naga

Sepasang Ular di Atas Kuburan

“Kau itu lelaki, Upik. Bukan perempuan!”

Paman yang mendapati anaknya menuding-nudingkan telunjuk ke arahku, menghampiri Rahman dan memintanya pindah ke seberang pemakaman. Sepasang ular yang masih melengkung di dahan pohon kamboja itu masih mengamatiku. Aku tak berani mendongakkan kepala lama-lama. Selain sisiknya besar-besar seperti telapak tangan orang dewasa, kedua matanya tak kalah besar dan bulat seperti piring. Orang-orang kian penuh sesak ketika jenazah Simbah diangkat dari keranda, lantas ditaruh ke dalam kuburan.

Aku berusaha menahan isak tangis ketika bantalan tanah liat ditaruh sebagai pengganjal tubuh Simbah. Mata Rahman kian mendelik ketika aku tak berhasil menahan airmata manakala Ustad Yusuf mengumandangkan azan ke telinga Simbah lalu menutupi liang lahat dengan beberapa papan kayu. Padahal aku berusaha mati-matian agar kedua anak sungai dalam tubuhku itu tak mengaliri airmata, tetap saja mengalir ketika Ustad Yusuf meminta orang-orang yang hadir untuk memberikan maaf apabila Simbah memiliki salah selama hidup.

           

ilustrasi-azab-kubur

Sumber gambar: indonesiainside.id

Maka, demi menghindari tatapan Rahman yang menyala-nyala, aku alihkan pandang ke arah sepasang ular yang bola matanya bergerak-gerak. Aku bisa menangkap kilau bening yang lebih mirip airmata. Bahkan sepasang ular itu saling berangkulan, saling menguatkan. Barangkali keduanya merasakan kepedihan seperti apa yang aku rasakan sekarang. Melepas Simbah pergi, sama halnya melepas tiang penyanggah runtuh ke atas bumi. Dadaku kian panas. Panasnya kian menggelora sampai menjalar dan menyengat dari kepala ke telapak kaki.

            Simbah memiliki sebelas cucu. Lima lelaki, sisanya perempuan. Rahman paling tua di antara kami, lalu disusul aku yang setahun lebih muda. Sebagai saudara tertua, Rahman dijadikan panutan dan sering diminta menjaga adik-adiknya. Kuakui, Rahman memiliki tanggung-jawab ketika menjaga kami. Tapi aku tak suka ketika Rahman berkacak pinggang. Menuding-nudingkan telunjuknya ke depan hidungku. Lalu mulutnya mengeluarkan bahasa-bahasa kasar, dan dibiarkan oleh paman yang kebetulan melintas di halaman.

            Apabila kelakuan Rahman diketahui Simbah, tak jarang ia dihardik kasar dan menyuruhnya bermain ke lapangan, sedangkan Simbah memintaku bermain bersama cucu-cucu perempuan. Entahlah. Aku merasakan kehangatan ketika bermain bersama Salma dan yang lain. Aku tidak pernah dibentak. Tak pernah dikucilkan. Tak pernah kedua tanganku direntangkan ke dinding seperti yang dilakukan Rahman sehari sebelum Simbah pergi.

            Kala itu, aku yang tengah bermain lompat tali, tiba-tiba diminta ke kamar mandi. Aku yang takut setengah mati terpaksa menurut. Setibanya di sana, ternyata Aris dan Suki –kawan Rahman yang bertubuh tinggi dan besar– telah menunggu. Ketiganya tiba-tiba mengunci pintu lalu merentangkan tanganku ke dinding. Mulutku disumbal dengan kain kemudian celana yang kukenakan dilucuti. Aku menangis sesegukan dan berusaha melawan namun selalu kalah. Aku menangis ketika ketiganya meraba dan meremas-remas kemaluan. Aku menangis ketika mereka menjilati burungku seperti melahap manisan, lalu secara bergantian mereka memasukkan burung mereka ke dalam duburku. Aku tak pernah lupa erang kenikmatan yang bercampur perih jiwa. Sampai sekarang aku tak berani cerita pada siapa pun. Lagipula, siapa yang mempercayai cerita seorang anak yang tak punya ayah-ibu. Karena itu, kepergian Simbah benar-benar mengilukan tulang. Betul-betul ngilu.

            Sepasang ular itu tak lagi berpelukan. Namun, keduanya terus memandangku yang tak sanggup membendung tangis manakala tubuh Simbah ditutupi dengan tanah, dan Ustad Yusuf meminta anak-cucu Simbah menaburi kembang. Aku tak peduli kendati Rahman mendekat dan meludahi tubuhku. Tangisku kian membuncah bukan merasakan sakitnya perlakuan Rahman, melainkan menangisi kepergian Simbah yang takkan lagi menjadi penenang jiwa.

***

            Celakalah segala bala yang ditimpakan pada umat manusia.

            Usai menggelar tahlil dan doa, kelima pamanku duduk bersila di ruang tamu guna membicarakan hak asuhku yang ternyata jatuh pada Paman Ode. Menurut hasil musyawarah, hanya Paman Ode yang memungkinkan merawat, sebab ia seorang petani sedangkan almarhum ayah-ibuku, meninggalkan dua petak sawah dan sebidang tanah yang ditempati Paman Ode sekarang.

            Ternyata begini nasib malang seorang anak yang terbuang. Untuk dikasihi saja mesti dilihat dari warisan. Seandainya Simbah tahu, aku yakin ia akan marah dan mengusir anak-anaknya dari ruang tamu. Aku betul-betul merindukan Simbah. Kenangan bersamanya tiba-tiba menguar begitu saja. Kenangan ketika Simbah hendak pergi tak bisa aku lupakan.

            Saat itu mata Simbah mengerjap-ngerjap. Bibirnya membiru dengan mengeluarkan buih-buih putih. Tubuhnya kejang-kejang. Aku menangis sesegukan, sedangkan Rahman memelolot tajam. Itulah prosesi pencabutan ruh dari badan yang pertama kali aku lihat. Seandainya bukan permintaan Simbah, yang menyuruh anak-cucu lelakinya memandang perpisahan, tak bakal mau aku melihatnya.

            Dalam isak tangis dan dengung doa yang terbata-bata, aku melihat Simbah kesakitan dan tubuhnya kian gemetar. Lafad tauhid diucapkan berulang-ulang. Suara azan juga didengarkan di telinga Simbah. Hampir sejam lamanya Simbah mengerang kesakitan sampai akhirnya Paman Ode berkata, “Lepaslah apa yang engkau miliki, wahai Ayah. Lepaslah dan biarkan ia memilih di antara kami yang hendak mereka diami.”

            Usai berkata begitu, teriakan Simbah makin kendur. Makin lama makin tak bersuara. Makin lama makin kencang tangisku di ambang pintu. Sama seperti tangis yang aku tahan sekarang. Bersembunyi di bawah kolong meja memang bukan pilihan. Tetapi, aku ingin mendengarkan prosesi musyawarah para lelaki ini. Musyawarah yang berjalan lancar seakan-akan membahas hak hidup seorang anak sepertiku tidaklah penting.

            “Ode, apa kau memeriksa lemari Ayah?”

            “Hanya sebilah keris, dan sedikit dupa,” kata Paman Ode pada Paman Waris.

            “Tak ada kitab atau catatan-catatan?”

            Paman Ode menggelengkan kepala.

            “Dulu, Ayah punya sabuk putih. Di dalamnya terdapat bacaan. Tulisannya seperti Jawa pegon. Aku tahu karena Ayah meninggalkanya di sumur, setelah itu aku tak lagi diperkenankan melihat.”

            “Barangkali sudah hilang, Kak. Kalau tidak salah, itu terjadi sewaktu Kakak masih remaja, sedangkan kami masih kecil bahkan Ranu belum lahir.”

            “Bukan begitu, Ode. Ibu bilang, di dalam sabuk itu terdapat petunjuk melihat warisan Ayah. Bukankah Ayah selalu berkata, warisannya akan turun sampai generasi ketujuh, sampai anak-anak kita. Berarti di antara kita berlima, hanya satu orang yang diwarisi. Itulah mengapa aku bertanya, apakah ada kitab, catatan atau petunjuk untuk itu?”

            Semua tampak mengerutkan kening. Tampak sekali jika urusan warisan Simbah lebih penting daripada membicarakan bagaimana biaya pendidikanku selanjutnya, apakah dengan mengambil hasil panen sawah peninggalan orang tua, atau dari sawah Simbah sebab sebelum Simbah meninggal, aku diasuh oleh Simbah dan ia meminta anak-anaknya membiayai sekolahku dari sawah punya Simbah.

            “Sebetulnya ada rahasia yang saya rahasiakan sampai sekarang.”

            Semua mata lelaki menjurus ke arah Paman Ode. Termasuk aku yang mengintip dari celah taplak meja.

            “Warisan Simbah tidak menurun pada kita sebagai generasi keenam. Melainkan langsung turun pada generasi terakhir. Generasi ketujuh.”

            Lelaki-lelaki itu menggeleng tak percaya. Semua tampak terperanjat. “Tak mungkin, Ode. Tak mungkin.”

            “Lantas sekarang saya bertanya siapakah di antara kita yang melihat penampakan ular sewaktu pemakaman Ayah?”

            Lelaki-lelaki itu tak menyahut, kecuali Paman Ode yang berkata lantang. “Hanya satu yang melihatnya. Hanya satu.”

            Paman Ode menyuruh orang itu masuk ke ruang tamu. Dadaku bergemuruh ketika Paman Ode menyebut nama anaknya di depan saudara-saudarnya. Bahkan Rahman diminta menjelaskan perihal ular di atas kuburan. Dengan bibir gemetar, Rahman bercerita kalau ia melihat seekor ular di atas kuburan sewaktu hendak pulang. Paman-paman yang lain menggaruk-garukkan kepala. Lama sekali mereka merenung sebelum akhirnya percaya dan berebut menyalami Rahman. Mereka lega karena masih ada penerus Simbah sebagai pemilik ilmu yang menghubungkan langit dan bumi.

            Bibirku kelu. Mataku panas mendengar penuturan Rahman. Ingin sekali aku menghambur keluar dan mengatakan yang sebenarnya. Tapi aku tak memiliki keberanian. Sampai akhirnya, sepasang ular di mana kilau bening matanya masih sembab tetiba muncul di hadapan. Keduanya mengelus kepala sampai aku terlelap. Sampai-sampai aku bermimpi bertemu Simbah. Dalam mimpi itu, Simbah memintaku tak bercerita pada siapa pun perihal sabuk putih yang aku kenakan, dan sepasang ular di atas kuburan.

, , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan