Cak Dullah duduk dengan muka was-was. Wartawan yang berada di baris depan pengunjung, sibuk mengambil gambar. Cak Dullah yakin, esok hari wajahnya akan terpampang di halaman depan koran nasional sebagai terdakwa pembunuhan terhadap Hermawan, calon bupati yang bakal maju bulan depan.
Jadwal sidang hari ini adalah vonis dari majelis hakim. Tetapi, pikiran Cak Dullah masih terngiang ke peristiwa dua Minggu lalu, saat sidang keterangan saksi. Waktu itu, Karyono memberi kesaksian tak terduga. Cak Dullah tak menyangka. Kawan yang dulunya ditolong dengan meminta Pak Hermawan memilih Karyono menjadi supir pribadi, kali ini menusuknya dari belakang. Cak Dullah yakin, Karyono memberi kesaksian palsu demi uang. Lagi-lagi uang menjadi penentu kasusnya ke depan.
Seandainya ia tak mengingat nasehat ibunya agar senantiasa sabar dalam keadaan apapun, barangkali Cak Dullah sudah memaki dan meninju muka Karyono waktu itu. Bisa-bisanya Karyono mengatakan jikalau dirinya melihat Cak Dullah menusuk Hermawan di ruang tamu. Padahal waktu itu, justru Cak Dullah yang menemukan majikannya terlentang tak sadar dengan pisau menancap di perut. Cak Dullah yang baru selesai menyiram tanaman, berteriak histeris melihat Hermawan bersimbah darah.
“Maafkan saya yang tak bisa membantu Cak Dullah,” ucap Galih, pengacara yang disediakan negara bagi mereka yang tak mampu seperti Cak Dullah. “Panjenengan tahu sendiri, pengacara seperti saya tak punya kuasa apa-apa.”
Cak Dullah terdiam. Tadi sebelum masuk ruang sidang, pengacaranya sudah berbicara terang-terangan kalau tak bisa membantu Cak Dullah dengan kasus yang dialami. Selain persoalan uang, keselamatan sang pengacara dan keluarganya juga penting. Sebab ada orang besar yang bermain dengan kasus ini.
Akhirnya, setelah menunggu giliran sidang, Cak Dullah dipersilakan duduk di kursi tengah. Tepat di muka majelis hakim, pikiran Cak Dullah semrawut. Ia sibuk memikirkan nasib ibunya yang sudah tua, sedang anak dan bininya semakin melarat setelah ditinggal menghuni penjara. Tetapi, Cak Dullah tak mau berdiam diri. Dia memikirkan cara untuk menunda sidang vonis ini. Bagaimanapun juga, dia percaya keajaiban Tuhan. Ia yakin, Tuhan akan membantunya. Dan sekarang, dia ingin menunda sidang kali ini. Cukup kali ini.
“Apakah Saudara dalam keadaan sehat?” tanya hakim ketua.
“Sehat, Pak Hakim.”
“Agenda sidang hari ini adalah pembacaan putusan. Apakah Saudara siap mendengarkan putusan yang akan kami sampaikan?”
“Siap, Pak Hakim. Tetapi sebelumnya, izinkan saya menyampaikan satu hal.”
“Ya, silakan,” jawab hakim ketua.
“Sebenarnya, apa pengertian pembunuhan itu, Pak Hakim?”
Kontan seisi ruangan tertawa. Ada yang mengoceh, ada juga yang mencaci.
“Jadi, Saudara tak paham arti pembunuhan?”
“Benar, Pak Hakim.”
“Pembunuhan itu yang Saudara lakukan terhadap korban!” celetuk jaksa penuntut umum, mengundang tawa para pengunjung.
Cak Dullah tersenyum. “Kalau begitu, kita semua adalah pembunuh termasuk Ibu Jaksa dan Bapak Hakim.”
Suasana langsung hening. Tak satupun mengeluarkan suara dan menunggu ucapan Cak Dullah berikutnya. Begitupula para hakim yang tak lagi sibuk bermain gadget. Kali ini, mereka antusias mendengarkan pandangan Cak Dullah.
“Pembunuhan artinya menghilangkan nyawa. Sedang barusan, Ibu Jaksa memukul dan membunuh nyamuk yang menggigit tangan Ibu Jaksa. Begitu juga di lain waktu. Ada semut yang menggigit, kita langsung membunuh. Ada nyamuk yang menggigit, kita juga membunuhnya. Itu artinya kita semua adalah pembunuh.”
Para pengunjung manggut-manggut. Dengan sendirinya mereka mengiyakan ucapan Cak Dullah.
“Begini, Saudara. Pembunuhan memang diartikan menghilangkan nyawa. Tetapi di dalam tataran hukum negara kita, nyawa yang dimaksud adalah nyawa manusia. Bukan nyawa binatang,” kata hakim ketua.
“Berarti Pak Hakim tak paham tentang konsep nyawa. Bagaimana Pak Hakim akan memvonis saya lantaran menghilangkan nyawa orang lain, kalau Pak Hakim sendiri tak tahu arti nyawa itu sendiri. Pak Hakim muslim, bukan? Kalau begitu, kita sering mengucapkan kalimat duka saat ada yang meninggal. Yaitu, kalimat Innalillahi Wa Innailaihi Raaji’un. Itu artinya apa? Artinya adalah setiap yang bernyawa pasti akan kembali kepada Tuhan. Dan itu termasuk nyawa binatang. Sebab di sana tidak disebutkan kalimat setiap nyawa manusia akan kembali kepada Tuhan, tetapi setiap yang bernyawa akan kembali kepadaNya. Dan binatang juga bernyawa.”
Wajah hakim ketua memerah. Tampaknya, Cak Dullah berhasil mempermalukan hakim di ruang sidang. Sebab sang hakim tiba-tiba mengangkat palu. Menunda persidangan ke Minggu depan, lalu mengetuk palu itu tiga kali. Sidang ditutup, dan akan dilaksanakan seminggu lagi.
Kali ini, Cak Dullah berjalan agak pelan menuju mobil tahanan. Setidaknya, Cak Dullah memiliki waktu seminggu mencari keajaiban Tuhan. Setiba di sel berukuran dua kali tiga meter yang dihuni empat belas orang, di mana tiga orang tidur di kamar mandi, ia duduk termenung memikirkan cara meloloskan diri dari cengkeraman orang-orang licik itu.
Dia tahu, jaksa dan hakim sudah disusupi uang. Sebab berulang kali Cak Dullah menyampaikan kesaksian jikalau dirinya tak membunuh Hermawan, dan mendapatkan perlakuan kasar selama di kepolisian agar mengakui perbuatannya. Tetap saja tak ada yang peduli. Buktinya, mereka menghadirkan saksi palsu yang memberi kesaksikan palsu. Dan hakim, tak pernah menindaklanjuti pengakuannya.
“Makan dulu, Cak. Tak baik membiarkan perut kosong,” ujar Misnoto yang melihat Cak Dullah memandang langit-langit ruangan.
Cak Dullah hanya menoleh. Jika tak beradu cepat, ia tak bakal memperoleh jatah makan. Sebab akan dimakan yang lain. Tetiba, Cak Dullah berdiri ke arah kerumunan teman-temannya itu. Duduk di samping Arip, lalu makan menggunakan tangan kiri. Begitu seterusnya. Baik mandi atau memakai baju, menggunakan tangan kiri. Mulai sekarang, dia menggunakan tangan kirinya untuk beraktivitas. Keadaan ini mengundang khawatir di kalangan teman-teman satu sel. Tetapi, mereka tak berani bertanya kepada seorang pembunuh. Mereka hanya memandang heran, lalu membiarkan Cak Dullah melakukan segala kegiatan dengan menggunakan tangan kiri. Bahkan, dia sengaja berdiam di kamar mandi. Berlatih melempar dan menangkap gayung atau sabun menggunakan tangan kiri.
***
Hari ini adalah sidang vonis Cak Dullah. Kali ini, para pengunjung banyak yang hadir. Hanya Misra’ie, tetangganya yang datang membesuk kemarin itu yang datang melihat persidangan. Sedang yang lain, adalah keluarga Hermawan yang tak jarang mengeluarkan sumpah serapah saat melihat Cak Dullah memasuki ruang sidang.
“Sebelum saya membacakan putusan, ada baiknya saya jelaskan kepada Cak Dullah tentang pembunuhan yang ditanyakan Minggu lalu,” ujar hakim ketua. “Sebagai negara hukum, tentu kita harus menaati hukum dan peraturan di negara. Itu semua, agar ketertiban tetap terjaga. Sedangkan pembunuhan terhadap binatang, ada beberapa peraturan yang menyatakan tentang penyiksaan terhadap binatang, tetapi tidak semua binatang masuk dalam kategori ini. Di peraturan tersebut disebutkan binatang apa yang masuk dalam kriteria penyiksaan. Sedangkan nyamuk dan semut yang dicontohkan Cak Dullah, selain tidak termasuk dalam peraturan tadi, juga biarkan Tuhan yang memutus. Apalagi, kami para hakim bertanggung jawab kepada Tuhan. Dan tugas kami, sesuai peraturan negara kalau pembunuhan adalah menghilangkan nyawa manusia bukan nyawa binatang seperti nyamuk atau semut.”
“Langsung bacakan vonisnya, Pak Hakim!” entah siapa yang berteriak dari bangku pengunjung itu.
“Tenang, tenang. Saya harap, para pengunjung tidak mengganggu jalannya persidangan. Baiklah, saya akan bacakan putusan Cak Dullah atas kasus pembunuhan berencana terhadap saudara Hermawan.”
“Sebentar, Pak Hakim!” Misrai’e yang berjalan agak pincang, berjalan ke arah meja penasehat hukum. Lalu melempar buku ke arah Cak Dullah. Dengan sigap Cak Dullah berdiri dan menangkap dengan tangan kiri. Misra’ie kemudian mengambil pulpen yang dipegang pengacara, lalu melemparnya ke arah Cak Dullah. Dengan tenang, Cak Dullah menangkap dengan tangan kiri. Begitu seterusnya. Misrai’e mengambil buku’buku di tas penasehat hukum, lalu melempar ke arah Cak Dullah yang ditangkap dengan tangan kiri. Selesai itu, Misra’ie berdiri persis di samping Cak Dullah.
“Sebelum Pak Hakim memutus kasus ini, adalakanya Pak Hakim kembali melihat apakah Cak Dullah benar-benar melakukan pembunuhan atau tidak.”
Para wartawan yang kali ini jumlahnya belasan, sibuk memgambil gambar Misrai’e.
“Di dalam BAP penyidikan yang sudah dibacakan semenjak Minggu-minggu lalu, disebutkan bahwa Cak Dullah membunuh Hermawan dengan cara menusukkan pisau ke perut korban. Lantas, hasil penyidikan tersebut juga menyertakan alat bukti berupa pisau yang terdapat sidik jari tangan Cak Dullah. Sayangnya, sidik jari di pisau itu adalah sidik jari tangan kanan Cak Dullah. Sedangkan Cak Dullah sendiri adalah seorang kidal. Buktinya, dia menangkap apa yang saya lempar dengan menggunakan tangan kiri. Dan seorang kidal, akan melakukan pembunuhan menggunakan tangan kiri. Mustahil menggunakan tangan kanan jika tidak ada manipulasi data di BAP tersebut.”
Para pengunjung tercekat mendengarkan penuturan Misra’ie. Begitupula wartawan yang langsung sibuk mewawancarai Misrai’e dan Cak Dullah usai sidang. Kali ini, Cak Dullah tersenyum menang. Ia yakin, ia bisa keluar dari lingkaran setan. Dan benar. Majelis hakim memvonis bebas atas kasus yang menimpanya dengan alasan terdapat kesalahan fakta dan data.
“Adakalanya kita harus lebih licik menghadapi orang licik seperti mereka,” batin Cak Dullah saat keluar dari penjara. Sedang di seberang sana, sebuah mobil hitam dengan pakaian serba hitam, mengawasi Cak Dullah yang berjalan pelan.
Belum ada tanggapan.