Aku berjalan di sebuah gang sempit. Entah di mana, yang jelas di depan mataku, sekitar sepuluh langkah ada sebuah pintu. Ketika kuamati ke bagian belakang, gang yang ku injak sangat panjang. Entah bercabang atau tidak.
Aku ragu. Apakah akan berjalan ke depan? Atau mundur ke belakang menyusuri gang panjang tersebut. Akhirnya, aku memutuskan untuk bergegas membuka pintu yang tinggal dua langkah lagi di depan mata.
Kubuka secara perlahan pintu tersebut. Gelap; tak ada cahaya. Aku semakin penasaran. Kulangkahkan kakiku dan dengan mengendap-ngendap, aku masuk.
Kaget luar biasa. Pintu yang berada setengah meter di belakangku tiba-tiba menutup dengan suara bantingan keras. Aku langsung memburu pintu tersebut, kuraba setiap bagian untuk kubuka gagangnya. Namun aneh, pintu tadi tidak ada. Yang terasa hanya tembok. Ya, tembok tanpa ada gagang pintu.
Bulu kuduk mulai berdiri. Aku ini ada dimana?
“Haloooo? Ada orang di sini? Assalamu’alaikum?”
Tak ada jawaban.
“Hey anak muda. Tutup matamu sebentar. Nanti akan ku keluarkan kau dari kegelapan !”
Aku terperanjat. Kaget luar biasa. Ada suara tanpa wujud. Suara laki-laki. Mirip suara buta dalam film. Badanku menggigil, semakin takut.
“Sisiapa kau?”
Kucoba bertanya dengan suara terbata.
“Tutup matamu!!!”
Dia entah siapa namanya, marah besar. Tak ada pilihan. Walau pikiranku semberawut. Mungkinkah ini suara penjahat? Entahlah.
“Tutup matamuuuuu!”
“Baik Om, eh Bang. Duh aku manggil apa ya?”
Aku langsung menutup mata rapat-rapat. Dengan tangan dikepal dan kaki siap beraksi jika ada serangan tiba-tiba.
Hatiku makin tak menentu. Kuhitung dalam hati: satu, dua, tiga. Ah, belum ada apa-apa.
“Om, udah belum? Jangan main petak umpet di sini mending kita keluar yuuu!”, teriakku.
Tak ada jawaban. Hening sekali. Aku mulai merasa bahwa semua ini adalah ulah makhluk halus. Kuniatkan dalam hati, dalam hitungan ketiga, akan kubuka mata ini dan lari sekencang-kencangnya ke arah mana saja.
“Satu, dua, tiga”
”Aaaaaaaw!”
Entah siapa yang kutabrak. Yang jelas, suara wanita. Jidatku beradu terbentur keras.
“Hey, kalau jalan-lihat dong ah!”
Sambil kuusap kening yang terasa sakit. Aku melirik ke arah suara perempuan tadi.
“Mirna ! Kamu sedang apa?”
Aku bahagia sekali. Ternyata yang kulihat adalah istriku.
“Sembarangan. Aku bukan Mirna. Namaku Nani.”
Perempuan itu sambil menggelengkan kepala meninggalkanku. Ku susul dan kuhadang.
“Halooooo? Aku ini Herman suamimu! Jangan bercanda deh!” Aku mengoloknya dengan menjawel dagu perempuan yang seratus persen adalah istriku.”
“Plak, plak” Dia menamparku sembari marah, “ Jangan kurang ajar kau!”
Perempuan tadi yang jelas adalah istriku, malah berjalan setengah berlari.
Aku bingung. Kucoba melihat sekeliling. Ternyata, aku terdampar di sebuah mall, setelah membuka mata di ruangan gelap dengan suara lelaki gak jelas dan menyeramkan.
“Haaaaa”, kali ini aku kaget seribu persen. Bagaimana tidak. Semua laki-laki yang lalu-lalang memiliki wajah yang sama persis denganku. Ini gila. Aku sebenarnya ada di mana?
Kucoba mendekati seorang lelaki yang mengenakan topi. Dia sedang berjalan ke arahku. Dari kejauhan sudah mirip sekali wajahnya denganku.
“Pak, Maaf! Saya mau Tanya. Apa bapak merasa wajah kita sama?”, Aku bertanya dengan cepat.
“Bung! Anda ini ngomong apa? Jelas wajah kita berbeda.” Jawab lelaki itu
“Kalau boleh tahu. Nama bapa siapa?”
“Nih! Jelas”, Dia membuka topi dan memperlihatkan nama “ASEP”, tertulis di jidatnya, dengan semua huruf dalam kotak. Persis setempel.
Lelaki tadi, setelah memperlihatkan jidat kemudian pergi tanpa permisi.
Ini semua semakin membingungkan. Kucoba mengamati semua lelaki yang ada di sana. Tetap, semua wajahnya sama persis dengan wajahku. Padahal, aku tidak terlahir kembar. Ah, walaupun kembar tak mungkin sebanyak ini.
Aku mulai mengamati dari jarak dekat semua lelaki. Kubaca satu persatu huruf yang menempel di jidat mereka. Badrun, Komar, Udin, Joyo, Mathius, Manalu, Karmin, dan masih banyak lagi.
Hal lebih aneh lagi. Semua orang mengambil barang dengan bebas, tanpa mengeluarkan uang. Ada yang mengambil baju, mengambil perhiasan, minyak wangi, dan barang-barang dalam etalase lainnya. Tak ada pelayan atau semacam penjaga counter.
Tak ada yang berteriak pencuri, maling, atau apapun terhadap para lelaki yang mengambil barang. Aku tak mungkin berteriak maling kepada mereka. Bisa jadi malah aku yang digebukin.
Aku semakin penasaran. Tak ada wanita di mall ini, selain wanita tadi yang jelas adalah Mirna dalam pandangan mataku. Kecuali aku ini sudah gila, sehingga tak bisa mengenali wajah istri sendiri.
Aku berniat keluar dari mall tersebut. Aku turun ke lantai dasar menyusuri eskalator.
Setiba di luar mall. Aku membaca sebuah plang menempel di gedung mall tersebut dengan tulisan “barang khusus untuk laki-laki”. Pantesan, semuanya laki-laki, kecuali perempuan yang tidak mau kusebut Mirna.
Kali ini aku kaget luar biasa. Banyak perempuan di luar mall yang memiliki wajah sama dengan mirna. Kali ini kulihat bukan satu atau dua. Melainkan puluhan, atau bahkan ratusan.
Tak ada kendaraan. Semua orang berjalan kaki. Aku merasakan pening di kepala. Dunia macam apa ini?
Aku duduk di pinggir jalan sambil mengamati lelaki-perempuan yang sedang berjalan kaki. Tetap, semuanya sama. Kukucek kedua bola mataku berkali-kali. Hasilnya sama, semua laki-laki memiliki wajah yang sama denganku, dan semua perempuan memiliki wajah yang sama dengan Mirna istriku. Yang membedakan di jidat wajah para perempuan yang kulihat, adalah huruf yang bertuliskan: Siti, Vera, Wati, Susan, dan masih banyak lagi.
Aneh sejuta aneh. Tidak kutemukan anak-anak, atau kakek-nenek dari semua orang yang berlalu lalang. Semua seumuran dengan aku dan istriku.
Hal yang langsung membakar amarah, adalah saat kulihat pasangan yang sedang berciuman mesra. Si lelaki memiliki wajah yang sama denganku dan perempuannya sama dengan wajah Mirna, istriku. Yang membedakan hanya tulisan di jidat mereka. Tertulis, “Peter”, dan “Marni”.
Aku tambah pusing. Aku berdiri dan mencoba berlari menjauhi kerumunan orang, yang semakin merangsang semua isi perut keluar.
Dalam napas ngos-ngosan. Aku tiba di sebuah jembatan. Entah berapa kilo meter aku berlari. Yang jelas, dalam kondisi memori yang hampir pecah. Aku merasakan telah berlari sangat jauh.
Aku duduk di sebuah jembatan, dengan kaki selonjoran. Tak ada orang, tak ada kendaraan. Entah dimana aku berada.
Aku teringat, dengan suara lelaki misterius yang menyuruhku menutup mata. Tak berpikir panjang, akan kupanggil lelaki itu. Siapa tahu dia bisa mengembalikanku ke dunia normal. Dunia penuh warna. Dunia yang beraneka ragam.
“Ooooom! Aku ada dimana? Aku akan menutup mataaaa! Tolong kembalikan aku Ooooom!”
Tak ada jawaban.
Kali ini aku berteriak sambil menutup mata, “Oooom kembalikan aku ke dunia normal!”
“Hey, Um am om om. Bangun! Ini sudah jam delapan. Waktunya kerja!”
Kulihat sosok istriku Mirna dengan wajah cantiknya. Ternyata, tadi aku sedang bermimpi.
Belum ada tanggapan.