buku-GM-goenawan-mohammad

Telusur Puisi Bersama GM

Buku Puisi dan Anti Puisi (2011) baru kubaca di tahun 2016. Ada rentang waktu lima tahun. Tapi tak menghilangkan gairahku untuk menuntaskan membaca buku ini. Buku ini kubaca tak selesai duduk, ada peristiwa yang mengikuti, menyelimutinya, seperti menggendong anak, menghibur diri bersama anak-anak di sekolah, sampai dengan memikirkan kegiatan sekolah bersama guru-guru. Ada kenikmatan tersendiri, saat khusyuk membaca buku ini.

Goenawan Mohamad kukenali dari tulisan-tulisannya, tak hanya dari Catatan Pinggir yang terbit dalam kumpulan buku, tetapi juga dari puisi-puisinya. Dulu, aku terkesan sekali tatkala Goenawan Mohamad melukiskan dengan indah bagaimana sosok Slamet Gundono. Puisi Goenawan memang terdengar liris, seperti peristiwa yang tak henti-hentinya berkelebatan, teratur, dan tenang. Kita diajak untuk tak berhenti menuntaskan membaca puisinya, tapi diajak untuk terdiam sejenak.

Kami pernah membincangkan sosoknya yang peragu, tak pernah puas dan sampai pada satu kesimpulan. Ia sering, teramat sering menggunakan kata “mungkin”, “saya kira”, “entah”. Kata-kata itu seolah menunjukkan bahwa apa yang ia tulis belum final, ia masih ragu. Dan kelak keraguan itu akan menjadi misteri bukan hanya di mata pembaca, tetapi juga bahkan pada Goenawan sendiri. Ada ketidakpuasan dengan apa yang ia simpulkan, meski harus ia tuliskan. Itulah mengapa, Catatan Pinggir seperti permenungan tak selesai, atau belum final, dan boleh dibilang seperti tak akan final.

Kemampuannya bukan hanya persoalan mengutip para pemikir, mengutip dan menyisipkan bacaan. Ia justru melakukan komparasi, perbandingan, mempertanyakan, sehingga kita yang membaca terkadang bisa bingung tatkala kita tak mengikuti alur pemikirannya. Hal ini tentu saja bukan hanya dipacu oleh bacaan yang ia bawa, dan segudang pengalaman yang melingkupinya, tetapi juga dari permenungannya yang tak usai.

Maka tak heran, bila GM sendiri dinilai dan dianggap kontroversial. Pada aspek tertentu GM memang terkadang terlanjur melontarkan pemikirannya, terkadung menuliskan apa yang sebenarnya ia anggap belum final, dan keberaniannya itulah yang terkadang membuat kita heran. Itu pula yang terjadi saat ia dikritik oleh banyak orang saat menuliskan tentang 1965, pemaafan. Tapi, kita tak hendak membincangkan kritik yang diajukan pada GM.

Kita hendak mengurusi puisi dan argumen-argumen GM mengenai tema ini. Goenawan Mohamad sendiri memang dikenal pula sebagai seorang penyair. Tentu saja, ia juga memiliki kemampuan serta modal pengetahuan untuk menelusuri pengetahuan dan bacaan-bacaan tentang puisi. GM juga pernah menerbitkan kumpulan esai bertajuk Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972). Maka tak heran, ia memiliki gairah untuk membincangkan puisi.

Puisi sebagaimana apa yang ia tuliskan, sebagai sebuah keterasingan ada benarnya. Puisi di era sekarang telah bergerak jauh dari bahasa, corak, dan tema yang ada di puisi-puisi sebelum kemerdekaan, maupun di masa Poedjangga Baroe. Pergeseran itu tak hanya dilihat dari pemilihan tema, serta perdebatan pemikiran yang meliputinya. Puisi telah melupakan aturan-aturan seperti rima, bunyi.

Ada yang telah hilang, dari puisi-puisi era sekarang. Puisi telah kehilangan “bunyi” ke “sunyi” meminjam istilah penyair Hartojo Andangdjaja. Para penyair kini, lupa, bahwa sunyi yang dihadirkan dalam puisi, membuat kita tak hanya sampai pada titik hening, yang tak memungkinkan lagi berada dalam ruang atau medium atau lanskap dalam puisi tersebut, tapi kita telah melampaui itu semua.

Orang kini bergerak terlampau jauh, ada perubahan lanskap ini. Bila dahulu, orang hidup dengan keseharian dengan angin, hujan, kebun, tegalan, sawah, sungai, embun, daun, sampai pada suara dan hewan-hewan yang hening teratur menyanyikan malam, atau pagi, kini semua itu seolah tiada, atau sirna. Kini, penyair lebih akrab dengan klakson, asap, uap, pabrik, mobil, motor, bemo, gedung-gedung, beton, buruh, gaji, uang, dan humberger, Mc Donald, Kentucky, sampai landry.

Tak salah kalau GM menuliskan esai ini bisa jadi semacam nostalgia yang indah, tatkala urbanisasi telah merubahnya bukan hanya membawa pada situasi yang berubah, tetapi juga pergerakan yang menuntutnya kembali pada sajak, atau kata-kata yang asali, yang mengembalikannya pada alam, pada dunia sekitarnya. “perkenalan saya dengan puisi berlangsung di sebuah sungai dan sejumlah senja” (h.8). Kata-kata ini seperti kesaksian, semacam pernyataan, sebuah ungkapan yang lebih mengundang rasa perih, pedih, kehilangan.

Lebih lanjut, ia mengatakan “puisi menebus kembali apa yang hilang dalam sesuatu yang tanpa nada dalam tulisan. Puisi sedikit atau banyak mengembalikan kelisanan sebuah teks. Puisi mengembalikan kata sebagai “peristiwa” (h.9). Tentu saja kita akan menjumpai bagaimana fragmen, atau peristiwa yang dimaksud oleh GM dalam buku puisinya yang terbaru bertajuk Fragmen (2016).

Tujuh tulisan GM, menelusuri bagaimana puisi diartikan sebagai fragmen, bagaimana puisi melahirkan tafsir, puisi menggaungkan nuansa lirisnya, sampai pada lirik, laut, dan kecenderungan yang ditulis oleh penyair kita di masa lalu seperti Takdir sampai Amir hamzah. Dua esai penutup yang mengulas tentang Pramoedya Ananta Toer, serta menuliskan Takdir dan Habermas kaitannya dengan modernitas.

Dua esai penutup di buku ini seperti sesosok makhluk yang asing, dan terselip. Ada ketaknyamanan pembaca setelah menikmati suguhan tentang puisi dan telusur sejarah sampai dengan penelusuran referensi baik saat membincangkan puisi sebagai fragmen, atau puisi kaitannya dengan pergulatan pemikiran di masa STA (Sutan Takdir Alisjahbana), hingga telusur sajak bertema laut, hingga menguliti sajak Amir Hamzah dan orang-orang di masanya.

Tapi yang jadi menarik ialah saat GM kemudian menilai Pramoedya sebagai sesosok tonggak, ikon sastra Indonesia, tetapi di sisi lain ia meragukan bagaimana Pramoedya kemudian dianggap sebagai ikon. Apakah karena karyanya yang begitu luas memiliki pembaca, atau sebaliknya, kesatuan prinsip, dan tegaknya sikap Pramoedya saat menghadapi penindasan yang ia alami. Keduanya seperti tak bia dipisahkan, itulah yang menjadi sebuah berkah, anugrah, saat menilai Pramoedya.

Ada sikap, kecenderungan, dan kehendak dari GM sendiri saat menentukan bagaimana seharusnya menjadi seorang penyair, pengarang. Saya kira, kita telah menangkap sebuah kesimpulan dari apa yang menjadi sikapnya yang tak berubah dalam dunia kepengarangan, atau kepenyairan. Ia lebih menjunjung tinggi otoritas pribadi sebagai sesosok yang merdeka. Dari pada apa yang dilakukan oleh Pramoedya Ananta Toer, bahwa pengarang tak boleh bebas sepenuhnya, ada intuisi, sikap politik dalam dirinya—keberfihakan—yang kemudian menyatu dengan apa yang ia ciptakan, kreasi. Sebagaimana GM mengutip di buku ini dari kata-kata Asrul Sani : bagi saya keakuan dalam kesusasteraan ialah pmberian harga kembali kepada manusia yang telah hampir habis dilapah mesin oleh rutin, dan politisi yang hanya mengenal keumuman, dan tidak mengenal variasi. Ini adalah suatu keengkaran terhadap mereka yang hendak menjadikan kita sekelompok serdadu yang dapat dipacukan ke kanan dan ke kiri. Ini adalah suatu penyelamatan dalam masyarakat semacam demokrasi yang hendak mencekek tiap-tiap kebangsawanan jiwa. Ini adalah teriakan dari manusia yang dilahirkan seorang dan akan dipendam seorang pula di bumi.

Saya jadi ingat tatkala membaca esainya yang terakhir di buku ini—Kemajuan dan Kebebasan: Takdir dan Habermas— saat ia menyinggung wilayah kebebasan dan otoritas seni yang tak boleh bersinggungan, berselingkuh dengan kapitalisme, ia menyebut dengan kata “otonom”. Tetapi saya juga melihat ada yang hendak ditampik, saat GM sendiri tanpa sadar mengkhianati apa yang ia tentang itu, sebagaimana kesimpulan Wijaya Herlambang almarhum saat menuliskan bukunya berjudul Kekerasan Budaya Pasca 65 yang justru menilai GM, ikut serta, bahkan berada dalam dominasi seni, sastra, yang ada di negeri ini yang melibatkan kapital. Mungkin, inilah, yang luput dari telusur puisi GM, saat ia hendak membebaskan puisi, kesenian dari jeratan, dominasi kapital, ia sendiri seperti tak bisa lepas sepenuhnya dari cengkeraman, pengaruh, dan jerat kapital itu sendiri.

*) tuan rumah Pondok Filsafat, Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan