Apa jadinya jika seorang dai mempraktikkan ajaran agama dengan cara memperkeruh suasana? Tentu masyarakat yang mendengarkannya akan terpecah-belah. Ada yang menyikapi secara bijaksana, atau sebaliknya, terkesima dengan gaya ceramah semacam itu. Padahal kita kerap menemui, baik secara live maupun via media sosial, ada beberapa penceramah yang menyampaikan dogma agama melalui bahasa menakutkan nan menyeramkan.
Orasinya sangat menggelegar. Apabila terdapat muslim yang lain tidak sependapat, tak jarang disebut kafir. Murtad. Dan sebagainya. Apabila terdapat muslim yang lain terbukti menjalankan adat dan tradisi, tak segan-segan disebut musyrik. Menyekutukan selain Allah. Astagfirullah. Rasa-rasanya, Allah tidak memiliki sifat Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Boleh jadi seorang dai memproyeksikan dirinya memiliki gaya ceramah yang berbeda sebagai bentuk marketing. Tentu kreativitas tidak dilarang dalam agama. Tetapi berdakwah dengan menghukumi orang lain kafir, agaknya perlu dibenahi kembali. Sebab Rasul berdakwah melalui budi pekerti tinggi nan luhur. Jauh dari hingar-bingar caci maki. Jauh dari kata-kata yang mengajak orang lain membenci saudaranya sendiri. Padahal sebagai sosok yang katanya paling paham soal agama, mestinya Nabi dijadikan model dan rujukan dakwah.
Miris memang mendapati ceramah-ceramah yang menghadirkan gelap ruang dalam pemikiran. Sebab hal ini berakibat pada konsumen yang mendengarkannya. Tak heran jika akhir-akhir ini, gejolak dalam negeri tidak pernah jauh dari soal sensitivitas agama. Sebab sumbu yang menyalakan api salah satunya bersumber dari dakwah yang disampaikan melalui caci-maki.
Benar kata Cak Nun dalam bukunya yang bertajuk “Islam Itu Rahmatan Lil Alamin. Bukan Untuk Kamu Sendiri”. “Kalau ada orang yang memilih menghindari apa saja yang tidak dilakukan Rasulullah, itu bagus. Tapi jangan memaksakan pada orang lain. Rasulullah kalau berpakaian selalu di atas mata kaki, lalu Anda membuat celana di atas mata kaki, itu bagus. Selain menghemat kain, kalau banjir tidak basah, itu bagus. Meskipun tampak janggal, tetapi tidak masalah, yang penting “masuk surga”.
Namun saran saya, jangan hanya pakaian Rasul yang ditiru. Tiru juga cara makannya, atau tiru luas rumah Rasulullah. Rumah Rasul dan Siti Aisyah itu, panjangnya 4,80 meter, lebarnya 4,62 meter. Kalau Anda memang benar-benar cinta pada Rasul seperti yang Anda gembar-gemborkan, buatlah perumahan yang luasnya seperti luas rumah Rasul. Jangan lebih luas, karena itu akan “menyakiti” hati Rasul. (Hal. 152)
Inilah yang tersaji pada masa kini. Dakwah bermodel memaksa. Seakan-akan hukum Islam hanya memiliki dua pilihan, yakni halal dan haram. Padahal masih ada hukum yang lain; sunnah, makruh dan mubah. Agaknya, para dai yang ingin memfokuskan diri berjuang di jalan Allah dengan cara berdakwah, perlu menyetel ulang metode dakwah yang hendak disampaikan. Entah melalui materi, gaya penyampaian bahkan tingkah laku sehari-hari. Sebab tidak mudah menjadi dai yang konsisten antara apa yang disampaikan dengan apa yang ia praktikkan.
Sebagai penyambung ajaran agama, seorang dai mesti banyak membaca. Menurut Prof. Quraish Shihab, membaca itu tak mesti yang tertulis atau tak tertulis. Ia harus membaca apa pun, termasuk membaca masyarakat. Karenanya, selaku pendakwah yang sikapnya harus adiluhur, sejogjanya segala tindak-tanduk sehari-hari harus mencerminkan sifat rahmatan lil ‘alamien. Rahmat untuk semesta alam bukan untuk segolongan.
Apabila Anda seorang dai dan merasa kekurangan rujukan, buku Cak Nun yang satu ini boleh masuk dalam daftar bacaan. Percayalah, buku setebal 262 halaman ini akan mengajak Anda untuk merenungi kembali makna rahmatan lil alamien. Anda tidak akan diajak menyelami panasnya neraka kedengkian, justru Anda akan menemui ketentraman melalui sikap saling menyayangi antar umat manusia, baik yang seagama maupun lintas agama. Setidaknya, dakwah yang Anda lakukan nantinya akan bernuansa sejuk dan damai untuk semesta alam. Semoga.
Belum ada tanggapan.