Megawati telah menjadi ikon, lebih tepatnya mitos. Ia tak hanya dilekatkan pada partai berlambang “moncong putih”, tapi juga dilekatkan dengan kalimat pendek “wong cilik”. Semula ia tak sepopuler sekarang. Mungkin, ia tak jadi seperti sekarang kalau Suryadi yang sewaktu itu memimpin PDI tak menggeretnya di masa itu. Hadirnya sebagai politikus perempuan keturunan Bung Karno seperti sebuah kecelakaan. Akan tetapi kecelakaan itulah yang kemudian mendidiknya dan membuatnya menjadi politikus perempuan paling tangguh di negeri ini.
Baca juga:
- Soekarno Undercover: ‘Nyawa Soekarno Tak Lebih dari 5 Sen’
- Kisah Cinta Soekarno yang Tersembunyi dengan Heldy Djafar
Perawakannya yang bertubuh gendut, tak membuatnya susah bergerak. Ia justru selalu bergerak, tak berhenti berpikir. Jangan melihat dari sisi pendidikannya, ia tergolong sebagai mahasiswa yang tak menyandang predikat lulus. Tapi ia belajar, ia terlatih, ia digempur dan ditempa oleh zaman. Masa-masa Orde Baru membuatnya sadar, jalan politik bukan jalan yang mulus. Barangkali ia ingat pesan bapaknya saat bapaknya mengucap petuah padanya “perjuanganku akan lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”.
Ia dimusuhi Orde Baru, ia dianggap mengguncang kekuasaan Soeharto. Maka tatkala di tahun 1980-an ia tampil di muka publik, ada harapan, ada mimpi yang hendak ditaruh dipundaknya. Buku bertajuk Bukan Media Darling Biasa (2017) yang ditulis oleh jurnalis dari berbagai media ini merekam bagaimana Megawati menjalani laku politiknya. Tahun sebelumnya, para jurnalis juga pernah menulis buku berjudul Menangis dan Tertawa Bersama Rakyat (2016).
Bagi media, tampilnya Megawati dalam percaturan politik indonesia pada awal 1980-an, membuat media memiliki tokoh anyar. Media juga berharap ada kekuatan penyeimbang terhadap orde baru. Oleh sebab itu, Megawati menjadi daya tarik (h.71). Daya tariknya bukan hanya karena di masa itu amat sedikit sekali yang berani melawan kekuasaan Soeharto, tetapi Megawati amat jeli dalam menjalankan politiknya. Ia tak gegabah, sadar akan resiko melawan Soeharto, ia ingin ramah, dan tak menebar rasa benci.
Maka tatkala Suryadi dijadikan boneka kekuasaan Soeharto untuk membuat PDI tandingan, Megawati tetap santai, tak terlihat repot, tapi punya cara jitu. Setelah jatuhnya Soeharto, Megawati tak berhasrat terhadap kursi kekuasaan. Meski ia tahu, bahwa sebenarnya ia bisa saja karena dukungan pada waktu itu memungkinkan. Ia sadar, politik bukanlah jalan untuk meraih kursi. Tapi justru sebaliknya, politik adalah berjuangan dan mengabdi kepada rakyat.
Sebagai putri Soekarno, namanya pun kemudian melambung. Ia tak mau dilekatkan kepada nama besar bapaknya. Ia membuktikan diri, dengan jalan mengabdi kepada rakyat bersama partainya ketika itu menjadi DPR. Setelah duduk di kursi DPR, ia hendak dicalonkan menggantikan Habibie, meski suara mayoritas mengarah padanya, di tengah permainan politik Amin Rais, Gus Dur pun melenggang menjadi Presiden. Sikap Megawati yang bak kesatria, ia mengucapkan selamat pada Gus Dur. Sikap satria inilah yang kelak membawanya menjadi Presiden menggantikan Gus Dur.
Di buku Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX (2016) Pater Carey dan Vincent Houben juga menyinggung nama Megawati di awal bukunya. Ia bukan hanya menjadi simbol bagi kekuasan perempuan Jawa dalam konteks yang lebih luas di Indonesia. Di pemilu 2004, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memang kalah dengan partai demokrat selama dua periode yang membawa kekalahan Megawati sebagai Presiden Indonesia. Akan tetapi, ketika pemilu 2014, ketika partainya menang telak di pemilu legislatif, ia pun merelakan diri untuk tak mencalonkan diri menjadi Presiden. Sikap rendah hati serta patriotik ini melambungkan Megawati dan membuktikan jalan politiknya bukan jalan kursi kekuasaan semata. Pada akhirnya, Megawati mencalonkan Jokowi sebagai Presiden.
Meski tak menjabat sebagai Presiden, namanya masih saja disebut, dikaitkan sebagai sosok penting yang berada di balik politik yang dijalankan Jokowi. Inilah barangkali bukti bahwa Megawati meski ia jarang tampil di dalam panggung perpolitikan nasional, ia masih saja menjadi sosok menarik di mata jurnalis. Barangkali karena sosoknya yang irit bicara (pendiam), nasionalis, sekaligus memiliki integritas terhadap bangsa.
Itulah mengapa PDIP seperti susah mencari sosok, ikon, yang sampai sekarang dianggap sebagai benteng bagi partai ini untuk memikat “wong cilik” yang memiliki sifat dan watak seperti Megawati. Tak ayal, ketika beberapa waktu ini, di berbagai daerah, banyak terpasang spanduk yang berisi “Setia Megawati, Setia NKRI”. Jalan politik Megawati adalah simbol bagi politik “wong cilik”, ia tak akan menghantam kalau tidak dihantam, ia lebih banyak diam, tapi tidak menjadi pendiam semata. Ia bergerak, terus bekerja, untuk kesejahteraan rakyat. Barangkali tulisan di buku ini bukan sekadar catatan semata, tapi juga harapan agar kelak Megawati konsisten kepada jalan politik “wong cilik”, yang ikut terluka saat rakyat disakiti.
Belum ada tanggapan.