Takdir yang Berbicara

Mendung menyelimuti pagi yang sunyi. Di sepanjang tali yang memanjang membelah sungai, kedua kaki Agam melilit kuat perut Maimunah. Sementara Kedua jari tangannya saling berkaitan mengunci pundak. Ia memandang ke seberang, arus sungai begitu deras dan mengerikan. Meski begitu, mereka harus tetap menyeberang. Maimunah mengeratkan ikatan selendang menoleh ke arah Agam yang mulai gamang.

Tali tambang ini sudah sangat tua, serabut-serabut keluar dan menyisakan lilitan tali tipis yang tersisa. Beberapa kali Maimunah hampir terperosok ke sungai karena licinnya tapi pijakkan akibat guyuran air hujan. Kakinya tak cukup lihai menahan gemetar ketika menyeberang jembatan tali yang bahkan tidak pantas disebut jembatan. Seutas tali tambang yang direntangkan diatas sungai sebagai jalur penyebrangan. Kendati telah memakan banyak korban jiwa, jembatan ini masih tetap bertahan sebagai jalur utama keluar masuk desa.

Suatu hari ketika para pekerja kebun sedang mengambil air di sungai, mereka dikejutkan dengan mayat Randu yang telah membusuk dan terkapar di bibir sungai. Randu merupakan satu dari beberapa korban jembatan tali yang dapat ditemukan. Semenjak kejadian itu jembatan tali ditutup untuk beberapa hari. Tidak ada niat baik dari kepala desa untuk membangun jembatan yang lebih aman, katanya tidak ada dana dari pemerintah. Bahkan kalimat itu seperti menjadi mantra yang terucap setiap kali desakan datang karena korban berjatuhan.

Agam mengerjap-erjap, dalam gendongan Maimunah ia teringat kejadian beberapa tahun yang lalu ketika Syamsul-ayahnya terbujur kaku dengan mulut berbusa. Saat itu usianya masih lima tahun. Ia berjalan mendekat, jantungnya bedegup kencang, sekuat tenaga mencoba membangunkan namun sia-sia, Ayahnya tidak akan pernah terbangun. Kematian Syamsul merupakan hal yang sangat mengejutkan dan memilukan. Agam memekik di pangkuan malam ketika rembulan tak menyuar. Wajahnya berubah pucat pasi, Ia tergopoh-gopoh menuju kamar dan mendapati ibunya tidur terlentang. Agam seketika memeluk erat, air mata menetes dan menangis sekuat tenaga.

Tidak ada yang datang untuk sekedar mendoakan dan mengurus mayat Syamsul, hampir semua warga menjadi sangat kejam dan memboikot keluarga mereka. Dahulu ia pernah dihakimi warga karena menghajar Rasyid-tetangganya sendiri hingga tewas.

Pembelaannya di pengadilan tidak diterima. Ia bersikeras tidak berniat membunuh Rasyid kala itu. Ia hanya memberinya pelajaran dengan beberapa kali pukulan. Saat ia berlalu Rasyid justru hendak menyerang dengan pisau, Syamsul tidak tau dari mana Rasyid mendapatkan benda tajam itu. Atau memang Rasyid sengaja membawanya. Entahlah. Karena terkejut Syamsul pun menghindar dan mereka beradu kekuatan, antara hidup dan mati. Pertistiwa itu digambarkannya sangat mencekam, beberapa kali pisau itu hampir menggores leher Syamsul. Namun akhirnya Rasyid lah yang tertikam pisau miliknya sendiri. Darah segar mengucur deras membasahi tubuh Rasyid.

Sebenarnya Amarah Syamsul memuncak ketika melihat Rasyid mengintip istrinya yang sedang mandi dari balik lubang diantara celah gubuk. Hal itu bukan sekali dilakukan tetapi berkali-kali. Bahkan Syamsul telah memperingatkan dengan keras. Namun, sepertinya Rasyid memang bebal, ia tak mempedulikan peringatan Syamsul. Seperti ketika hari kematian Rasyid, menjelang matahari terbenam di ufuk barat, Syamsul pulang dari kebun dalam keadaan payah. Sampai akhirnya ia melihat Rasyid berdiri dari balik pintu kamar mandi menekan kedua pipi Maimunah dan mengancamnya.

Syamsul terkesiap dan murka, dari sorot matanya ia tampak ingin sekali menghabisi pengganggu istrinya itu. Rasyid berhamburan keluar melalui pintu belakang meninggalkan Maimunah yang masih terguncang. Tanpa pikir panjang Syamsul berlari mengejar Rasyid. Amarahnya kian memuncak. Rasyid berlai ke hutan melewati jembatan tali dengan sembrono.

Bagai jatuh tertimpa tangga, Syamsul tetap dinyatakan bersalah dan harus masuk bui ketika anaknya masih berada di kandungan Maimunah. Dua saksi yang awalnya diharapkan dapat meringankan hukuman ternyata memutuskan mundur. Mereka mengaku tidak melihat kejadian yang sebenarnya dan mengatakan jika Syamsul telah menghajar Rasyid dengan membabi buta.

Karena itu Syamsul harus merasakan jeruji besi dan tidak bisa menyaksikan kelahiran serta tubuh kembang putranya. Tidak ada yang tahu bagaimana sakit yang luar biasa dirasakan Syamsul. Hatinya hancur dan ia kalah dalam memperuangkan kehormatan istrinya. Di akhir hayatnya pun keadilan tidak dipihaknya, ia sendirian menahan sakit yang tak terperikan. Sekujur tubuhnya serasa terbakar. Tidak ada doa yang datang atau sekedar mengantarnya berpulang.

Rintikan hujan membuyarkan lamunan Maimunah, ia bergegas meraih ujung tali untuk membantu meloncat ke bibir sungai. Agam semakin mengeratkan pegangan. Wajahnya mengkirik tatkala melihat batu dan aliran deras sungai di bawah.

Maimunah menunduk dan melipat kedua lutut, menurunkan putra semata wayangnya itu dari gendongan. Seharusnya ini adalah hari yang membahagiakan karena Agam akan mulai mendaftar sekolah. Namun alam berkata lain, hujan turun semakin deras sementara jarak menuju sekolah masih terbilang jauh. Saat ini yang ada dibenak Maimunah hanyalah keselamatan dan masa depan Agam, ia akan terus berjuang  membesarkan putranya itu. Dikala Maimunah mulai putus asa, entah dari mana seperti bayangan Syamsul datang menumbuhkan keberanian dalam dirinya. Lepas itu Maimunah akan kembali tegar. Seperti itulah seorang Ibu, mereka akan lebih perkasa dari singa yang mengejar mangsa.

Bekas kandang kerbau yang hampir rapuh, hanya tersisa genting berserakan di atas reng merupakan satu-satunya tempat berteduh. Maimunah menggenggam telapak tangan Agam dan berlari ke rumah tua itu.  Mereka tidak akan pernah melupakan tempat ini. Rumah tua yang kini mereka pijak menyimpan banyak kenangan buruk. Saksi bisu atas pembunuhan Rasyid yang sebenarnya. Namun, nasi telah menjadi bubur, setelah sewindu tragedi berdarah itu terjadi tetap saja suaminya yang bersalah di mata hukum.

Hujan nampaknya tak menunjukkan tanda-tanda akan reda, percikan kasar jatuh mengenai badan mereka berdua. Sepertinya tidak ada gunanya berdiri mematung di rumah tua ini. Toh mereka juga tetap akan basah kuyup. Maimunah memutuskan menggendong Agam dan berlari kencang menuju sekolah. Kakinya mencengkeram, tanah hutan yang terguyur air ini sangat licin. Badannya mulai menggigil, rintik air sebesar biji kacang dengan kasar mengguyur sekujur tubuh. Ia menenggelamkan wajah Agam ke dadanya.

Sepulang dari pendaftaran sekolah, mereka tidak langsung pulang. Baju yang mereka kenakan kering dengan sendirinya diterpa angin sepoi-sepoi. Setiap hari Maimunah selalu menyempatkan diri mengunjungi Rati. Wanita tua itu selalu kesepian semenjak suami dan anaknya pergi.

“Jagung dan singkong rebus, mumpung masih hangat.” Kebulan asap dari jangung terlihat sangat lezat. Ia hanya terdiam sambil menatap Agam yang duduk di teras dan bermian kerikil menunggu Ibunya. Sebagai anak yang lahir dari seorang ayah yang dicap sebagai pembunuh, jelas psikis Agam sangat terganggu. Ia tak seceria teman sebaya nya. Maimunah hanya berdoa jika kelak Agam akan melupakan kenangan buruk itu dan hidup dengan bahagia.

Rati menatap Maimunah lekat-lekat, matanya berkaca, hanya Maimunah tetangga yang selalu peduli kepadanya meski kini ia tidak berjaya.  Sudah setahun ia hidup sendiri, sejak suaminya meninggal hidupnya semakin menderita. Rumah dan tanah yang dulu ia banggakan kini menjadi rebutan para keponakannya. Kini, bagian rumah kecil yang telah diberi batas satu-satunya hak milik Rati.

Rati berbisik ke telinga Maimunah “Andai Rasyid ku didik dengan benar, andai suamiku tidak memaksa saksi untuk mengundurkan diri, andai aku tidak memfitnah Syamsul pasti dia tidak akan pergi serta – ” Ia tidak dapat melanjutkan kalimatnya. Kesalahannya seakan terlalu banyak untuk disebutkan. Ia memeluk Maimunah dengan erat sambil menatap Agam yang tersenyum tipis kepadanya.

 

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan