perempuan-penunggu-malam

Gadis Penunggu Malam

Setiap senja aku melihatnya berdiri di depan sebuah toko busana, di pusat kota. Entah apa yang dibuatnya. Mungkin saja dia sedang menanti seseorang yang sudah sepakat tuk bersua  di tempat itu. Kekasihnya barangkali. Atau, kerabat, sahabat, teman, rekan kerja, atau, entah.

Suatu senja, tepatnya di hari Sabtu, seperti biasa aku pergi ke pasar untuk membeli beberapa bahan makanan. Aku menelusuri jalur yang selama ini biasa aku tempuh. Jalur yang mengingatkanku pada seorang gadis yang selalu berdiri di depan toko tatkala senja hendak pamit pada bumi. Sudah kuduga, gadis itu sudah nongol di depan toko yang sama.

“Mestikah aku menanyainya?”, gumamku dalam hati.

“Ah,,,buat apa? Buang-buang waktu saja. Sebentar lagi gelap menyelimuti kota”.

“Tapi, ingin sekali rasanya aku mengenalnya. Namanya saja, sudah cukup”.

“Hei, jangan buang-buang waktu”, protesku.

“Penjual ikan keburu pulang. Stan-stan penjual sayur pun usai mengemas barang dagangannya”.

Saat itu, aku berbicara dengan diri sendiri dalam hati. Semacam membuat suatu pertimbangan kecil begitu. Akan tetapi, karena rasa penasaranku yang tak terbendung lagi, aku memberanikan diri tuk mendekati gadis itu. Ya, sekedar tuk berkenalan dengannya. Atau, mencari tahu tentang siapa yang dinantinya setiap senja, di depan toko itu.

Sore itu sangat ramai. Banyak pengunjung yang bersileweran, keluar-masuk toko. Mulai dari anak muda hingga orang-orang dewasa. Bahkan di antara pengunjung terdapat oma-oma rempong yang barangkali sebentar lagi mau tutup usia.

“Bushet”, gumamku dalam hati.

“Boleh jadi, mereka-mereka ini yang dinamakan gila mode. Mending urus amal dan ibadah aja daripada urusin hal-hal yang tak berguna”.

“Ngitung-ngitung tiket masuk surga gitu dah”, tambahku sambil lirih melihat ke sekeliling.

**

Sedetik lagi bertatap mata, tiba-tiba handphone-ku berdering. Apalagi nada deringnya aku pakai lagu Watch Over You by Alterbridge. Jujur, aku suka banget dengan lirik lagunya. Sangat menyentuh dan memang sangat bagus lagunya. Kalau teman kosku bilang: tuh lagu, gua banget…

Aku usap layar Hp-ku. Dan ternyata, temanku. Armand.

“Iya, halo Man. Ada apa ni?”

“No, jangan lupa pesanan gua ya, lomboknya cukup 5 biji ya.”

“Okokokok……kirain apaan. Ya udah nanti aku bawa sekalian dengan penjualnya saja.”

“Ah,,,Vino…gitu aja  udah judes. Santai bro, santai…”

Dasar tukang makan”, omelku dalam hati.

Gangguin aja. Tuh anak kayaknya tahu banget kalau aku mau berkenalan dengan seorang cewek. Hampir setiap kali aku hendak berkenalan dengan seorang cewek, pasti dianya selalu menghubungiku. Jangan-jangan tuh anak punya indera keenam gitu kali ya. Dan, lebih parahnya lagi dia telepon tuh sekedar hanya mau memastikan kepadaku untuk tidak lupa dengan makanan atau apalah yang selalu dia titipkan kepadaku. Jadinya, aku lupa mau mulai dari mana ni. Sudah susah-susah tadi aku memikirkan kata-kata untuk bisa berkenalan dengan dia. Eh..akunya malah kikuk gini ya.

Tiba-tiba gadis itu mendekatiku. Lalu dia sendiri yang memulai percakapan.

“Hai,,, maaf mengganggu. Kalau boleh tahu, sekarang jam berapa ya? Soalnya handphone aku mati”, tanyanya dengan wajah yang polos.

Aku tidak langsung menanggapi pertanyaannya. Aku melamun. Terbuai oleh tatapan matanya yang bening, sejuk dan sayup-sayup itu. Rasanya aku ingin sekali berenang dan tenggelam di dalamnya sekedar tuk berusaha mengenalnya lebih jauh mulai dari mata hingga ke………..

“Hei”. Dia memotong alur imajinasiku. Aku pun terhentak dari lamunanku.

“Oh….iya. Hallo. Kamu tadi omong apa?”, tanyaku dengan nada yang kedengaran cukup kikuk.

“Sekarang jam berapa, ya?”

“Oh….ini sudah pukul 17.45”, jawabku singkat sambil melihat lekat pada arlojiku.

Dia menganggukkan kepalanya mengiyakan dan sebagai tanda terima kasih dia mengumbar sebuah senyum manis yang melelehkan hati.

Setelah percakapan itu, waktu seolah berhenti berdetak. Dia diam. Aku diam. Dan semuanya ikut diam. Sunyi. Tiba-tiba, terbersit dalam ingatanku untuk menanyakan nama dan juga nomor Hp-nya.

“Oh iya. Ngomong-ngomong, tadi kita belum kenalan loh?”, tanyaku dengan suara yang cukup berat supaya terkesan wibawa gitu.

“Aku, Vino”, lanjutku sambil mengulurkan tanganku.

“Sophie”, jawabnya dengan suara yang amat lembut. Dia pun menyambut tanganku. Aku serasa bertemu dengan bidadari yang entah jatuh dari mana. Sumpah. Kulit tangannya sangat halus dan dia menggengam tanganku cukup erat. Ketika itu, aku serasa terkena setrum. Jantungku tiba-tiba bergetar tak karuan. “Ada apa ini?”, omelku dalam hati.

“Aku boleh minta nomor Hp kamu, gak?”, tanyaku sambil berusaha menyimpan perasaanku yang kikuk.

“Boleh kok, Vino. Catat ya: 081239383123”, jawabnya polos.

“Thanks ya. Nanti malam aku SMS kamu ya. Senang berkenalan denganmu”, teriakku sambil melangkahkan kaki menuju pasar. Dia meresponnya dengan sebuah senyuman yang sangat manis. Dan aku yakin, senyuman itu merupakan sebuah tanda bahwa ia menyetujui pernyataanku.

***

Kulihat arlojiku lekat-lekat. Sudah pukul 21.30 WITA. Sehabis makan malam, aku dan Armand sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Biasanya kami berdua menyelesaikan tugas-tugas kuliah. Dan biasanya, jam segini kami berdua udah kelar dengan urusan tugas-tugas tersebut. Saat-saat seperti ini kami gunakan untuk berekreasi sejenak. Catur adalah permainan kesukaan kami berdua.

“No, ayo babak pertama”, ajak Armand untuk bermain catur.

“Sorry Man, aku lagi gak punya niat mau main ni malam”, jawabku lesuh.

Armand pun memahamiku dan tidak lanjut memaksa. Memang dia sangat mengerti dengan aku. Kulihat dia sedang asyik mengatur anakan catur hendak bermain sendiri. Kadang aku berpikir, Armand ini adalah orang yang aneh. Masak main catur sendiri. Kan gak seru. Enaknya di mana ya, bermain catur sendiri. Tapi, aku juga sudah terbiasa dengan kebiasaannya itu. Dan karena sudah terbiasa, hal itu tidak lagi menjadi sesuatu yang aneh bagiku. Toh dia pun juga sangat menikmatinya.

Tiba-tiba pikiranku terarah pada gadis yang setiap senja ada di depan toko, yang setelah berkenalan dengannya tadi sore, ternyata Sophie namanya.

“Oh, iya. Tadi aku sudah berjanji tuk mengirimkan SMS kepadanya”, ingatku.

Tanpa basa-basi, aku langsung mengusap layar hp-ku untuk mencari nomornya. Setelah menemukan kontaknya, aku langsung mengirimkan SMS.

“Malam Sophie. Lagi ngapain, nih?”. Diakhir kalimat SMS itu, kusertakan dengan namaku agar dia tidak kebingungan dengan SMS yang berasal dari nomor baru itu.

“Malam juga, Vino. Aku lagi duduk-duduk aja. Kamu lagi ngapain?”, balasnya.

”Sama dong. Aku lagi bengong aja”, jawabku singkat.

Dan selajutnya, kami berdua sering SMS-an. Karena keasyikan SMS, terkadang waktu terasa begitu cepat berlalu. Tiba-tiba, udah larut. Diakhir percakapan via hp itu, biasaya kami berdua saling mengingatkan untuk tidak begadang jauh malam, dan jangan lupa berdialog dengan Yang di atas sebelum tidur.

****

Sebulan telah berlalu. Aku dan Sophie tetap saling menghubungi. Meskipun dilanda kesibukan oleh karena tugas-tugas dari kampus, aku tetap menyisihkan waktu tuk memberikan SMS kepadanya. Ya, sekedar menanyakan kabarnya atau pun hal lainnya. Kadang dia juga yang memberikan SMS kepadaku. Pokoknya, aku dan dia saling memperhatikan satu sama lain meskipun via SMS saja.

Dalam perjalanan waktu, aku diam-diam memendam rasa terhadapnya. Kalau mau dibilang jujur, sejak awal perjumpaan hingga saat ini sesungguhnya aku suka sama Sophie, gadis penanti malam yang tiap senja berdiri depan toko di tengah kota itu. Namun, aku tidak tahu harus mulai dari mana tuk mengungkapkan isi hatiku ini.

Tiba-tiba, suatu senja, entah mimpi apa aku semalam sehingga memiliki keberanian tuk bertanya kepadanya soal apakah dia sudah memiliki pacar atau belum. Tak ada angin dan hujan tanpa basa-basi, tanpa di awali dengan suatu pengantar singkat aku langsung to the point. Kali ini, aku tidak menggunakan SMS tetapi langsung menelponnya.

“Iya, hallo Vino”, terdengar suara lembutnya yang sejak awal berjumpa masih kedengaran sama. Aku tidak langsung menyahutnya. Aku diam. Lama aku berdiam dan memikirkan apakah caraku ini benar atau akan tidak berkenan di hatinya.

“Sophie, kalau boleh tahu, apakah ruang hatimu sudah terisi?”, tanyaku blak-blakan.

Tak ada sahutan. Hanya terdengar suara nafas yang kedengarannya cukup panjang. Aku membayangkan bahwa Sophie menarik nafas panjang ketika mendengar pertanyaanku. Dia tentunya sedang memikirkan matang-matang pertanyaanku itu.

“Hallo, Sophie”, tanyaku.

“Iya Vino’, sahutnya dengan nada yang kedengarannya seperti suara yang berbisik.

“Sophie,, aku minta maaf soal pertanyaanku itu. Tak usah dipikirkan ya. Aku jadinya gak enak sama kamu”, pintaku kepadanya.

“Oh, iya. Gak apa-apa kok, Vino. Hanya saja aku tak bisa menjawabnya sekarang ya. Beri aku waktu”, jelasnya singkat kepadaku.

Kemudian terdengar suara tit…tit…tit.. Ia memutuskan sambungan teleponnya tanpa mengucapkan salam pisah kepadaku. Sejak saat itu, dia tak pernah lagi menjawab SMS dariku. Apalagi menghubungiku. Aku merasa bersalah terhadapnya. Jangan sampai karena pertanyaan itu, ia menjadi kaku kepadaku. Atau jangan sampai ada sesuatu yang buruk pernah terjadi dalam hidupnya yang boleh jadi ada hubungan dengan kisah asmaranya. Banyak pertanyaan yang berserakan di kepalaku.

*****

Kini hampir sebulan aku dan Sophie tak berhubungan lewat telepon. Karena penasaran, aku pun berusaha mencari tahu tentang keadaannya.

Suatu sore, aku memutuskan untuk pergi ke pasar. Seperti biasa aku hendak berbelanja bahan makanan. Dan seperti biasa pula aku melewati jalur yang biasa aku telusuri, tepat di depan toko di mana Sophie sedang berdiri, entah menunggu seseorang atau sekedar menikmati suasana kota di senja hari.

Sore itu hati Sabtu. Suasana kota seperti biasa. Sangat ramai lantaran orang-orang hendak menikmati malam Minggu. Demikian pula, toko itu. Pengunjung berseliweran keluar masuk toko. Akan tetapi, ada yang berbeda. Sophie tak ada di depan toko itu. Jangan-jangan Sophie sudah pergi dari kota ini.

Karena diliputi rasa penasaran tentangnya, aku pun memutuskan untuk tidak belanja. Aku ingin menjelajahi kota hingga malam. Siapa tahu aku bisa bertemu dengan Sophie di suatu tempat. Aku kemudi sepeda motor peyotku dengan kecepatan standar.

Hari sudah malam. Setengah kota hampir kujelajahi. Tapi aku belum menemukan Sophie. Dan di suatu tempat di tengah kota, tiba-tiba aku menghentikan sepeda motorku.

“Aku yakin, itu Sophie”, gumamku dalam hati. Kulihat Sophie sedang berdiri di depan toko mode dengan beberapa gadis-gadis lain. Penampilannya cukup berbeda dari sebelumnya. Ia kelihatan cantik sekali dengan rok mini yang dikenakannya. Sebenarnya apa yang dibuatnya di sana. Aku memutuskan untuk berdiam di tempat itu dan memperhatikannya. Selang beberapa saat, tiba-tiba sebuah mobil sedan berhenti tepat di depannya. Kulihat seorang lelaki yang cukup berusia keluar dari mobil itu dan bercakap-cakap dengan Sophie. Setelah itu, Sophie pun masuk ke mobil itu. Aku pun bertanya-tanya, siapa lelaki tua itu: Ayahnya, pamannya, ataukah?

Mobil itu pun melaju. Karena penasaran aku membuntutinya. Mobil itu tiba-tiba berhenti di depan sebuah hotel ternama. Lelaki tua itu dan Sophie pun keluar dari mobil. Aku langsung mendekati mereka dan memegang tangan Sophie. Sophie kelihatan kaget ketika aku memegang tangannya. Raut wajahnya langsung pucat seolah-olah tidak percaya kalau itu aku.

“Vino. Apa yang kamu lakukan di sini?”, tanyanya dengan nada yang kedengaran agak gugup.

“Aku yang harus tanya sama kamu”, jawabku.

“Apa yang kamu lakukan di sini. Malam-malam begini lagi. Lalu, siapa om itu?”

Ia menundukkan kepalanya. Ia bergeming dan tak meresponku. Ia kelihatan sangat malu untuk mengatakannya kepadaku. Ia tidak tahu harus menjelaskannya dari mana.

“Sophie, kenapa kamu tak menjawab pertannyaanku. Aku selama ini SMS kamu, tapi kamu tak meresponnya. Kamu tahu, aku sangat mengharapkan jawaban dari kamu soal pertanyaanku waktu itu. Aku mencintaimu, Sophie”, ujarku dengan polos.

Mendengar kalimat terakhir itu, Sophie kelihatan kaget. Ia terhentak dari diamnya. Dan matanya berkaca-kaca saat itu.

Tiba-tiba…. 

“Maafkan aku, Vino. Aku tak bisa menerima cintamu. Perlu kamu tahu, aku sebenarnya bukan wanita baik-baik seperti yang kamu bayangkan. Aku adalah wanita yang mengais kehidupan di malam hari. Kamu tahu, apa artinya itu. Karena itu tak perlu kau menunggu jawaban dariku soal pertanyaanmu kala itu. Kini kamu sudah mendapatkannya”. Ia mengatakan semuanya dengan derai air mata yang tak mampu dibendung lagi. Aku pun kaget ketika mendengar penjelasannya. Dadaku serasa sesak ketika mendengar bahwa ia adalah wanita malam. Dan kini aku tahu bahwa Sophie ternyata seorang wanita peziarah malam dan om yang di sampingnya adalah klien-nya.

Mereka pun pergi memasuki hotel itu meninggalkan aku seorang diri di situ. Sesungguhnya aku sangat terpukul dengan kenyataan itu. Sebab aku sudah terlanjur jatuh cinta kepada Sophie. Tapi mau gimana lagi, kini aku sudah tahu tentang Sophie. Dia adalah gadis yang setiap senja berdiri di depan toko yang menanti malam segera tiba.

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan