rahasia-bapak-di-retakankata

Di Balik Rahasia Bapak

Sudah tiga tahun lebih, Bapak suka mengamuk. Semenjak terkena serangan stroke, Bapak tak selancar dulu saat bicara. Pun begitu jalannya, tertatih-tatih. Mirip anak kecil yang baru belajar berjalan. Kaki sebelah kirinya diseret saat melangkah.

Aku dan ibu sudah berusaha memberikan yang terbaik. Dibawa ke rumah sakit bahkan berburu obat alternatif, sudah dilakukan. Sayangnya, penyakit Bapak tak hilang-hilang. Masih berdiam diri dan tak beranjak pergi. Parahnya, semenjak menderita penyakit ini, Bapak sering ngamuk. Apa saja dilempar saat aku atau ibu tak paham yang diucapkan.

Bukan bermaksud durhaka, tetapi bicara Bapak memang tak jelas. Hanya kalimat mendengung yang tak tersusun kata-kata. Untuk sekedar makan saja, aku suruh pakai bahasa isyarat. Sebab aku sama sekali tak paham. Hanya bermodal menerka saja.

Saat ingin melihat bola misalnya. Mulut Bapak hanya menganga sambil mengucap huruf ‘a’ yang diulang-ulang. Jadilah kutafsirkan sepak bola. Baru Bapak manggut-manggut. Atau, saat menanyakan waktu shalat Isya’. Bapak kembali mengeluarkan suara mendengung tak jelas. Saat kutengok jam tangan, kujawab masih belum waktunya. Lantas Bapak tak jadi bangun dan kembali melihat pertandingan tinju yang diulang terus menerus oleh salah satu stasiun tivi.

Tentu, bukan aku mahir bahasa isyarat apalagi bahasa batin. Tetapi aku berusaha menghafal kebiasaan Bapak termasuk jam shalatnya. Jadilah aku tak terlalu pusing menafsirkan apa yang diucapkan Bapak. Sedang ibu tak begitu. Bukan bermaksud menyalahkan sikap ibu yang cenderung tak telaten, tetapi terkadang sikap Bapak memang keterlaluan.

Sebagai penderita stroke dengan kadar kolesterol yang tinggi, tentu tak sembarang makanan boleh dikonsumsi. Tetapi, Bapak tak mau menurut. Acapkali mengambil daging ayam padahal daging ini diberi tetangga saat slametan. Saat ditegur pun Bapak langsung marah-marah, sambil membuang nasi yang di piring.

Beruntung jika dibuang ke lantai, tapi piring dan nasi-nasinya itu dilempar ke muka ibu. Tepat di wajah istrinya itu. Jadilah ibu mengomel panjang lebar dan akan terus diingat sampai malam. Aku tak tau, apakah menjadi seorang ibu harus seperti itu. Sebab, sebagian emak-emak yang kulihat, tak jauh beda dengan ibu. Disuruh mengomel, akan panjang ceritanya. Bahkan keesokan hari juga diingat. Ah, ibu. Benar-benar pembawa riuh di keluarga.

“Cepat sembunyikan dagingnya!” perintah ibu setelah diberi bubur slametan oleh Miryah. Kau tau, Miryah belum bersuami. Tetapi sudah hamil besar. Ah, sudahlah. Tak baik membicarakan aib seseorang.

“A..aaa…”

Ai, Bapak. Baru mau menaruh lauk di rak, sudah ketahuan.

“Kau tak boleh makan daging. Lihat jalanmu sekarang! Semakin susah!”

Bapak meraung-raung tak jelas. Aku sendiri malas mendengar perdebatan keduanya.

“Sa’di! Tak boleh!” seru ibu melihat Bapak merampas daging.

Dengan jalannya yang agak diseret, Bapak mengambil bubur di atas meja, lalu dilempar ke muka ibu.

“Aku ini istrimu, Sa’di. Harusnya kau itu bersyukur masih dirawat anak binimu. Bukan marah-marah begini.”

Ibu pergi ke luar. Bapak sendiri mengambil sepiring bubur, lalu dimakannya bersama daging yang diambil tadi. Dan semenjak siang ini, ibu tak lagi bicara dengan Bapak. Bahkan juga tak seranjang. Ibu memilih tidur di dapur.

 “Suamimu harus dirokat. Disiram air kembang tujuh macam. Coba kau lihat, penyakitnya semakin parah,” ujar Cak Wan, adik ibu.

            Ibu tak jawab. Aku sendiri yang sembunyi di balik bilik, terus merapatkan telinga. Adat di kampung, anak yang belum menikah tak boleh ikut nimbrung pembicaraan orang tua. Inilah alasannya mengapa aku tak diajak musyawarah padahal aku anaknya.

            “Nanti malam ada mamacah di rumah Pardi. Sekaligus Can-Macanan juga. Aku yang bawa suamimu ke rumah Pardi,” imbuh Cak Wan.

            Mamacah sendiri sejenis untaian doa yang didendangkan alunan melengking. Kadang iramanya cepat kadang pula lambat. Biasanya, mamacah dilafadkan dengan bahasa Madura dan tak sembarang orang bisa mamacah.

            “Aku tak punya uang. Kau tau sendiri, baru tadi pagi aku menjual ayam-ayam.”

            “Tak perlu cemas. Tak ada ketentuan membawa uang berapa. Seikhlasnya. Asal suamimu dirokat, penyakit hitamnya pasti akan hilang. Aku yakin suamimu itu pasti kena santet.”

            “Bapak tak kena santet. Bapak kena stroke,” ujarku yang tak tahan mendengar percakapan keduanya.

            “Ah, anak kecil sepertimu tak boleh ikut bicara. Sana pergi!” usir Cak Wan.

            “Aku anaknya. Kenapa tak boleh bicara?”

            “Hey, Misni. Kau tau apa tentang hidup? Menikah saja belum.”

            “Paman itu yang tak paham. Bapak itu sakit stroke bukan kena santet!”

            “Dasar anak nakal! Kau lihat sekarang? Bebal seperti Bapaknya,” ucap Cak Wan mendelik. “Pantas saja jadi perawan tua, wataknya sama-sama keras.”

            “Cukup, Wan. Dia anakku!” bela ibu. Tetap saja Cak Wan menatapku lekat.

            “Dengar Misni! Kau tau kenapa Bapakmu sakit-sakitan seperti sekarang? Karena dia tak mau menerima pinangan Ra’is si juragan kelapa itu. Jadi dia disantet. Bapakmu hanya mau kau sekolah tinggi. Padahal sekolah tinggipun ujung-ujungnya pergi ke ranjang dan sumur.”

            “Apa yang kau lakukan di sini, Wan? Misni anakku. Aku yang menyekolahkan dia, bukan orang lain!” tiba-tiba Bapak berdiri di dekat tiang bambu. Bicaranya lancar. Sangat jelas malah. Cak Wan dan ibu terperangah melihat Bapak. Dan aku jauh lebih terperangah saat Bapak memelukku erat.

            “Sampai kapanpun tak akan kuterima pinangan Ra’is. Tak akan kuserahkan Misni sebagai pemuas nafsu.”

            “Anak Bapak sama saja. Mau sampai kapan kalian hidup melarat seperti ini? Jadi orang jangan sok suci.”

            Tiba-tiba Bapak mendekat. Mencengkeram kerah baju Cak Wan.

            “Tak sudi aku memiliki saudara sepertimu. Kau pikir aku tak tau, kau menerima upah saat berhasil membawa Misni ke hadapan Ra’is? Dan upah itu, sudah kau habiskan buat membungkam mulut Miryah yang tengah mengandung anakmu.”

            Muka Cak Wan memerah. Ibu sendiri terkesiap mendengar penuturan Bapak. Bapak melepas cengkeramannya. Cak Wan berlari ke luar rumah. Tapi Bapak tak mengejarnya. Ya, Bapak tak mengejar. Bapak hanya tersenyum melihat arahku lalu roboh ke arah ibu. Semenjak siang itu, Bapak tak lagi ada. Tepat di pangkuan ibu, Bapak pergi selamanya. Sedang ibu, melepas kepergian Bapak penuh linang air mata.

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan