Jaksa menuntutku atas tuduhan pembunuhan Amir dan Fariz. Padahal mereka tak tahu apa yang sebenarnya kurasakan. Hakim pun begitu. Seolah-olah mereka bekerja sama menghukumku selama mungkin. Aku ini ibunya. Aku yang paham kalau surga adalah tempat terbaik untuk mereka. Barangkali memang benar. Hakim yang paling adil hanyalah Tuhan. Bukan seperti hakim di muka bumi,yang sebagian besar tertangkap lantaran korupsi.
Aku menikah tujuh belas tahun lalu. Baru dikaruniai buah hati saat pernikahan kami menginjak usia ke tujuh. Perasaanku teramat bahagia, saat melihat sosok Amir dengan bulu matanya yang lentik. Dan kebahagiaanku bertambah, saat Fariz lahir dua tahun kemudian. Suamiku pun begitu. Dia lebih giat bekerja, demi menyongsong masa depan kedua anak kami.
Sebagai seorang ibu yang katanya menjadi sekolah pertama bagi anak-anaknya, aku banyak membaca buku dan menceritakan kembali kepada mereka sebagai pengantar tidur. Keduanya sangat antusias. Apalagi, saat kukisahkan kesatria Pandawa atau tentang Rahwana. Mereka sangat menikmati. Bagiku, dongeng tentang ksatria amat dibutuhkan. Mengingat, kedua anakku lelaki. Dan laki-laki harus bersikap ksatria.
“Kenapa Minak Jinggo dibenci, Bu?” dibandingkan adiknya, Amir sangat sering mengutarakan pertanyaan yang kadang-kadang memerlukan sekian detik agar aku bisa menjawab dengan baik. Sebab aku harus menyusun kalimat yang sekiranya sesuai dengan usianya.
“Kata siapa Minak Jinggo dibenci? Justru dia dianggap pahlawan oleh rakyat Blambangan.”
“Tapi, di ludruk yang dipentaskan di lapangan, Minak Jinggo dibenci, Bu.”
Aku ingat, kemarin malam ada pementasan Minak Jinggo dan Damar Wulan di lapangan. Kedua kesatria itu bertarung demi mempersunting Kencana Wungu. Parahnya, dalam drama itu Minak Jinggo dianggap sebagai musuh. Padahal kalau mau menelusuri lebih jauh lagi, atau berkenan datang ke Banyuwangi, Minak Jinggo justru menjadi simbol pahlawan. Masyarakat Blambangan kala itu menilai, kalau Minak Jinggo berjuang demi kebenaran.
Terkadang aku bingung menempatkan sejarah. Tetapi memang begitulah adanya. Kalau hanya ada satu versi, barangkali tak ada tantangan bagi peneliti sejarah. Sedang aku, berupaya agar anakku mengenalkan sejarah lewat kesenian. Meskipun suamiku tak suka. Iya, dia tak mau aku menceritakan cerita yang konon katanya tak bermanfaat bagi Amir dan Fariz. Lebih baik aku memberikan mereka cerita tentang kejayaan Islam di masa lalu atau di masa sekarang.
Baiklah. Aku tak mempersoalkan kisah perjuangan Islam. Tetapi cara suamiku mengemas cerita itu yang membuatku mengelus dada. Pernah di suatu malam, kudapati suamiku memberi nasehat, agar kelak Amir dan Fariz harus seperti pejuang Osama bin Laden. Tokoh Al-Qaida itu. Sungguh, aku tak suka suamiku bercerita tentang teroris. Meskipun dia berkilah, katanya tidak mengajarkan anak-anaknya untuk menjadi teroris, melainkan mengajarkan anak-anaknya untuk senantiasa belajar darimana saja termasuk dari teroris. Tetap saja itu berbahaya. Tetapi suamiku kembali menenangkan diri. Katanya, kita perlu belajar dari Osama bin Laden tentang semangat memperjuangkan sesuatu. Bukan tentang menghancurkan sesuatu.
Aku setuju, jika memang benar begitu. Sebab belajar memang harus darimana saja. Bahkan dari iblis pun kita harus belajar, yakni tentang keistiqomahannya. Sayangnya, mengisahkan anak-anak tentang teroris itu beda konteks. Bisa-bisa, keduanya malah mengingat bagaimana Osama bin Laden melancarkan aksi-aksinya.
“Sebaiknya kamu berhenti menceritakan tentang kisah kerajaan nusantara,” ucap suamiku di malam itu. “Semua kerajaan musnah akibat berebut kekuasaan. Kisahkan saja kerajaan Islam yang berjaya di masa lampau.”
Sungguh. Seandainya dia bukan suamiku, barangkali sudah kusiram kopi yang ada di atas meja ini. Sudah seminggu lebih, Mas Galih tak kerja. Dia sibuk mencari donatur, yang katanya uang hasil sumbangan itu akan diberikan untuk keperluan jihad seorang ulama’ yang aku sendiri tak pernah tahu siapa ulama’ yang dimaksud Mas Galih. Dan sekarang, dia datang dengan menegurku yang tengah mendongengkan kisah kerajaan Majapahit.
“Ibu, kenapa banyak kerajaan yang tidak bertahan sampai sekarang?”
“Karena banyak yang berebut untuk memimpin kerajaan.”
“Termasuk kerajaan Islam?” sela Amir tak sabar.
“Benar. Termasuk kerajaan Islam di masa lalu. Seperti Dinasti Umayyah yang berakhir karena perebutan kekuasaan. Dengar, Nak. Kekuasaan itu lebih mengarah ke nafsu. Dan nafsu tidak memandang agama atau suku apapun.”
Tetiba, Mas Galih yang baru selesai mandi, berdiri dengan raut muka tak sabar. Lalu menyuruhku keluar. Ia pun menggantikan posisiku di atas ranjang. Bercerita kepada Amir dan Fariz.
Aku yang cukup kesal, terpaksa ke dapur bermaksud membuat makan malam. Sayangnya, aku yang tengah penasaran dengan cerita yang disampaikan Mas Galih, sengaja kembali ke kamar, berdiri di luar pintu. Menguping cerita yang bakal dilontarkan Mas Galih. Sungguh, demi Tuhan aku ingin mencak-mencak di depan Mas Galih malam itu. Bisa-bisanya dia menyodorkan tablet yang berisi video tak pantas untuk Amir dan Fariz.
“Kita tidak akan tinggal di sini, Nak. Kita akan pergi berjihad dan membunuh mereka yang memusuhi Islam.”
“Kenapa harus dibunuh, Yah?” tanya Fariz kebingungan.
“Karena mereka tidak sependapat dengan kita. Jadi harus dibunuh.”
Aku yang tak kuat mendapati percakapan berikutnya, terpaksa menerobos masuk.
“Sebaiknya Mas Galih berhenti. Amir dan Fariz tak boleh dicekoki paham teroris.
“Paham teroris bagaimana? Itu kenyataannya, Rahmi.”
“Dengan membunuh yang tak sepaham dengan kita meskipun satu agama? Islam macam apa yang Mas Galih anut? Islam bukan agama yang radikal. Tapi, paham seperti ini yang menyebabkan Islam seakan agama pembunuh.”
Aku lupa, tak baik bertengkar di depan anak-anak. Tetapi sikap Mas Galih sudah tak bisa ditolerir. Malam itu, kami bertengkar hebat. Parahnya, Amir dan Fariz melihat kami yang mengeluarkan sumpah serapah yang tak pantas.
Semenjak malam itu pula, aku lebih ketat mengawasi anak-anak. Aku tak mau, mereka mendapat paham radikal seperti yang diajarkan suamiku. Entah dikatakan durhaka terhadap suami, tak apa. Ada Tuhan yang lebih tahu dari manusia. Setidaknya, aku Ibu mereka. Aku yang lebih tahu, mana yang baik dan buruk untuk keduanya.
Setelah pertengkaran hebat itu, Mas Galih jarang pulang. Bahkan di hari terakhir bertemu, kutanyakan perihal aktivitasnya. Sudah kutanyakan berkali-kali, ia terus berkilah. Katanya, sibuk hijrah. Naasnya, hijrah yang dimaksud Mas Galih tak seperti hijrah yang dianjurkan ustaz-ustaz di televisi. Hijrah Mas Galih adalah ingin pindah ke luar negeri, ke sarang teroris itu.
Aku yang penasaran, berusaha mencari celah. Saat Mas Galih ke kamar mandi, sengaja kucari tahu apa yang direncanakan suamiku itu. Dan aku, menemukan dokumen kepergian Mas Galih ke luar negeri dengan membawa Amir dan Fariz. Sungguh. Demi Tuhan aku ingin membunuh Mas Galih waktu itu juga. Bisa-bisanya kedua anakku diajak pergi ke Turki, lalu setelah itu menyeberang ke Syiria untuk bergabung dengan ISIS.
Aku mencoba berpikir jernih. Membunuh Mas Galih, kedua anakku pasti terbengkalai. Tak ada yang merawat, sebab aku tahu aku bakal dipenjara. Kalau aku membiarkan Amir dan Fariz ke Syiria, itu artinya aku membiarkan mereka menjadi teroris yang membunuh banyak orang. Sedangkan di akhirat kelak, Tuhan pasti meminta pertanggungjwabanku sebagai seorang ibu. Dan jalan terbaik adalah mengantar keduanya menuju surga. Dengan begitu, mereka tak bakal jadi pembunuh. Dan sebagai Ibu, kurasa, tugasku sudah cukup di muka bumi.
Belum ada tanggapan.