pembunuh-berdarah-dingin

Pembunuh

Tubuh anak itu menggelepar sebelum akhirnya membeku. Ia tak sempat menjerit ketika kepalanya dihantam sebongkah batu, lalu diseret dan dibenturkan ke dinding berkali-kali. Darah hitam kental mengucur dari batok kepala bagian depan. Gumpalan darah itu memenuhi lantai, sementara anak laki-laki –yang menyeret kawan sekelasnya itu- berdiri terpaku sewaktu lonceng berdentang tiga kali. Seketika ia memutar kran, menyucikan tangannya yang amis darah. Tak lama kemudian sayup-sayup ia melangkah keluar.

Di dalam kelas, di dalam laci kosong, anak itu menyembunyikan gemetar tangan ketika Guru Sanusi menanyakan sosok Oni yang tak kunjung muncul. Guru Sanusi meminta ketua kelas mencari murid lelaki yang paling gemar menorehkan keresalan. Anak itu kian menggigil ketika Guru Sanusi menoleh ke arahnya yang pucat pasi.

“Kau sakit, Mahrus?”

Anak itu menunduk sedalam-dalamnya.

“Mahrus, kau sakit, Nak?”

Ia tak jawab. Justru berdiri, dan memungut tas selempangnya yang berwarna kusam, dan pamit pulang tanpa bersalaman. Guru agama itu tercengang.

Di bawah sapuan matahari, ia lewati deretan kios pedagang yang tak lagi ramai adegan tawar-menawar. Amis pindang dan cakalan menguar sepanjang jalan. Ia cium telapak tangannya, amisnya belum hilang. Seragamnya basah oleh keringat dingin. Selintas ada gerak bimbang ketika ia memasuki gang di sebelah musala.

Sembari menghela napas berkali-kali, ia menuju sebuah rumah kecil di antara rumah-rumah kecil di belakang pasar. Deretan rumah itu berada di tepi sungai yang selalu menghasilkan arus menakutkan ketika musim hujan. Darahnya mendesir sewaktu membuka pintu, ia dapati suara-suara aneh dari kamar depan. Butiran keringat pada tubuhnya mendadak mengucur. Matanya memerah manakala ia dapati sumber suara berasal dari kamar ibunya. Mulutnya termangu saat mengintip dari balik pintu, ternyata sang ibu tengah bermain-main di atas tubuh seorang lelaki.

Sekilas ia hendak membuka pintu lebih lebar, biar tampak segala yang telanjang, namun urung ia lakukan. Ia memilih menuju kamar belakang. Terlentang di atas kasur yang kapuknya mengeras. Tanpa melepas seragam, matanya kian panas. Andai ayahnya tak pergi. Tak mungkin ia menderita seperti ini.

Usia Mahrus tujuh tahun ketika ayahnya pamit pergi. Tak ada pertengkaran maupun umpatan sebelum ayahnya tak datang hingga hari ini. Bahkan ia masih didekap erat sebelum ayahnya berangkat ke Bali. Konon katanya, di sanalah perputaran uang tak pernah berhenti. Ia kerap membayangkan tengah naik kereta kemudian turun di stasiun paling ujung di Banyuwangi, lalu berjalan ke arah Pelabuhan Ketapang yang jaraknya sangat dekat. Dari pelabuhan itu, ia menyeberang lewat kapal yang setiap saat mengangkut banyak penumpang.

Ia akan tersenyum sendiri membayangkan pertemuannya dengan sang ayah. Ia tak pernah memutus harap. Tak seperti ibunya yang memilih melupakan kepergian suami. Sejak kepergian ayahnya itu, dagangan pindang dan cakalan ibunya makin laris. Entah apa musababnya, Mahrus tak mengerti. Yang ia pahami, ada kabar jika ayahnya tak mungkin pulang sampai kiamat datang. Riuh bicara mengalir dari mulut orang-orang. Apalagi di pasar yang tak hanya menjual beragam sayuran, melainkan juga menjajakan aib orang. Percayalah, aib keluarga akan serupa bahan dagangan yang berkembang biak lebih cepat dan melesat dibandingkan kucing yang sekali melahirkan bisa mencapai lima ekor anak.

Isu yang tak diketahui muasalnya itu menyebut, jika ayahnya beralih kelamin. Yang ia pahami dan diyakini, ayahnya adalah seorang lelaki yang juga memiliki kemaluan seperti dirinya, namun mengapa orang-orang menyebut kelamin ayahnya bukan lagi berbentuk panjang seperti mentimun, namun seperti bengkoang putih.

Berhari-hari sorot mata orang-orang tertuju padanya. Berhari-hari pula sang ibu memilih istirahat tak jualan sebelum akhirnya kembali bergairah. Tak seperti dirinya yang tersiksa sampai sekarang. Namun, ada seorang pedagang daging ayam yang selalu memanggil Mahrus sewaktu berangkat sekolah, dan menyelipkan beberapa ribu. Dari perempuan itu ia memperoleh cerita kalau ayahnya sebetulnya tak mengubah kelamin, namun bekerja di sebuah terapi pijat yang di dalamnya dipenuhi banyak orang yang mengubah kemaluan. Mahrus yang penasaran bertanya, mengapa ayahnya tak pulang jika memang tak melakukan seperti perkataan orang, pedagang daging ayam itu meminta Mahrus memerhatikan tingkah laku sang ibu. Maka, mulai hari itu, Mahrus lebih memerhatikan perilaku ibunya.

Ia memang tak bisa mengingat dengan baik, peristiwa apa yang terjadi sebelum ayahnya mendadak pamit pergi. Satu-satunya yang ia ingat hanyalah suara yang ia dengar sewaktu pulang dari sekolah. Ia ingat, suara itu muncul pada suatu siang, di hari Minggu, dan ayahnya mendadak pamit usai mendengar suara itu.

Semenjak ayahnya pergi, suara itu makin sering muncul. Mula-mula pada dini hari. Makin lama, tak kenal hari. Akhirnya, Mahrus mencari tempat pengalihan dengan berangkat sekolah pagi-pagi. Alih-alih mendapatkan kenyamanan di sekolah, justru tadi pagi, Novi mendadak meminta seluruh siswa kelas 6 untuk mengisi biodata sebagai kenang-kenangan. Novi ingin memiliki kenang-kenangan berupa foto dan biodata kawan sekelasnya. Mendadak tangan Mahrus bergetar sewaktu hendak menulis kolom ‘ayah’.

Bayangan ayahnya tetiba melintas. Jemarinya gemetar tak bisa menulis nama ayah. Peluhnya mengucur mengingat kenangan apa yang paling mengesankan. Oni yang berdiri tak jauh dari Mahrus melempari Mahrus dengan pensil.  Mahrus menoleh ke arah Oni yang berdiri di atas meja.

“Kau punya Ayah, Mahrus? Bukankah kau punya dua ibu?”

Anak-anak tertawa mendapati seloroh Oni.

“Kau hendak tulis apa di kolom itu? Kau tulis ‘ayahku seorang banci’, begitu?”

Tawa anak-anak kian nyaring.

“Atau kau tulis saja nama ayahku. Bukankah ibumu tergila-gila sampai-sampai ayahku selalu bermalam di rumahmu?”

Mahrus hendak menghajar Oni. Tapi Oni keburu meloncat dari meja, menghampirinya lalu berbisik di telinga.

“Kalau orang tua kita menikah, bolehlah aku garap selangkangan ibumu sekali-kali.”

Bel berbunyi tiga kali. Tawa anak-anak belum reda ketika keluar kelas. Mahrus mendadak tak nafsu jajan. Ia hanya ingin ke kamar mandi. Menangis sejadi-jadinya di dalam sana. Bukankah selama ini ia kerap menangis hanya di dua tempat saja? Di kamar dan kamar mandi?

Ia baru sampai di samping musala sewaktu melihat Oni masuk kamar mandi. Mahrus yang melihat sebongkah batu yang besarnya lima kali lipat dari genggaman, memungutnya lalu menunggu Oni dari balik pintu. Darahnya mendesir ketika ia mendengar siul Oni ketika buang hajat. Tangannya gemetar ketika gagang pintu berputar, lalu tampak Oni yang hendak membetulkan resleting celana, namun ia hantam berkali-kali. Anak itu tersungkur ke lantai. Cepat-cepat Mahrus menutup pintu. Ia seret tubuh Oni lalu membenturkan kepalanya ke dinding. Berkali-kali sampai anak itu mati.

“Rus! Mahrus!”

Bocah itu terkesiap ketika ibunya mendadak memutar gagang pintu yang lupa tak ia kunci. Rambut ibunya acak-acakan bahkan beberapa kancing belum terpasang benar ketika berdiri di samping ranjang.

“Ada Kepala Sekolah di ruang tamu.”

, , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan