Bilal, ia tak hanya nama. Dikenang oleh muslim maupun non muslim sejagat. Ia dikenal bukan dari kulit hitamnya, bukan pula karena ia seorang budak. Bilal adalah simbol. Simbol dari kegigihan iman dan suara seorang hamba yang memuji Tuhan-Nya. Muhammad memanggilnya sebagai ahli surga. Namanya dipuji tak hanya oleh penghuni bumi, tapi juga oleh penghuni langit. Diriwayatkan kala itu Ali masih kanak-kanak, memegang tangan Nabi. Paman, mengapa engkau menangis? tanya Ali, Apakah ia orang jahat? Bukan, bukan, jawab Muhammad. Dialah orang yang telah membuat langit bersuka-cita.
Hidup selama 22 tahun bersama orang nomer satu di dunia, Muhammad SAW, bilal menjadi saksi banyak hal tentang islam. Namun, ia lebih populer dan dikenang sebagai pelantun panggilan suci yang pertama. Riwayatnya yang mengalami lika-liku menuju Tuhan dan Rasul-Nya jarang dikisahkan. Barangkali saat itulah, buku bisa memberikan saksi. H.A.L.Craig sejarawan barat mampu menghadirkan Bilal lebih dekat dan lebih menghidupkan kisahnya melalui buku Bilal Berkisah di Hari Tuanya (1988).
Bermula dari Ammar, yang mendengar dakwah Nabi, ia membenarkan apa yang disampaikan Muhammad. Ammar budak Abu Sufyan mengatakan bahwa Muhammad mengajarkan bahwa kita semua, semua bangsa, warna kulit, kedudukan, adalah sama di hadapan Allah. Umayah mendengar itu kemudian menghampiri Ammar: Kamu bilang seorang budak sederajat dengan majikannya? Kain sutera bergetar di punggungnya. Apakah si hitam Bilal kubeli dengan uang, sederajat denganku?.
Ammar pun diminta mencambuk Bilal. Tapi Ammar tak melakukan itu, semenjak itulah hati Bilal digerakkan, dikuatkan. Ia menjadi berani, dan pasrah atas apa yang menimpanya. Inilah kesaksian yang ia tuturkan: Mereka memancangku di atas tanah, seperti binatang bercabang dua yang patut dikasihani yang disebut manusia. Umayah memegang cambuk. Aku tak ingin merenungkan penderitaanku. Kepedihan tak pernah disimpan dalam kenangan, karena selalu hadir bersama kehadiran kita. Disamping telah terlalu banyak yang aku ceritakan tentang hari itu, aku menemukan diriku bersahid. Namun Allah lebih kuasa dari matahari dan jiwa manusia tidak bisa dibentuk oleh seutas cambuk. Allahuahad. Aku Bilal, seorang yang mengumandangkan adzan beribu kali, waktu itu tidak tahu cara berdoa. Aku tidak merintih dibawah cambukan, setiap hirupan napasku adalah ibadahku kepada-Nya. Aku tak memohon belas kasihan dari mereka, selain kasih-sayang-Nya.
Bilal dibebaskan dari perbudakan oleh Abu bakar. Sepeninggalnya dari Umayah, Bilal pun bersama Abu Bakar dan bersama Rasulullah. Ia membangunkan Rasul, mengumandangkan Adzan. Suatu hari, saat ia bersama Rasul. Bilal, dengan cara bagaimana engkau mengetahui Allah?. Aku mengetahui-Nya dengan keyakinan hatiku. Selanjutnya ia mengatakan Aku mengetahui-Nya tetapi juga tidak mengetahui-Nya lalu ia bertanya kepada Rasul dapatkah engkau menemukan Allah dengan mencari?. Nabi pun menjawab dengan mengatakan: Ya, Bilal, dengan mencari-Nya. Dengan berdoa dan menyembah kepada-Nya, serta dengan berbuat baik kepada sesama. Namun engkau harus selalu ingat, bukan engkau yang menemukan Allah, melainkan Allahlah yang menemukanmu.
Hari-harinya berubah, Bilal semakin dekat dengan Rasul. Ia menyaksikan bagaimana Rasul menerima wahyu pertama. Ia menyaksikan Khadijah, ibu kaum muslimin. Ia juga ikut dalam badar, ikut menyaksikan hijrah nabi ke Madinah. Ia pun ikut menjadi saksi bagaimana Rasul mendirikan masjid pertamanya, Masjid Nabawi.
Inilah sepenggal kisah panggilan pertama yang melekat pada sosok Bilal di kala itu. Rasulullah apa yang harus kukatakan?. Pujilah Allah, ikrarkan utusan-Nya, ajaklah umat untuk sembahyang, pujilah Allah. Itulah semuanya. Dan Itu sudah mencakup semuanya. Aku berpaling dan memikirkannya. Kemudian kutundukkan kepalaku di kedalaman suaraku.
Allah Maha besar/ Allah Maha Besar/ Aku bersaksi taida tuhan selain Allah/ Aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah/ Marilah Shalat/ Marilah Shalat/ Datanglah untuk perbuatan yang terpuji/ Allah Maha Besar/Allah Maha Besar.
Semenjak itulah, panggilan itu seperti panggilan dari langit. Dari kedalaman hati Bilal. Adzan tak hanya dimaknai sebagai panggilan untuk kebaikan, panggilan pulang kepada Yang Maha Kuasa. Panggilan untuk tunduk, sujud, dan mengagungkan Tuhan. Panggilan ini pun menjadi pembeda dari panggilan agama-agama sebelumnya. Adzan Bilal pun melengkapi masjid-masjid seluruh dunia sampai sekarang.
Bilal tak hanya simbol adzan yang mulia itu. Bilal pun menjadi simbol akan betapa mulianya islam. Islam, adzan, dan Bilal pada akhirnya menjadi kesatuan simbolik. Tuhan memuliakan manusia melalui islam. Dengan diberinya kepercayaan Bilal untuk mengucapkan adzan, bukan nabi, menunjukkan bahwa islam tak membedakan derajat manusia dari suku, ras, atau bangsa yang beragam itu. Islam mengangkat manusia yang mengumandangkan adzan. Islam memberi kepercayaan kepada manusia untuk melantunkan pujian kepada-Nya.
Sepeninggal nabi wafat, ia pun di dera lumpuh dan duka mendalam. Aku tak mampu mengucapkan seluruh nama-nya, Muhammad dan mengulang kembali dari permulaan sebanyak empat kali, tergagap terisak dan gagal lagi. Ia meninggal di Siria, sekitar tahun 644.
Bilal memang telah tiada, tapi setiap adzan berkumandang, ia mengingatkan kita bahwa Tuhan sayang manusia, mengangkat derajatnya, dengan tetap ingat pada-Nya, mengagungkan asma-Nya, tunduk dan sujud pada-Nya. Menjadikan hamba-Nya yang pasrah dan berserah pada-Nya, menjadi tinggi di mata-Nya, mulia hidup dan matinya.
*) Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo
Belum ada tanggapan.