perempuan-yang-tercantik

Perempuan yang Memesan Masakan Sama

Sudah dua minggu lebih, perempuan itu memesan makanan yang sama. Nasi dengan sayur lodeh, ditambah sepotong ampela. Itu saja. Tak pernah berubah. Sesekali menambah kerupuk. Sesekali pula minum es jeruk. Selebihnya, hanya nasi berlauk ampela hati. Ditambah sebotol air.

Tak ada yang aneh dari penampilan perempuan itu. Sama seperti wanita pada umumnya. Rambut terurai sebahu, dengan alis melengkung indah ke bawah. Ah, iya. Senyum perempuan itu sangat manis dengan satu lesung pipi di sebelah kiri. Entahlah, mungkin aku yang terlalu memperhatikan sampai-sampai aku merasa ada keanehan pada perempuan itu. Raut mukanya seakan menyimpan sesuatu yang lama dipendam. Terlihat dari jeda antara satu suap ke suapan berikutnya. Ia pasti menerawang ke atas sambil mengunyah perlahan. Baru kali ini aku melihat seseorang menatap langit sambil makan. Biasanya, para langganan selalu khusuk di depan piring dan tak menoleh ke mana-mana. Kecuali, makan sambil menatap layar handhone atau ingin menambah nasi atau lauk. Ya, hanya dia yang tak sibuk memperhatikan handphone saat makan.

Setiap kali selepas adzan Dzuhur, perempuan itu akan datang dengan wajah yang agak lusuh. Barulah setelah memesan sepiring nasi berlauk empelo hati, lalu makan dengan lahap dan tak terlalu cepat, ia akan beranjak pergi. Kau tau, raut mukanya sewaktu makan terlihat menikmati sesuatu. Seakan masakanku benar-benar nikmat. Ia mengunyah penuh hati-hati. Mungkin, takut pencernaan di dalam perutnya luka. Seperti yang tercantum di dalam tulisan yang kubaca di sebuah koran, kalau mengunyah nasi haruslah berpuluh-puluh kunyahan. Dengan begitu, makanan akan dicerna lebih baik dan tak merusak usus. Entah kemana koran itu. Paling-paling, sudah kujadikan pembungkus nasi.

“Mbak, kenapa perempuan itu selalu memesan makanan yang sama?” Lastri, adikku yang paling bungsu juga ikut penasaran. Sesekali saja ia membantu di warung. Kalau di sekolah tak ada les tambahan, ia pasti membantu.

“Aku tak tau juga. Biarkan saja. Yang penting dia tetap makan di warung kita.”

“Tak boleh aku tanya?”

“Hush! Jangan begitu. Meskipun pedagang, kita harus tetap punya etika.”

“Ah, orang-orang atas banyak yang tak punya etika. Banyak bicara tapi tidak melakukan apa yang dibicarakan.”

Aku mengelus Lastri. Entah kenapa, di dalam keluarga hanya Lastri sendiri yang sering mengkritik para penguasa saat berbicara di layar tivi. Meskipun masih kelas satu SMA, kuakui daya kritis Lastri sangat jauh di atasku yang lulusan SMP.

“Jangan begitu. Mereka sudah memilih untuk berperilaku seperti itu. Ambil baiknya saja.”

Lastri cemberut. Tiba-tiba saja ngeloyor pergi. Eh, bukan. Dia menuju perempuan itu. Ah, Lastri. Kalau sudah penasaran, nalar logikanya akan kalah.

“Mbak yang tadi pagi ketemu di depan halte, kan?” Lastri membuka percakapan. Aku sendiri pura-pura membuka majalah yang agak usang. Entah kenapa, aku ingin mendengarkan perbincangan keduanya.

“Ya, begitulah. Kenapa, Dek? Ah, paling-paling kau penasaran soalnya memesan makanan yang sama setiap hari, kan?”

Entah perempuan itu memiliki indera keenam, atau perbincanganku tadi terdengar, aku tak bisa menebak. Lastri pun tak langsung menjawab pertanyaan perempuan itu. Baru kali ini dia tak bisa menjawab cepat segala macam pertanyaan. Dia terlihat seperti pencuri yang ketahuan pemilik rumah.

“Sebenarnya, aku pertama kali makan empelo hati ya, di sini. Enak. Sebelumnya, aku tak mau. Bau amis begitu. Eh, pas makan di sini, aku jadi ketergantungan.”

Ah, aku merasa perempuan itu sedikit berlebihan. Tak mungkin masakanku seenak yang dikatakan barusan. Meski beberapa pelanggan mengakui kelezatan masakanku, tapi mereka tak pernah memesan masakan yang sama setiap hari. Tak pernah. Sebab itu akan membosankan memakan lauk yang sama dan tak pernah berubah. Kecuali pelangganku yang satu ini. Sepertinya, ia tak sepenuhnya jujur. Ah, sudahlah. Urusan itu, biarkan berlalu saja. Aku tak mau menilainya buruk.

***

Sudah hampir dua minggu, perempuan itu tak lagi datang ke warung. Tak lagi memesan sepiring nasi berlauk empelo hati. Rasanya, ada perasaan ganjil saat tak menemuinya makan siang di tempatku ini. Bukan lantaran tak lagi makan di warung, tetapi aku penasaran yang tak lagi bisa melihatnya mengunyah perlahan-lahan. Apalagi, raut mukanya yang sangat puas saat selesai menyelesaikan suapan terakhir.

Lastri sendiri masih jauh lebih penasaran. Setiap pagi, ia selalu melihat sekeliling halte. Mencari perempuan itu. Barangkali, ia tetap duduk di sana. Seakan menunggu seseorang yang bakalan datang.

“Mbak, aku bertemu perempuan itu.

“Biarkan saja, Dek. Iris saja bawang itu. Tak usah bicarakan perempuan itu lagi.”

“Tapi bukan di halte. Aku bertemu di taman kemarin sore. Mbak tau, sore tadi aku juga melihatnya duduk di bawah pohon yang sama.”

Aku yang sedang menuangkan minyak goreng ke atas wajan, terpaksa melihat raut muka Lastri yang tampak serius.

“Mbak, perempuan itu seperti menunggu seseorang,” ucap Lastri dengan nada agak lirih. Raut mukanya juga ikut memelas.

“Kita tak tau apa yang terjadi, Lastri.”

“Ah, Mbak. Tatapannya itu seperti orang yang berharap tapi tak pasti.”

“Wah, sejak kapan adikku ini belajar puisi?” celetukku menggoda.

Lastri tersenyum manyun. “Aku serius, mbak.”

Beruntung seorang pembeli memanggil. Jika tidak, pasti adikku ini akan marah. Hey, perempuan itu. Ya, sosok yang dibicarakan Lastri barusan kini berhadapan denganku. Segera aku mengambil piring.

“Mbak, lauknya telur saja,” ucap perempuan itu sebentar.

Aku hanya mengangguk. Seperti terhipnotis. Padahal, aku ingin bertanya mengapa tak memesan empelo hati lagi. Ah, sudahlah. Padahal dulu aku ingin bertanya mengapa yang dipesan empelo hati saja. Sekarang, saat tak memesan lauk itu, aku juga ingin bertanya. Dasar tabiatku ini. Barangkali. Tabiat manusia yang lain juga sama.

Tak seperti biasanya, ia melahap nasi berlauk telur dadar itu begitu cepat. Tak pernah seperti ini sebelumnya. Mungkin ia terburu-buru. Atau, sedang ditunggu. Selesai makan, ia mengeluarkan selembar uang berwarna merah terang.

“Ambil saja kembaliannya, Mbak.”

“Hah?”

Aku tak bisa menahan kaget. Selembar uang seratus ribu, dengan harga nasi enam ribu bukanlah kembalian. Memang, beberapa pembeli terkadang membiarkan uang kembalian itu untukku. Hanya saja, berkisar seribu sampai lima ribu perak saja. Bukan sembilan puluh empat ribu seperti ini.

“Maaf, Mbak. Tapi ini ada kembaliannya,” ujarku sambil mengulurkan beberapa lembar uang sejumlah kembalian.

Perempuan itu berdiri sambil mengambil tasnya. “Tak apa, Mbak. Saya suka makanan di sini.”

Aku hanya mengangguk. Menatap perempuan itu yang berada di ambang pintu.

“Oh, iya, Mbak,” ucap perempuan itu menoleh ke arahku. “Saya sudah tak suka empelo hati lagi. Hati yang saya tunggu, ternyata sudah lama mati,” ucapnya sebelum melambaikan tangan. Perempuan itu, pergi ke arah timur. Melangkah ke arah perempatan menuju terminal.

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan