lukisan-perempuan-telanjang-setengah

Helen Mai, Pelukis Perempuan Telanjang

Di bawah sapuan hujan lebat, jalanan berlumpur dan suara petir yang memekikkan telinga, Helen Mai membopong tubuh Alice yang kian pucat. Kedua mata Alice mengerjap-ngerjap sampai-sampai Helen Mai kelimpungan mencari pertolongan. Perempuan itu tak putus asa mengetok pintu satu per satu. Meski ada yang mengusir kasar. Ada yang melongok lewat jendela, atau sengaja tak membuka. Beragam perlakuan tak membuat Helen Mai putus asa. Ia terus berlari dari satu rumah ke rumah yang lain.

            “Bersabarlah, Putriku. Sebentar lagi kita akan menemukan tempat berlabuh.”

            Petir saling menyilangkan bunyi ketika Helen Mai melangkah ke rumah terakhir yang berada di tepi sungai.

“Oh, Alice, Lihatlah! Rumah ini masih terang-benderang. Penghuninya masih belum terlelap dalam pangkuan malam.”

            Helen Mai mengetok pintu tiga kali. Lelaki tua berdiri angkuh membuka pintu. Dari sorot matanya yang tajam, tampak betul jika lelaki itu tak menginginkan tamu. Helen Mai tak peduli. Ia memohon-mohon agar diberi makanan, syukur-syukur obat yang bisa mengatasi penyakit Alice.

            “Aku bukan dokter, Helen! Andai pun aku praktisi kesehatan, aku tak akan menolong orang sepertimu.”

            “Tolonglah, Tuan. Berkahilah kami dengan sedikit belas kasih.”

            “Belas kasih? Carilah kasih itu dalam tubuhmu!”

            Helen Mai tak putus asa. Ia bersujud tepat di kaki lelaki tua itu.

            “Pergilah ke seberang! Di sana ada dokter muda yang baru buka praktik. Meski aku tak yakin ia bakal membantumu, setidaknya itu lebih baik daripada kau terus-menerus mengiba seperti ini.”

            Helen Mai berusaha menahan langkah kaki si empu rumah, tetapi lelaki tua itu melenggang masuk lalu membanting pintu. Helen Mai memandang ke seberang. Arus sungai begitu deras nan menakutkan. Jangankan ia yang membutuhkan pertolongan, iblis pun bakal terjungkal mendengar bunyi yang dihasilkan pasang sungai.

Kendati begitu, Helen Mai masih berjalan menuju jembatan. Payung yang dikenakannya tak sepenuhnya membantu. Tubuhnya basah kuyup didera butiran hujan. Pada saat itulah, ia merasa tetesan hujan tak ubahnya serbuan anak panah yang menghunjam tubuh. Perih dan menyayat hati. Berulang kali Helen Mai terperosok ke lubang jalan, berulang kali ia menahan isakan.

Ketika sampai di tepi sungai, Helen Mai begidik mendapati jembatan yang bergoyang-goyang. Ia tak sanggup membayangkan jika nanti jembatan ini tiba-tiba terputus. Bagaimana mungkin ia akan mendaratkan kaki di atas jembatan yang terombang-ambing di atas lautan air? Dada Helen Mai menyala-nyala. Ia tak menyangka anaknya bakal tersiksa. Helen Mai ingin menumpahkan segala amarah pada Tuhan, mengapa orang-orang tak bersedia memberinya bantuan meski sebatas makanan. Apakah kebencian mereka tak bakal hilang sekalipun Helen Mai tinggal tulang-belulang? Bukankah perbuatannya telah menjadi kisah di masa lalu?

            Lima belas tahun silam, Helen Mai berhasil menciptakan lukisan adidaya. Lukisan itu menggambarkan seorang perempuan telanjang bersayap malaikat. Payudara dan kemaluannya betul-betul menggiurkan. Barang siapa memandang, niscaya kedua bola matanya tak akan beralih pandang sebab ia akan menahan liur di tenggorokan, dan menimbulkan gairah yang meletup-letup dari balik badan.

            Orang-orang mengutuk Helen Mai sebagai pelukis murahan, sebab ia menjual lukisan yang tak lain adalah potret dirinya sendiri. Helen Mai tak peduli. Batas imajinasi hanya ditentukan diri sendiri, bukan orang lain. Kata Helen Mai menenangkan diri. Semenjak itu banyak lelaki mendatangi rumah Helen Mai hanya demi memesan lukisan. Kadang sosok dirinya yang duduk bersilang di atas kursi–yang masih bertelanjang–kadang pula potret perempuan lain.

            Ketenaran Helen Mai berbanding lurus dengan cemoohan yang ia terima. Rentetan hinaan menyergap kehidupan Helen Mai kapan saja. Pernah suatu ketika, ia hendak ke panti asuhan. Sesampainya di gerbang, ia diusir kasar. Ia tak diperkenankan memasuki pekarangan, sebab anak-anak hanya  boleh dikasihi insan mulia.

            Pemuka agama yang melihatnya kemudian menasihati pemilik panti. Semua yang tampak buruk di mata manusia bisa jadi terlihat mulia di hadapan Tuhan. Pemuka agama menyilakan Helen Mai memasuki panti untuk memberikan santunan. Namun, Helen Mai merasa risih. Tatapan pemilik panti, dan orang-orang yang mengerubungi seakan jijik jika berdekatan dengan Helen Mai. Seakan-akan terciprat dosa apabila Helen Mai berada di sana. Akhirnya, Helen Mai memutuskan tak lagi mau mengingat Tuhan, meski sebetulnya ia meyakini Tuhan melihat apa yang ada di hati umat manusia.

            Tanpa rasa cemas dan iba, sikap orang-orang kian bengis. Keluarga Helen Mai terkena dampaknya. Padahal keluarga adalah satu-satunya alasan mengapa Helen Mai mau dilukis telanjang. Jika pelukis lelaki dimaklumi melukis perempuan telanjang, maka, Helen Mai memilih mendobrak pandangan dengan menghadirkan sosoknya yang tengah telanjang sehingga lukisannya lebih bernilai secara ekonomi.

            Sebagai seorang anak yang lahir dari keluarga peternak rubah, Helen Mai selalu menunggu musim gugur penuh harap doa. Pada musim itu, ia dan kelima adiknya akan mengguntingi bulu-bulu rubah, yang kemudian dijual pada pedagang bulu yang nantinya dijual lagi kepada mereka yang membutuhkan bulu rubah, untuk digunakan sebagai kebutuhan fashion seperti topi, baju atau mantel para fashionita.

            Makin tahun, makin banyak permintaan bulu rubah dan makin tinggi pula nilainya. Tetapi ini tidak berlaku pada mereka. Rubah-rubah keluarga Helen Mai ditemukan mati satu per satu. Entah siapa yang memberi duka, entah siapa yang sengaja meracuni binatang itu, Ayah Helen tak kuasa menanggung takdir. Lelaki itu memilih menggantungkan diri disaksikan rubah terakhir. Sebagai pelukis yang tak cukup menghasilkan uang dari hasil karya seni, Helen Mai memutuskan melukis dirinya sendiri. Meruntuhkan dogma yang melekat pada ingatan umat manusia, jika perempuan tak boleh menampakkan lekuk tubuh di depan umum.

            Orang-orang terbahak-bahak ketika diceritakan musabab ia melahirkan lukisan perempuan telanjang. Ekonomi tidaklah pantas dijadikan persembahan alasan. Helen Mai tak ambil perkataan orang. Ia memiliki lima adik yang mesti dihidupi. Terbukti ketika ekonominya sendiri menyusut, kelima adiknya siap berpijak di atas kakinya sendiri. Tetapi mengapa, justru Alice, putrinya, yang kini menderita?

            Belum terlambat. Meski orang-orang menutup pintu rumahnya rapat-rapat, ia masih memiliki harapan menyeberang. Meski gemerisik sungai menciutkan nyali, Helen Mai berharap keajaiban Musa yang membelah lautan ketika dikejar Fir’aun kembali terjadi. Helen Mai memang bukan nabi, tetapi, tidakkah Tuhan bisa menenangkan arus sungai yang kini menyentuh bibir daratan demi manusia hina seperti Helen Mai? Bukankah, terdapat cerita seorang pelacur yang masuk surga musabab memberi minum anjing?

            Entah kebaikan mana yang menjadikan Tuhan mengabulkan permintaan Helen Mai, arus sungai tiba-tiba mengecil. Petir tak lagi menyambar. Hujan tak lagi deras. Helen Mai cepat-cepat mendongakkan kepala ke arah langit sembari tersenyum, “Ternyata Kau betul-betul ada.”

            Dada Helen Mai naik-turun ketika ia berlari di atas jembatan yang tak sedikit pun menghasilkan getaran. Ia terus berlari dengan helaan napas yang kian tak teratur. Sesampainya di seberang, Helen Mai menatap rumah yang ukurannya lebih besar dari yang lain. Menurut kabar, ini adalah rumah dokter muda yang baru pekan kemarin membuka praktik.

            Diketoknya pintu rumah itu berkali-kali. Tanpa mengurangi kenduran, Helen Mai hendak mengetok pintu sekali lagi. Seorang pemuda gagah nan tampan kemudian menyilakan masuk. Helen Mai terpaku. Ia terharu. Pemuda itu kembali menyilakan Helen Mai masuk. Helen Mai hendak menangis. Berkali-kali tak digubris orang, kini ia memperoleh pertolongan.

Dokter muda memeriksa Alice. Betapa terkejutnya dokter muda itu. Ia memeriksa tubuh Alice sekali lagi. Bibir dokter itu gemetar. Suhu tubuh anak kecil berusia lima tahun ini benar-benar tinggi. Belum lagi gemigil yang dihasilkan dari dingin hujan, dokter itu menggeleng-gelengkan kepala.

            “Kalau bukan kuasa Tuhan, ia pasti mati sedari tadi.”

            Helen Mai menangis. Pada titik ini ia tidak mampu menyikapi apa yang terjadi kecuali  diucapkannya dalam hati, “Ternyata, kasihMu benar-benar ada. Maafkan aku.”

            “Putrimu harus dirawat beberapa hari sampai keadaannya benar-benar pulih.”

            Helen Mai terperanjat. Ia tarik lengan dokter muda itu, dan ditatapnya lekat-lekat.

            “Saya tidak punya uang. Bolehkah saya utang?”

            Dokter muda itu terkesiap. Tak menyangka, jika di zaman sekarang masih ada yang tak paham kedudukan uang dengan memohon pertolongan tanpa bayaran. Padahal biaya kedokteran teramat mahal dan tak mungkin ada imbalan.

            “Bagaimana kalau saya membayarnya dengan lukisan? Tolonglah.”

            “Lukisan?”

            “Saya akan menyerahkan sebuah lukisan yang belum pernah tampak di hadapan orang. Hanya itu satu-satunya barang berharga yang saya punya. Jika dokter hendak menjualnya, ini lukisan adidaya kedua yang pernah saya lahirkan. Atau jika hendak dipajang di ruang ini, niscaya orang-orang akan terkesima memandang lukisan seorang perempuan bersayap yang bersetubuh dengan lelaki gagah nan tampan dengan beralas daun ara. Bak Adam dan Eva yang terusir dari Eden, daun ara adalah simbol dosa.”

            Dokter muda itu tergagap. Riuh dalam dadanya bergemuruh. Matanya membeliak mengingat sebuah nama.           

“Kaukah Helen Mai itu?”

            Helen Mai tersenyum. Lelaki muda yang tak dikenalnya ternyata mengenal namanya. Senyum Helen Mai berbanding terbalik dengan dokter muda yang mulutnya tiba-tiba menganga. Ia tak menyangka, jika perempuan di hadapannya ini adalah perempuan yang membawa minggat ayahnya hanya demi mencicipi tubuh pelukis terkenal. Perempuan ini yang membuatnya mati-matian mencari uang demi menyelesaikan pendidikan kedokterannya. Perempuan ini yang membuatnya berjuang sendiri musabab ibunya memilih bunuh diri. Dan kini, perempuan ini tersenyum di hadapannya?

            “Dokter menginginkan lukisan saya, bukan?”

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan