Ironi di Ujung Senja

Suara gemuruh dari jalan besi itu kembali mengganggu tidur nyenyak gadis mungil ini. Entah berapa kali Risa harus terbangun bahkan di tengah malam. Ia menghembuskan napas sesekali mencoba membuka mata yang terasa begitu berat. Jam beker di atas meja menunjukkan pukul tujuh pagi. Hari ini tepat dua bulan ia mulai pindah dari kampung ke kota metropolitan. Ia merasa waktu berjalan sangat lambat, perasaannya kembali tak karuan. Sebelumnya kehidupnya sangat damai tanpa suara bising di samping rumah dan tanpa udara yang menyesakkan di pagi hari.

Sinar matahari telah berhasil menembus gorden biru yang menghiasi kamar berukuran 2x2 ini. Risa berdiri sempoyongan dan membuka gorden itu berharap melihat kembali Gunung Merapi bersanding gagah dengan Merbabu yang dikelilingi sawah-sawah hijau. Pak Tumin berjalan santai membawa cangkul, bu Ani menyapu halaman dan Pak Husni menjajakan sayur dengan senyum ramah. Pagi ini bukannya merasa damai, Risa justru melihat dua bocah kecil yang bermain di atas rel kereta api, baju yang mereka kenakan sangat kumal dan tubuh mereka sangat kurus. Meski begitu senyum merekah saban kali pesawat kertas itu berhasil terbang tinggi. Entah anak siapa dan mungkin mereka sudah tidak terurus di kota yang selalu dipuja-pujanya tempo hari.

Risa bergegas keluar dan membawa seember cucian, Ibunya terlihat sedang memasak di dapur. Bukannya aroma sedap masakan yang tercium justru bau busuk yang menyeruak dari sampah yang menumpuk di sungai. Risa menggelengkkan kepala tatkala nyamuk-nyamuk ganas berdengung silih berganti di telinga seraya beterbangan di selokan kumuh nan bacin ini, sangat menjijikkan. Tak heran beberapa hari yang lalu dua anak tetangganya meninggal setelah demam tinggi.

Jarak antar rumah tak sampai satu meter, sangat berdekatan dan kumuh. Risa pernah protes kepada Ibu mengapa ia harus ikut pindah ke sini. “Biar Ibu bisa menjagamu.” Jawab Ibunya enteng. Ia mengembuskan napas kasar, gadis mungil itu bahkan lebih suka tinggal di rumah kayu dan berlantai tanah milik Simbah daripada hidup di kota metropolitan yang dipenuhi fatamorgana.

Pantang pulang jika hanya akan menjadi beban! Simbah di rumah menunggu kiriman bukan untuk menanggung beban’

Kalimat itu terus menggema di otak. Pesan Bapaknya sebelum meninggal, Risa harus membantu Ibu bekerja dan tidak merepotkan Simbah. Terlebih karena Simbah mengira anak dan cucunya hidup serba kecukupan di kota.

Jalan setapak tempatnya mencuci baju terlihat masih basah dan becek karena hujan semalam. Air telah meninggi hingga bibir sungai. Dipastikan akan meluap jika hujan tak kunjung reda. Terlihat tumpukan sampah di bantaran sungai, air sungai sangat kumuh, bagaimana bisa mereka bertahan hidup dengan kondisi seperti ini? Pikirnya dalam hati.

Dari balik sumur, Risa terkesiap melihat Rama tetangga sebelah siah layah berjalan di pinggir rel. Dia tertawa sambil membawa sebuah wig, ucapannya kacau, bahkan ia hampir terperosok ke sungai jika istrinya tidak segera menghampiri. Risa pura-pura tidak melihat dan kembali mengucek kemeja putih di ember.

Beberapa hari yang lalu ia pernah melihat Rama menangis di tepi gang dengan bibirnya merah merona dipadu dengan mini dress biru. Tenyata tetangganya itu terpaksa menjadi pengamen waria di sudut lampu merah. Risa meringis, ibarat menjual harga diri demi sesuap nasi. Meski begitu satu-satunya kepastian yang ia miliki adalah jika Rama sebenarnya pribadi yang baik. Ia tidak pernah membiarkan anak dan istrinya terlantar meski hidup dalam keterbatasan. Risa juga pernah mendapati Rama secara sembunyi-sembunyi pergi ke masjid untuk solat berjamaah dan mengaji. 

***

Hari ini Risa dan Ibunya akan pergi ke sekolah baru untuk mengambil seragam. Tak ada binar-binar bahagia atau senyum di wajah. Bukannya Risa tidak menyukai langkah Ibu yang berupaya mendorong agar mendapat pendidikan maju di kota, namun Risa merasa kurang nyaman dengan pergaulan siswa di sini. Mereka terlihat tidak bersahabat, Risa hanya terdiam dan tersenyum kecil ketika berpapasan dengan siswa lain. Ada yang merespons dengan senyum namun ada juga yang mengabaikannya.

Setelah mendapat seragam baru, mereka bergegas pulang karena Ibunya harus segera ke rumah Bu Maya untuk bekerja. Ketika menelusuri seluruh ruangan di sekolah barunya, tampak beberapa siswa berhamburan, ada yang menunggu mobil jemputan namun adapula yang berjalan menunggu angkot di pinggir jalan. Setibanya di pertigaan, sebuah angkot lewat dari arah utara. Risa,  Ibu dan beberapa orang lain bergegas masuk, di dalam telah ada sekitar enam orang, jumlah normal seharusnya. Bau asap rokok mulai menyelimuti seluruh ruang yang sesak ini.

Tenggorokannya kering dan betuk kecil, sesekali ia menutup hidung. Penumpang di depan melihat Risa dengan sinis sambil menyebulkan asap rokoknya sementara penumpang lain terlihat acuh dan fokus memainkan gawai masing-masing. Risa memicingkan mata namun tak begitu terlihat, pria bertato itu tampak sedikit familiar. Ternyata ia pernah melihat pria itu mengamuk dan menodongkan senjata tajam di depan rumah Rama dengan amarah dan cacian. Risa bergidik dan menunduk, ia menarik lengan Ibunya yang hendak menegur pria itu. Kali ini jantungnya dibuat berdegap sangat kencang.

 ***

Sore ini Risa kembali dikagetkan dengan warga yang mengerumuni jasad yang terbungkus kresek hitam di bibir sungai. Wajahnya membusuk sehingga tidak ada yang tahu siapa sebenarnya mayat yang tergeletak kaku itu. Rambut pirang terurai dan rok jeans mini yang meyakinkan jika mayat itu adalah seorang perempuan. Tak ada yang berani mendekat hingga polisi datang. Risa berusaha mengacuhkan bau busuk itu sambil menutup lubang hidung dengan kedua tangan. Tak sedikit yang berbisik dan mengutuk perbuatan keji itu.

“Pasti wanita nakal.”

“Iya dia pasti wanita malam.”

“Akhir hidup yang menyedihkan.”

Risa terkejut tatkala suara parau berteriak memanggil-manggil namanya dari seberang. Perempuan itu tergopoh-gopoh melambaikan tangan mengisyaratkan Risa untuk segera pulang. Ia hanya nyengir dan mengekor pulang. Ibunya berbisik jika Rama belum pulang beberapa hari ini.  Risa termenung, sekujur tubunya kelu. Kali ini ia mengerti maksud perkataan Simbah jika kota metropolitan itu keras. Mula-mula ia tidak percaya karena yang dilihatnya hanyalah keindahan gedung yang beradu jenjang.

***

Malam ini langkah kaki membawanya ke sebuah jembatan tua, di bawahnya mengalir deras sungai yang hampir meluap, tumpukan sampah ikut hanyut. Risa melihat dari kejauhan gemerlap lampu di malam hari. Tampak sangat indah dan mempesona, namun Risa tahu jika itu bagai fatamorgana, tidak ada yang bisa melihat bagaimana kehidupan di bantaran sungai ataupun kehidupan di jalan besi. Risa menangis dalam hati, kota yang selama ini Risa impikan ternyata tak seperti yang terdapat dalam benaknya. Kata Inah di kota itu enak, banyak bangunan besar dan megah, kata Amin kota itu selalu hidup 24 jam, nggak sepi layaknya di desa, akan sangat menyenangkan hidup di sana. Ia tersenyum mengingat perkataan teman-teman di kampung.

Bagai dimabuk angan-angan mengharapkan langit biru sepanjang hari dan camar-camar bersenandung silih berganti. Risa berbisik kepada rembulan agar menyampaikan pesan rindunya untuk Simbah dan kampung halamannya. Tak lupa ia juga menyelipkan doa untuk Rama, sahabat baiknya yang merenggut nyawa dalam ketidakadilan.

 

, , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan