WS Rendra telah jadi penyair yang melegenda. Puisinya bertransformasi dari puisi cinta, puisi religius, hingga puisi bernada kritik sosial. WS Rendra mengenyam pendidikan di American Academy of Dramatical Arts (1964-1967), darisanalah Rendra memiliki pemahaman yang cukup tentang dunia teater. Ia mendirikan Bengkel Teater sepulang dari Amerika. Selain menulis puisi, dan menulis naskah drama, Rendra juga menulis di koran maupun majalah. Rendra tercatat pernah menulis di Majalah Basis, Majalah Budaya Jaya, hingga harian KOMPAS di masa itu. Tulisan-tulisannya yang berserak itu akhirnya diterbitkan penerbit Gramedia Jakarta dengan judul Mempertimbangkan Tradisi (1984).
Buku Mempertimbangkan Tradisi memuat pemikiran-pemikiran WS Rendra dalam lapangan kesenian, teater dan kebudayaan. Ada empat tema pokok yang menjadi pemikiran Rendra ; Tradisi, Teater, Seni dan Masyarakat, dan Mahasiswa. Keempat tema tersebut adalah tema yang akrab, ia geluti dan menjadi keseharian Rendra.
Dalam pandangannya, Rendra menilai bahwa sebenarnya jawa memiliki banyak kekayaan tradisi. Seperti pada pengakuannya, buku Balada Orang-Orang Tercinta misalnya diakui banyak dibimbing dan dipengaruhi oleh tradisi permainan dan imajinasi dalam tembang dolanan anak-anak Jawa. Menurutnya, yang jadi soal adalah “Masyarakatnya tidak bisa bergaul baik-baik dengan tradisi itu, sehingga mereka hanya bisa menempel, dan mengeksploitir saja. Dan tak mampu mengembangkannya.”
Dalam pandangan WS Rendra, para pekerja memperlakukan tradisi menjadi statis. “Tetapi tradisi yang populer dewasa ini adalah tradisi yang kaku untuk dipakai bekerja, tradisi yang diperlakukan oleh masyarakatnya sebagai kasur tua untuk tidur-tidur saja, bermalas-malas menempuh gaya hidup cendawan.”
Orang jawa selama ini dinilai Rendra hanya memperlakukan tradisi tanpa mengembangkannya. Ia memiliki tenaga dan kekuatan yang cukup, tapi hanya digunakan untuk menjalankan kesenian, dan tradisi untuk keperluan hidup semata. Sementara ketika tradisi dan kesenian dikembangkan dan diberdayakan, ia tak hanya menghidupi, tapi juga membawa dampak sosial dan kultural bagi manusia. Akibatnya pemikiran manusia tentang tradisi tak berkembang dan mandeg. Mereka, para pelaku kebudayaan, pelaku tradisi, cenderung tak memiliki kehendak untuk merenungkan kembali pengalaman berkebudayaannya.
WS Rendra mencontohkan sikap manusia yang cenderung statis terhadap tradisi pada mandegnya budaya lisan yang tak naik tingkat menjadi kebudayaan tulis. “Sudah lama kita mengenal abjad tulisan, tapi tradisi kebudayaan kita tidak pernah meningkat kepada kebudayaan tulis; sebaliknya kita tetap bergantung pada cara penyampaian diri yang sangat alamiah; cara lisan.”
Sebagai orang jawa, Rendra tak luput mempelajari dan menghayati kebudayaan jawa sebagai kebudayaan yang dinamis. Ia mempelajari, mencatat bagaimana Sri Sultan Hamengku Buwono I menjalani laku hidup. Di esai berjudul Simbolisme Sultan Hamengku Buwono I, ia menuliskan kembali bagaimana pandangan Sri Sultan tentang hidup. “Hidup perlu diselaraskan dengan kehendak Tuhan; yakni cara hidup secara total solider dengan lingkungan. Dalam hidup manusia, panca indra, hati, dan pikiran tidak boleh tidur. Melainkan harus selalu menemani sang badan, dalam totalitas, menanggapi kejadian-kejadian dalam ruang dan waktu dalam hidupnya. Hanya dengan kepekaan pada isi dan waktu serupa itu, maka manusia bisa merasakan dekat dengan Tuhan, Sang pencipta dari semuanya itu.”
WS Rendra melihat tradisi yang ada di Jawa, seperti di keraton dilengkapi dengan sikap yang holistik yang senantiasa menautkan antara alam, serta kehidupan manusia. Sementara saat ini, banyak masyarakat meninggalkan tradisi tanpa pengetahuan yang mendalam tentang makna filosofis dibalik tradisi tersebut.
Dalam dunia teater, ia menyatakan kritiknya dengan lantang “ adalah memang kenyataan bahwa teater modern di Indonesia miskin akan penonton, miskin akan kritikus, miskin penulis, miskin gedung, miskin akan kesempatan, miskin akan modal, miskin akan keuntungan material, miskin peralatan teknis, …dan sebetulnya miskin akan dramawan yang baik.”
WS Rendra melihat dalam masa itu, teater Indonesia menghadapi krisis dalam banyak hal. Selain karena tak cukupnya pengetahuan tentang teater, mereka dilanda kemiskinan alat, strategi, bahkan modal, sampai dengan kritikus. Dalam posisi itu, ia menyarankan justru karena dalam situasi miskin, teater modern harus mempertahankan integritas dirinya, sehingga meskipun harga nominalnya belum tinggi, tetapi harga intrinsiknya tidak terganggu gugat. Adapun seluruh kebudayaan, pada hakikatnya adalah usaha untuk mempertahankan harga intrinsik kemanusiaan.
Bagaimana WS Rendra memposisikan diri sebagai seniman?. Ia membeberkan pandangannya. “Sebagai seniman, saya mempunyai pengalaman melakoni dan menghayati perkembangan “bentuk seni” yang beragam. Sebagai seniman saya mempunyai disiplin untuk tidak mengabdi pada “bentuk seni” tertentu. Melainkan saya harus menguasai daya kekuatan seni yang beragam yang mampu melayani kebutuhan dinamisme isi rohani dan pikiran saya.”
WS Rendra memiliki sebagaimana yang ditulis oleh Ignas Kleden memiliki dua kesadaran ; kesadaran alam dan kesadaran budaya. Ia bukanlah seniman yang tunduk pada keadaan, tapi seniman yang memiliki kesadaran penuh memiliki kemampuan untuk mengolah dan mengubah keadaan dengan segala daya upayanya.
Melalui buku Mempertimbangkan Tradisi (1984), Rendra menuliskan pemikiran yang reflektif, dinamis, dan kritis terhadap lapangan kesenian dan kebudayaan pada masyarakatnya pada waktu itu. Meski tak utuh, buku ini bisa memberikan gambaran pemikiran Rendra di waktu itu, dan beberapa hal masih aktual sampai sekarang.
*) Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo, Kepala Sekolah SMK Citra Medika Sukoharjo
Belum ada tanggapan.