Ibu, apa kabar dirimu? Lama tak bersua. Banyak penggalan kisah yang hendak aku utarakan kepadamu. Tentang mimpi-mimpi yang menghampiri dalam tidurku semalam. Tentang pagiku yang selalu dihantui kecemasan, kala bayanganmu hilang di balik pintu harapan. Enggankah kau sejanak tuk menyapaku dalam bunga tidurku?
Ibu, saat gugur bertamu kau mulai mengoceh pada daun-daun kering yang hampir pasti tiap hari memenuhi pelataran rumah. Dan aku tahu, kau sangat membenci hal itu. Tetapi, sadarkah engkau bahwa daun-daun itu lebih tahu akan makna dari sebuah pengorbanan. Pengorbanan mulia yang bahkan segala makhluk tak mampu tuk melakukannya. Bukankah untuk mencapai hidup yang baru mesti ada yang mati dahulu? Sehelai daun tahu dan telah menunjukkannnya kepada aku dan kau.
Ibu, ingatkah engkau pohon jati yang merelakan daunnya diterpa angin. Akan sakura yang enggan lagi tuk bersemi di penghujung bumi. Dan semilir angin yang tak lagi sudi menjadi penghubung jarak antara aku dan kau. Hal itu merupakan tanda bahwa kini aku dan kau harus melukis jarak sejenak demi menorehkan kisah kita masing-masing pada selembar hari. Seluruh semesta senantiasa mengingat semua pengorbanan itu sebab aku dan kau tahu bahwa nazar kita terukir apik pada bongkahan batu yang tak lekang oleh waktu.
Ibu, kemarin bumi menangis. Dan ada yang berbeda. Pelangi yang kunanti-nantikan setiap kali segera setelah hujan usai, tak lagi nampak di kaki langit. Tentang mimpiku dan mimpimu pada selembar hari kini telah menguap ke awang-awang seperti dupa yang melayang yang tersesat dan tak tahu arah tujuan yang mesti dicapainya.
Ibu, sesungguhnya aku rindu padamu. Rindu akan ocehanmu pada daun-daun kering yang terombang-ambing di terpa angin. Meskipun kau sadar bahwa hal itu demikian adanya dan tentang ocehanmu, percuma saja.
Ibu, hadirlah sejenak dalam mimpiku malam ini. aku hendak berkisah tentang hidup dan perjuanganku selama ini yang sedetik pun tak pernah kau sertai.
Belum ada tanggapan.