“Pernahkah tuan-tuan dan juga nona-nona, merasakan cahaya yang dulu bersama menemani hingga tertawa riang ? terbahak-bahak melihat kata-kata menjad karya. Tuan-tuan dan juga nona-nona, cahayaku tidak padam dan aku yakini kepulangannya akan segera sampai”
Keluh, kesahku kepada ruangan yang saat ini aku duduk termangu diantara empat sisi tembok putih, sedikit kusam dan cukup tua usianya. Urutan abjad yang tersedia, yang orang namakan sebagai keyboard teranggur tanpa tahu sebabnya. Isi kepala tak mampu terlahir. kata-kataku berjubel tak karuan dan tak sedikitpun terang.
Kuhitung, lebih dari sepuluh waktu dan sepuluh pilu aku mencoba untuk menemukan cahaya. Maksud hati ingin kembali tersenyum melihat kata-kata menjadi beberapa buah karya yang terlahir ke dunia lalu hinggap pada daun-daun mata para pembaca.
Baiklah, akan aku beranikan diri untuk memaksa cahaya itu pulang. Aku tidak sedang berbagi tips ataupun trik sulap. Memulangkan cahaya itu bukanlah sebuah pertunjukan apalagi ritual mistis. Kuharap semesta dapat mulai mengerti dan memahami betapa butuhnya aku kepada cahayaku. Bukan kepada sinarnya, bukan pula kepada terangnya. Aku hanya ingin menunggu hadirnya. Pulang kembali.
Kupanjatkan doa, sembari menekan beberapa huruf favorit di dalam keyboard laptopku. Dan aku yakin cahaya itu akan segera datang. Bait demi bait mulai terluapkan, berani demi berani mulai tergelorakan hingga tak terasa tetesan demi tetesan mulai terteteskan perlahan. Damai… damai.. jika engkau pernah merasakan hangat, begitulah kiranya yang saat ini kurasa.
Aduh.. duh..
Tiba- tiba saja lamunanku terlepas. Semakin keras dan semakin bising carut-marut bersuara. Banyak sekali gelap yang berseliweran, saling melempar ejekan dan juga cacian. Kepadaku mereka tertawa dan mengabarkan dengan suara lantang “Woy, Cahayamu sudah lama padam, dan tidak akan kembali menyala. Pulang dan kuburlah tangan serta kepalamu dalam-dalam. Hahaha…”. Dengan tega tanpa rasa kemanusiaan ataupun sawang sinawang (auto-empati) gelap – gelap itu bersombong ria. Aku mulai goyah dan semakin resah beriring lelah.
Duhai… duhai cahaya…..
Tidakkah sedikit saja engkau merasa tentang rasa yang aku rasa? tentang resah yang aku gelisah ? dan juga lelah yang tak tau apa yang mesti aku perbuat kepadanya?
Pulanglah segera duhai cahayaku. Berbagai upaya sudah aku upayakan untuk kepulanganmu. Offline maupun Online. Mulai dari pamflet-pamflet kehilangan, Leaflet pengumuman berisi harapan di media massa cetak, dan juga story whatsapp biaya data wifi gratisan abang-abang pemilik warung angkringan di seberang jalan, dan juga lain cara sudah aku upayakan.
Aku akan tetap memohon, karena aku yakin kau akan pulang. “Pulanglah Cahaya..,beristirahatlah dari terbang”.
20 Januari 2019. Semenjak hari itu, malamku sendiri, Keinginanku tak lagi serasi, cukup banyak tenaga yang terkuras hanya untuk bertarung dan berseteru dengan sikapku sendiri. Pernah suatu saat, tanpa sadar memutus beberapa urat syarafku, menariknya dengan kencang, keluar dari lapisan-lapisan sadarku. Dan itu karea ketidakhadiranmu, cahayaku.
Baiklah, aku mulai menafsiri dan mengerti maksud baikmu untuk menunda kepulanganmu. Mungkin saja engkau sedang memberikan waktu untukku sendiri, bersabar dengan keadaan dan mempersiapkan pesta sambutan yang sesederhana mungkin. Mungkin saja, engkau sedang menasehati dirimu agar belajar menyembunyikan kemarahan dan menyajikan keramahan ketika engkau menginjakkan langkah pertamamu di pintu yang telah aku bukakan sejak lama. Berbagai kemungkinan menjadi sangat mungkin.
Yang Pasti… Jangan beranjak padam, aku yakin kita akan kembali terang. 10 Dzulhijjah 1440 H / 11 Agustus 2019. Aku tidak merasa berkorban, yang aku rasakan adalah hari raya “dekat” 2019, enam bulan setelah keberangkatanmu.
Belum ada tanggapan.