah tahu akan masa lalu ibu. Ia bakal membungkam mulutku bila kubertanya soal masa lampau, soal masa-masa kehidupannya saat kecil.

Aku hanya ingat kalau aku pernah didekap erat-erat. Sungguh, saat itu aku menikmati kehangatan pelukannya sebagaimana kenyamananku berada di rahimnya yang penuh kegelapan. Namun, pernah suatu hari ibu tak menerima uluran tangan. Padahal terik matahari mulai condong ke arah barat. Ia tak mau kehilangan akal. Aku yang tengah lelap dicubitnya dalam-dalam. Aku yang tersentak sontak menangis sesegukan. Lalu-lalang orang-orang yang baru pulang kerja membuahkan hasil. Mereka menyerahkan berlembar-lembar uang sebab melihatku menjerit tak karuan.

Apa kau tahu apa yang terjadi usai adegan itu? Ibu membelikanku banyak makanan. Ia pun meminta maaf dan berkata tak akan mengulangi perbuatannya. Sebagai anak yang melihat perjuangan ibunya mencari makan, tentu aku memaafkan kesalahan yang diperbuat kendati bekas cubitannya tak menghilang berhari-hari.

Begitulah aku menjalani hari-hari. Ibu yang serupa malaikat karena selalu memberiku banyak makanan, dan bapak yang tak ubahnya iblis iri melihat hidup kami nyaman. Anehnya, akhir-akhir ini justru bapak bersikap layaknya malaikat dan ibu bertinglah layaknya iblis. Aku tak tahu, apakah iblis dan malaikat bisa bertukar tempat, tetapi keduanya benar-benar berbeda sikap.

Ibu kerap uring-uringan manakala pendapatannya mengecil. Meski aku berusaha tak berbicara, meski aku tak lagi digendong seperti saat kecil dulu, ia kerap menyalahkanku karena aku tak lagi menarik minat tuan dan puan pengemudi. Malah bapak yang dulu tak peduli, kini sering membawakan aku makanan.

Aku tak berani bertanya apakah ia mengutang atau membeli di warung Miryah. Ia juga sering mengajakku ke arena sabung ayam di dekat sungai. Ia juga sering mengajakku ke tempat judi di ujung gang. Memang, di tempat itu, bapak tak bermain bola sodok atau kartu untuk memperoleh uang. Ia cukup duduk di luar pintu, dan aku disuruhnya masuk ke dalam bilik yang gelap.

 Awalnya aku ketakutan. Aku takut menemui para lelaki dewasa di dalam. Namun, mereka lembut dan tak pernah kasar. Mereka memangku tubuhku, lalu meraba selangkangan. Mula-mula aku ketakutan. Mula-mula aku gemetar ketika celana dalamku diturunkan. Aku hanya terdiam kala jemari mereka bermain-main di kelamin. Sayangnya, lama-lama aku menikmati permainan. Lama-lama aku ketagihan ketika salah satu bagian tubuh mereka mengayun di dalam sementara aku mengangkang.

Aku yakin, jika ibu mengetahui apa yang diperbuat bapak, ia kian beringas dan mencak-mencak. Aku tahu, ibu sangat menjunjung tinggi anaknya. Tetapi aku juga tahu cara memperoleh uang lebih cepat dan lebih nikmat dibandingkan berpeluh-peluh di sepanjang jalan. Moga-moga aku tak ketahuan ibu yang kasih sayangnya padaku mirip kasih sayang Tuhan pada Nabi.

                                                                           ***                                      

Malam itu, aku saksikan ibu dan bapak bergerumul di bawah selimut. Aku tahu tujuan keduanya memadu kasih kembali. Bagi ibu, janin adalah surga yang mesti dilahirkan. Dengan begitu, ia bisa kembali meraup rezeki di jalanan. Entah untuk bapak. Barangkali ia juga menginginkan kelahiran orang lain di rumah kecil ini. Jika perempuan, mungkin bisa meneruskan apa yang telah ia perjuangkan. Jika lelaki, mungkin akan diajarinya berjudi.

Sejak peristiwa itu, aku tak lagi memerhatikan tingkah keduanya. Mengingat, perut ibu kian melembung dan bapak kian gemar menyabung. Sialnya, ini adalah neraka awal untukku. Keadaan ibu yang tak memungkinkan keluar, membawa sengsara untukku. Ia kerap menanyaiku yang kerap keluar malam. Ia mencurigaiku ketika aku mulai memakai lipstik dan bedak tebal. Ia tak suka. Begitu tak suka. Ia marah manakala kebiasaanku terbongkar. Ia menuding-nudingkan jemarinya tepat di depan hidungku.

“Aku memang mendidikmu dengan cara minta-minta, Ratni. Aku juga mengajarimu dengan menengadahkan tangan pada orang-orang. Tapi aku tak pernah mengharapkan dirimu jual selangkangan. Tidakkah kau paham kalau itu harapan terbesarku padamu?”

Aku tidak suka ibu berkata begitu. Aku memutuskan keluar rumah dan tak kembali. Namun, ucapan ibu menjelma rembulan. Sebagaimana rembulan, ia selalu mengikuti bayangan kaki ke mana pun pergi. Ia selalu mengintai tiap kali aku melangkahkan kaki malam-malam. Sialnya, itu betul-betul menyebalkan. Rembulan itu seakan berbisik tiap kali aku mendesah di balik bilik. Rembulan itu memanggil-manggil manakala bagian tubuhku diterjang hingga menegang. Rembulan itu sesegukan manakala aku mengerang padahal itu sebuah kenikmatan. Namun, rembulan itu tersenyum saat aku berkata, “Berhentilah mengikutiku, Ibu! Mulai sekarang, aku akan berhenti jadi perempuan jalang.”

Baca Juga: Surat yang Tak Diharapkan 

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan