Meski fiksi mini hanya berjumlah beberapa paragraf saja, ia meninggalkan kesan pada pembacanya. Pada fiksi mini, pembaca dibuat untuk berfikir, tersenyum, atau sekadar sedikit mengernyitkan dahi. Genre ini memang tak berasal dari negeri kita. Ia tak bisa disamakan dengan cerita pendek di negeri kita. Di negeri kita, cerita pendek bisa ditulis berlembar-lembar. Selain diperlukan ketabahan membaca huruf demi huruf, kadang pengarang yang tak jeli bisa membuat pembaca lekas bosan dengan cerita yang terbit di koran atau majalah jika ceritanya tak menarik.
Fiksi mini, boleh jadi alternatif bagi sastra di Indonesia. Bukan karena asal comot dan jiplak genre dari negara lain, tapi sebagai jalan tengah di tengah arus media sosial dan godaan pembaca yang tak mau membaca banyak cerita yang panjang. Triyanto Triwikromo sendiri pernah menerbitkan buku Bersepeda Ke Neraka (2016). Buku itu dibuat dengan gaya cerita sangat pendek (fiksi mini). Dalam sebuah perbincangan kala buku itu terbit, ia mengatakan sengaja membuat fiksi yang demikian karena tak ingin pembaca lekas meletakkan bukunya cepat-cepat.
Tuan dan puan barangkali merasakan perasaan serupa saat membaca buku kumpulan fiksi mini karya Ana Maria Shua, Pemburu Aksara (2018). Walau hanya sebagian cerita mini yang disuguhkan kepada kita (ratusan diantara ribuan), kita seperti diajak untuk tak lekas berhenti bertualang di samudera imajinasi ceritanya. Saya kutipkan cerita berjudul 108 : “Aku tidak punya masalah apa-apa dengan telur ceplok. Merekalah yang menatapku dengan mata membeliak penuh ketakjuban, ketakutan.” Secara sepintas pembaca bisa sambil lalu membaca cerita ini, tapi sebenarnya kita diajak untuk terus melintasi imajinasi bagaimana telur ceplok sendiri yang sebenarnya takut, dan takjub saat melihat mata kita. Ada upaya menghidupkan bendawi, serta sensitifitas kita. Disamping pengarang hendak menghidupkan cerita telor ceplok dan mata, bisa bergandengan meski saling berkelindan satu sama lain.
Pada cerita lain, pembaca disuguhi dongeng, logika yang runtut, tapi juga takjub yang dibuat saat membaca kejutan di cerita mininya. Cerita berjudul 176 yang saya kutip disini bisa menjadi buktinya : “Selama seratus tahun Putri Tidur terlelap. Perlu setahun untuk meregangkan badan sesudah ciuman penuh nafsu pangerannya. Perlu dua tahun untuk berpakain dan lima untuk sarapan. Atas semua itu suaminya yang ningrat menerimanya tanpa mengomel sampai pada momen celaka ketika sesudah empat belas tahun makan siang, tibalah saatnya jam tidur siang.”
Hal lain yang bisa kita gali dari cerita Shua adalah sisi absurd, fantastis dan paradoksal di cerita mininya. Berikut saya kutipkan pada cerita berjudul Menonton Teve. Alangkah anehnya ini, duduk di sofa, menonton mukaku sendiri membuat tampang kikuk di atas layar. Acaranya sendiri tidak buruk, tapi aktingku menyisakan banyak hal untuk didambakan. Aku tidak mengenali suaraku sendiri; dan tindak-tandukku terlihat palsu, dibuat-buat, sama sekali tidak spontan. Dan yang paling aneh, barangkali adalah acara ini siaran langsung.
Cerita pendek dari Amerika latin ini pernah dikenalkan oleh penerjemah di buku terjemahan sebelumnya berjudul Matinya Burung-Burung (2015), di buku ini pula kita bakal mendapati karya fiksi mini dari Gabriel Garcia Marquez, Oktavio Paz, Jorge Luis Borges, maupun Ana Maria Shua.
Meski bentuknya sangat pendek, hanya beberapa baris saja, cerita di fiksi mini tak lekas membuat pembaca tenang. Pembaca diajak untuk berselancar melalui imajinasi yang liar yang dihadirkan pada cerita. Pembaca juga diajak untuk tersenyum kecut saat sadar bahwa imajinasi yang dihadirkan oleh Shua begitu tak terduga. Misalnya pada cerita berjudul 235 berikut : Diantara cara-cara bunuh diri: kembalilah ke masa persis pada saat pembuahanmu, lalu cegahlah. Cerita ini memang lebih mirip aforisma, tapi mengajak pembaca berimajinasi sekaligus membuat kita tersenyum kecut.
Keahlian dan kelihaian Ana Maria Shua ini membuatnya diganjar sebagai ratu cerita mikro. Meski membuat pembaca tak tenang, resah, dan melanglang ke belantara imajinasi, buku Pemburu Aksara (2018) tak membuat pembaca bosan. Justru buku ini membuat pembaca tertarik untuk membacanya lagi dan lagi.
*) Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo, Kepala Sekolah SMK Citra Medika Sukoharjo
Belum ada tanggapan.