ilustrasi-kali-mayang

Sayap Kusut Kali Mayang

Segalanya begitu mudah berlalu. Kemarin petang, ketela-ketela yang hendak panen pekan depan itu masih utuh. Namun kini ludes terbawa arus Kali Mayang bahkan tak menyisakan satu batang. Semalam, hulu sungai di Surren mengamuk, menghantam apa saja yang dilewati. Tak kandang sapi, sawah-sawah di pinggir sungai, semua tercabut sampai akar.

            “Mengapa Lah Ta’ala senang menguji kita sampai-sampai ketela saja terbawa arus sungai?”

            Oh, seandainya tak menahan tangis, barangkali Maisaroh memperlihatkan air matanya pada Baqi, anak tertuanya yang masih berusia dua belas tahun. Barangkali karena perannya sebagai orang tua tunggal, Maisaroh menahan-nahan air mata yang hendak keluar. Barangkali, ia perempuan yang tak mau dianggap lemah, Maisaroh tak mau memperlihatkan batinnya yang kali ini benar-benar memeram derita.

            “Ibu, mengapa engkau diam saja? Benarkah pilu tiada akhir harus dirasakan orang melarat macam kita?”

            “Tak usah banyak bicara, Baqi! Aku masih sanggup bekerja. Engkau pun begitu. Lekaslah pergi ke bukit. Tak usah risaukan ketela yang hanya sepetak itu.”

Semenjak Sa’di meninggal dua tahun silam, kepergian mengajarkan perjalanan hidup tak disangka-sangka. Kehilangan menyadarkan Maisaroh bahwa sesungguhnya hidup di muka dunia tak punya kuasa apa-apa. Bahkan sekadar harapan hidup tenteram pun ia gamang. Tak heran jika ia belajar menahan-nahan gejolak jiwa. Menguat-nguatkan batin padahal sebenarnya hati teriris-iris.

Boleh jadi dulu ia tidak terima Sa’di mati. Sebab siapa sangka, lelaki penjual kelapa mati tersambar petir saat memanjat pohon kelapa manakala hujan tak begitu derasnya. Bukan tak paham isyarat alam atau justru melawan kehendak Tuhan. Tetapi, siang itu benar-benar tak ada pertanda jikalau petir bakal mampir di tubuh lelaki paro baya itu. Bukankah Sa’di mahir memanjat sejak kanak-kanak, tentu ia paham mana hujan yang menghasilkan petir mana awan yang hanya memberinya gerimis?

“Ah, Mai. Sedari tadi kau dicari Burhan. Tak lihatkah kau telat begini?”

Tak dijawabnya pertanyaan Misni, tumpukan tembakau yang harus dipilih segera ia kerjakan. Sebagai pemilah, Maisaroh bekerja membedakan tembakau berkualitas baik dan mana yang buruk berdasarkan warna daun. Jika menghitam dan kusam, dipastikan tembakau itu berharga murah. Beda dengan tembakau yang berwarna kuning merah keemasan. Harganya mahal.

Lain Misni, lain pula pertanyaan kawan-kawannya yang melihatnya datang terlambat.

“Duh, enaknya jadi kamu, Mai. Telat tak bakal disemprot habis-habisan.”

“Ah, kenapa kau tolak ajakan Burhan? Kurang apa coba, Mai. Sudah kaya, duda lagi. Si Baqi tak bakal gali pasir di bukit.”

“Apa? Kau tak mau menikah lagi? Masih setia kau pada Sa’di yang sudah mati.”

“Mai, Mai. Suami mati, kok, masih dipertahankan.”

Ingin rasanya Maisaroh mencak-mencak mendapati pertanyaan macam itu. Ingin menikam mulut-mulut yang serampangan bicara. Tetapi akhirnya ia memilih meninggalkan mereka ke lantai atas. Meninggalkan mereka-mereka yang selalu menyelipkan pertanyaan menyakitkan. Meski tembakau di depannya belum habis benar, ia terpaksa mengambil sekarung lagi demi menahan emosi.

Bila duda itu dipandang sempurna, tidak bagi Maisaroh. Apa-apa yang dijalani bersama Sa’di selama menjalin rumah tangga adalah penyebabnya. Bukan tanpa alasan Maisaroh tak terbuka hati. Sa’di adalah lelaki yang mengajarinya mensyukuri rezeki. Sedikit apapun, sesulit apapun. Bahkan saat tanah pemberian orang tuanya direbut kakak tirinya, Maisaroh disuruh bersabar sebab mengalah tak berarti kalah. Ah, sudahlah. Sa’di telah pergi. Bila pun harus sesengsara sekarang, setidaknya masih bisa makan.

“Mengapa telat, Mai? Masih menengok ladang, kah?”

Ai, Maisaroh tak sadar kalau kuli yang lain tak ada di tempat penyimpanan tembakau. Meski terkesan tak menghargai, Maisaroh berusaha membalas pertanyaan Burhan dengan anggukan kecil. Ia sendiri memilih menyibukkan badan dengan mengambil sekotak tembakau yang berada di susunan atas, namun tiba-tiba ia merasakan sesuatu menggerayangi tubuhnya. Sesuatu yang tak seharusnya terjadi di mana Burhan memeluk Maisaroh dari belakang. Begitu keras sampai-sampai Maisaroh tak bisa bergerak bebas. Disingkapnya pakaian Maisaroh ke atas, tetapi perempuan itu berbalik lalu menendang kelamin Burhan sampai lelaki itu terkapar kesakitan. Maisaroh bergegas lari. Ia tak lagi peduli akan gaji Minggu ini. Bahkan Maisaroh yang bertemu dengan Talwi di jalan memintanya memanggil Baqi agar segera pulang. Dalam benaknya ia harus pergi dari kampung ini. Bukankah dia diterima di Gudang LDO yang berada di tepi utara kabupaten? Bukankah, gaji di sana lebih besar dan sedikit bisa membayar kost berharga murah?

Sesampainya di rumah, Asan tak kalah bingung. Anaknya yang berusia tujuh tahun itu menatap ibunya yang mondar-mandir mengemasi pakaian. Asan tak berani bertanya. Ia hanya memeluk mobil-mobilan bekas pemberian Baqi sewaktu bapaknya meninggal.

“Mengapa kita harus pergi, Bu? Apa yang terjadi?”

“Ibu kerja di Gudang LDO.”

“Tidak bisakah kita pergi nanti sore? Bukankah ibu gajian hari ini?”

“Sekarang hari terakhir, Nak. Kalau telat ibu tak bisa kerja. Tak usah khawatir. Kita bisa sewa satu kamar. Gaji di sana jauh lebih besar.”

Meski tak terlalu yakin, Baqi turut membantu ibunya membawa satu tas besar dan satu karung berisi pakaian. Berjalanlah ketiganya ke pinggir Kali Mayang. Banjir semalam yang menghanyutkan jembatan memaksa mereka menyeberangi sungai. Padahal jalan itu satu-satunya penghubung menuju kota.

“Asan, dengarkan Ibu. Diamlah di sini. Ibu antar kakakmu ke seberang setelah itu Ibu kembali menjemputmu.”

“Tak mau. Aku ikut Ibu. Aku tak mau sendirian di sini.”

“Ah, lihat! Ibu dan kakakmu bawa banyak barang. Kau tak bisa digendong, Nak.”

“Pokoknya aku ikut. Aku mau ikut nyeberang”

Asan terus merengek. Maisaroh kehilangan akal mendiamkan pinta anaknya.

“Ibu hanya sebentar, Nak. Nanti kembali lagi.”

“Tak mau! Aku ikut Ibu.”

“Ah, nanti Kakak belikan mainan baru. Asalkan kamu mau diam di sini dulu.”

Asan menoleh ke arah kakaknya. “Benarkah? Kakak janji mau kasih aku yang baru?”

“Ya, aku janji. Pasti aku belikan.”

Meski sedikit menangis, Asan mengangguk setuju. Menyeberanglah anak dan ibu itu setelah sebelumnya memeluk Asan begitu lama. Baqi membawa satu tas besar sedangkan Maisaroh membawa sekarung pakaian. Sesampainya di seberang, Baqi menepikan barang-barang, dan Maisaroh kembali menyusuri Kali Mayang. Pelan-pelan ia berjalan mengingat bebatu diselimuti lumpur sisa banjir semalam. Asan yang berada di tepi utara meloncat-loncat girang mendapati ibunya mendekat. Tetapi perempuan itu justru menatap nanar manakala mendapati arus di depannya berwarna cokelat.

***

“Tidakkah Kau tunda sampai mereka semua di seberang?”

“Lakukanlah sesuai perintahKu.”

“Tetapi mereka baru kehilangan seorang ayah.”

“Semua yang bernyawa akan kembali padaKu.”

“Mereka masih kecil. Aku tak sanggup.”

“Kau hendak membangkang seperti Azazil?!”

“Sungguh, demi empat ribu sayap berbulu Za’faran, tujuh puluh ribu kaki yang kumiliki, aku mohon penangguhan waktu. Tak tega aku melihat nasib dua anak itu.”

“Apa yang kau lakukan, wahai Izrail?! Aku penguasa alam. Aku mengetahui apa yang tidak kau ketahui.”

Bayangkanlah apa yang terjadi. Saat Maisaroh hendak sampai di seberang, lalu tiba-tiba sungai kembali bergelombang, terseretlah tubuhnya ke arah hilir dengan tangan kanan mengarah ke selatan sedangkan tangan kiri mengarah ke utara. Kalau kau bertanya bagaimana perasaanku saat mengambil nyawa, sungguh, tak kuat aku mendapati adegan itu. Air mataku luluh lantak mencabut ruh yang berada di ujung kepala, tetapi tangannya masih ingin menyelamatkan anaknya. Kedua matanya timbul tenggelam melihat dua anak yang menangis sesegukan. Yang berteriak tak karuan. Memanggil ibunya yang terseret Kali Mayang. Bayangkanlah apa yang terjadi. Bagaimana kisah ini kuakhiri. Sedangkan kedua anak itu berada di bumi yang sama tetapi pijakannya berbeda. Terpisah begitu saja tanpa ayah ibu yang mati tak seberapa lama.

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan